Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeBukuKisah Pahit Sosok Nyai pada Zaman Kolonial Belanda

Kisah Pahit Sosok Nyai pada Zaman Kolonial Belanda

Judul: Lebih Putih Dariku, Penulis: Dido Michielsen, Penerbit: Marjin Kiri, Cetakan: Juni 2022, Halaman: I – vi + 288 hlm

Cerita tentang Nyai dalam novel yang ditulis oleh Dido, adalah gambaran kelam eksistensi perempuan pribumi pada zaman penjajahan. Fenomena nyai adalah gambaran kecil dari sekian banyak persoalan yang diakibatkan oleh kolonialisme Belanda. Cerita tentang dominasi, pemberontakan, serta hegemoni kelas dalam bentuk sosial-ekonomi-hukum adalah sesuatu kenyataan yang amat kompleks. Masalah tersebut bukan seperti hitam-putih yang bisa dilihat secara kasat mata atas perkara yang melatarbelakanginya. Namun, ada banyak hal yang tidak bisa ditemukan dalam solusi dari persoalan yang ada.

Dunia Nyai, adalah salah satu dari sekian persoalan yang tidak bisa dipecahkan ujung permasalahannya. Dalam praktiknya, Nyai adalah sosok perempuan pribumi yang menjadi istri tidak sah seorang kolonial. Ia bisa melahirkan anak dari hubungan tersebut dan tidak memperoleh pengakuan secara hukum positif. Satu hal yang membuat fenomena tersebut mengakar adalah, kehadiran anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut adalah anak dengan tampang kulit putih, atau mata biru maupun coklat yang berbeda dengan pribumi.

Tidak hanya itu, keberadaan orang kulit putih ternyata menciptakan relasi kuasa yang sangat timpang dengan masyarakat pribumi. Terdapat beberapa perbedaan anatara orang kulit putih dengan pribumi. Di antaranya, akses mendapatkan pendidikan, ekonomi, masyarakat kulit putih (red: bangsa Belanda). Bahkan, orang kulit putuh jauh lebih makmur dengan masyarakat pribumi yang tidak memiliki kemampuan, pengetahuan untuk mencari pembelaan diri.

Novel “Lebih Putih Dariku” adalah buku yang bercerita tentang kehidupan nyai dengan masa depan kelam di masa tua. Menurut saya, masa depan kelam tersebut diakibatkan oleh ketiadaan hukum yang mengatur hubungan antara perempuan pribumi dengan bangsa kolonial. Akibatnya, peminggiran, diskriminasi kepada para perempuan pribumi yang memiliki hubungan dengan para kolonial di masa tuanya tidak mendapatkan jaminan hidup yang layak.

Peminggiran dan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Di samping itu, menjadi Nyai di masa muda bisa dikatakan sebuah privilege karena bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan pribumi yang hidup dengan kemiskinan. Novel ini menceritakan sosok Isah, putri pembatik di lingkungan keraton. Meskipun tinggal di lingkungan keraton, ia memiliki posisi rendah lantaran lahir dari ibu tidak resmi dari seorang bupati.

Ia hidup di tengah ketakutan seorang ibu karena status dirinya tidak diakui secara hukum. Karakter Isah adalah pemberontak. Hal ini terlihat semakin jelas ketika ia kabur karena oleh ibunya, akan dinikahkan dengan seorang bupati yang sudah mendambakan seorang anak. Tentu, posisi Isah akan menjadi selir.

Ketidakinginannya menjadi selir, ia memilih seorang pewira kolonial asal Belanda yang bernama Grey. Dengannya, Isah memilih menjadi seorang Nyai yang mengatur segala kebutuhan dan kehidupan Grey. Ia hidup dengan banyak babu di sekelilingnya. Tugasnya selama menjadi Nyai, hanya mengarahkan tentang masakan, melayani tamu Grey dan menemani suaminya tersebut. kehidupan tersebut ia jalani hingga memiliki dua anak perempuan (Pauline dan Louissa).

Penampilan Isah juga sangat berbeda dengan masa ketika ia menjadi perempuan pribumi. Bertahun-tahun hidup bersama Grey, ia mempelajari kehidupan para Nyai dengan pergi ke pasar. Di tempat tersebut, ia banyak mendengarkan kehidupan kelam para Nyai di masa tua karena dicampakkan oleh para perwira Belanda. Isah mendengarkan banyak kisah-kisah kelam tersebut untuk dijadikan pembelajaran hidup.

Hingga sampai pada akhirnya, Grey juga memilih untuk meninggalkannya dan memilih menikah dengan gadis Belanda. Kehidupan baru dimulai olehnya karena kedua anaknya pasti akan mengalami nasib buruk lantaran tidak akan diakui oleh pemerintah. Atas dasar kesepakatan dan pertimbangan yang begitu panjang, akhirnya Pauline dan Louissa diangkat oleh Lot dan Arnold (keluarga Belanda yang merupakan sahabat karib Grey).

Tidak sampai disitu, Isah kemudian menjadi babu dari Arnold dan Lot serta menemani proses tumbuh kembang sang anak tanpa diakui seorang ibu. Kehidupan baru Isah dijalani selama bertahun-tahun tanpa membuka statusnya kepada seorang anak. Perjalanan panjang terus dimulai hingga perpisahan dengan sang anak. Ia kemudian hidup dengan berpindah-pindah tempat, mulai dari ke Solo, kembali ke Yogyakarta hingga ke Batavia untuk mencari kedua anak tersebut melalui koran.

Pencarian tersebut terus dilakukan oleh dirinya selama hidup untuk menebus rasa bersalah dan menjelaskan kepada sang anak bahwa dirinyalah ibunya. