HomeCeritaMenjadi Peacebuilder dalam Situasi Damai

Menjadi Peacebuilder dalam Situasi Damai

Kasus Kekerasan Seksual bukan hanya persoalan pada pelaku. Melainkan, bagaimana melakukan pemulihan pada korban. Proses pemulihan pada korban ini ditekuni oleh An’An Yulianti. Dirinya  menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual dengan pendekatan damai. Dirinya asli suku sunda, dan tinggal di Tasikmalaya sejak kecil.

Kemampuan story telling An’an memang luar biasa, detil, kaya, dan sedikit heroik. Jika saya kutip maka akan sangat panjang, sehingga saya putuskan untuk meringkas ceritanya. Berikut cerita An’an melakukan upaya mediasi dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang dia tangani di Tasikmalaya. Cerita ini sudah saya rapikan alurnya, dengan tidak sama sekali menghilangkan subtansi dari cerita. Saya meringkasnya demikian;

beberapa tahun yang lalu, seorang gadis bernama Mawar diperkosa oleh dua pemuda, (Roy dan Panjul), yang tinggal di dusun sebelah. Saat itu Mawar menggunakan gamis dan berkerudung. Dia disergap dan dicekokin minuman yang membuat dia pingsan. Dari kasus perkosaan itu, korban hamil. Orang tua dan tokoh masyarakat bersepakat untuk menikahkan Mawar dengan salah satu pelaku. Tetapi dijalankan, wakil dinas pemberdayaan perempuan dan perlindngan anak, bagian UPTD, Saya diminta untuk mendampingi.

Sebelum saya ke lapangan, saya selalu melakukan asesmen terlebih dulu kepada orang-orang yang akan saya temui. Ini agar saya paham siapa yang saya hadapi, dan pendekatan apa yang akan saya terapkan. Begitu saya datang ke desa tersebut, orang tua dan tokoh masyarakat sudah bersepakat untuk menikahkan saja korban dan pelaku agar masalah selesai. Saya memperkenalkan diri posisi dan fungsi saya mengapa saya hadir di desa ini dan diminta terlibat dalam penyelesaian kasus perkosaan. Saya sampaikan kepada kepala desa, “menikahkan korban kepada pelaku bukanlah solusi dari masalah perkosaan”. Bukankah kita semua tidak bisa menyakinkan apakah setelah menikah korban terjaga dari KDRT?.” Bolehkah kita bicarakan masalah ini terlebih dahulu, agar kita mendapatkan solusi yang membuat nyaman semua orang, dan memenuhi keadilan buat korban.

Jika saya diperkenankan, saya ingin mengajak ibu dan bapak sekalian untuk bersama-sama duduk dengan tenang untuk membicarakan kasus ini. Tapi, ijinkan saya memfasilitasi proses dialog ini, agar kita semua bisa lebih jernih melihat kasus dan menemukan solusinya.

Sebelum saya mulai, ada beberapa hal yang saya minta dengan sukarela semua orang yang hadir di meja ini untuk bersepakat.

Maukah bapak dan ibu sekalian menanggalkan lebel masing-masing (baik yang sebagai camat,kepala desa, dinas, dll). Kita duduk di sini sebagai manusia yang memiliki kepedulian pada kasus ini.

 Maukah bapak dan ibu sekalian untuk mendengarkan dengan sabar setiap orang yang berbicara sampai selesai, tanpa melakukan instrupsi di tengah-tengah

  1. Maukah bapak dan ibu sekalian untuk tidak menghakimi pendapat siapa saja yang berbicara, dan tetap fokus mendengarkan sampai giliran berbicara
  2. Maukah bapak dan ibu berbicara secara bergantian, dan setiap berbicara hanya 2-3 menit saja, sehingga yang lain mendapatkan giliran yang sama
  3. Maukah bapak dan ibu berjanji bahwa apa yang dibicarakan di meja ini tidak dibicarakan di luar. Artinya ibu dan bapak sekalian bersedia menjaga kerahasiaan pembicaraan kita.

Setelah semua setuju, baru saya memulai bertanya demikian. Bagaimana perasaan ibu (orang tua korban), menyaksikan kasus ini?. saya menanyakan hal serupa kepada lingkar keluarga, apart desa dan beberapa tokoh yang hadir. Satu per satu yang hadir menjawab sesuai dengan gilirannya dan setiap orang mendapatkan waktu yang sama dalam menjawab.

Kemudian,saya menanyakan “bagaimana agar ketakutan-ketakutan yang tadi disampaikan tidak terjadi selama penanganan kasus ini?”. Setiap orang memaparkan potensi solusi tentu saja berhubungan dengan peran masing-masing. Termasuk menjaga kerukunan warga.

Setelah semua bicara tenang, kita mendapatkan titik terang, dimana semua orang telah mendengarkan bagaimana perasaan masing-masing baik dari sisi keluarga maupun perwakilan pemerintah dan tokoh di desa. Dari sinilah, solusi bisa diambil. Dimana pelaku diserahkan kepada yang berwajib dan dikenai hukuman 13 tahun. Masyarakat terlibat dengan peran berbeda-beda untuk melakukan pemulihan pada korban, pemulihan relasi di masyarakat.

Beberapa bulan lalu, saya juga dikabari kalau si Mawar akan dilamar oleh seorang pemuda baik dan tampan. Saya diminta kembali menjembatani komunikasi dengan pihak keluarga calon suami Mawar. Disinilah, saya kembali menerapkan teknik dialog yang diajarkan oleh AMAN Indonesia. dan Alhamdulilah, berhasil membuat keluarga semua menerima.

Saya katakan “kasus kekerasan seksual ini bukan kenakalan, tetapi kejahatan”.

Membaca cerita An’an di atas, memberikan gambaran lebih jelas kepada kita tentang peran “peacebuillder” dalam hal ini mediator perempuan dalam memastikan tidak terjadi konflik dalam penyelesaian persoalan yang ditemui sehari-hari. Ada tiga hal penting yang dilakukan oleh mediator perempuan dalam hal penyelesaian kasus-kasus pendampingan diantaranya adalah:

Pertama, menciptakan  rasa nyaman dan aman buat semua orang disaat situasi krisis melanda sebuah komunitas, agar masyarakat bisa membaca persoalan dengan jernih dan menemukan solusi dari kekuatan mereka sendiri.

Kehadiran An’an sebagai pendamping resmi dari kantor pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Tasikmalaya di tempat kejadian kekerasan seksual, sebagai bentuk kehadiran negara kepada masyarakat. Ditambah kredibilitas An’an selalu menggunakan pendekatan dialog, menimbulkan rasa optimisme pada warga dan korban bahwa persoalan mereka ada di tangan orang yang benar.

Kedua, mendorong masyarakat untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan dialog, dimana setiap orang dihargai sama derajatnya sebagai manusia sehingga tidak takut bicara apa adanya; bersedia mengikuti aturan seperti tidak menghakimi pendapat orang lain, mendengarkan dengan aktif, tidak menyela, dan bicara sesuai waktu yang ditentukan; dan berkontribusi dalam menjalankan solusi.

Pendekatan dialog terstruktur dan reflektif menjadi kunci “winning mind and heart” (memenangkan hati dan pikiran) dari korban, keluarga dan warga desa, dalam menghadapi persoalan yang menguras emosi dan pikiran. Jika dilihat dari cerita An’an, ada sejumlah proses yang membuat pendekatan ini sukses. Pada fase persiapan, seorang mediator harus melakukan bacaan awal terhadap kondisi dan situasi kasus tersebut. Persiapan merupakan fase berkontribusi pada kesuksesan, untuk membangun kepercayaan (trust) kepada orang-orang yang ditemui saat tiba di lokasi kejadian.

Teknik dialog yang diperkenalkan oleh An’an bisa diterima oleh masyarakat, karena ada aturan main yang jelas, dan meletakkan setiap orang setara. Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah prinsip gotong royong dan keterbukaan masih menjadi prinsip masyarakat kita, sehingga memiliki keterbukaan untuk mencoba hal baru yaitu dialog.

Ketiga, melakukan mitigasi munculnya kekerasan baru, dengan merelakan diri menjadi jembatan buat orang-orang baru yang akan menjadi bagian dari hidup korban di masa depan. Ketika Mawar hendak melangkah pada kehidupan baru dan menemukan pasangannya, merupakan momen sangat kritis yang bisa membuat perubahan besar kepada Mawar, tetapi juga sebaliknya bisa membuat Mawar jatuh kembali. Maka, di sinilah peran mediator yang dilakukan oleh An’an sangat krusial, dengan membantu mensituasikan mental keluarga sang calon suami, bahwa Mawar adalah korban kekerasan seksual. Ini artinya Mawar adalah korban kejahatan.

 

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments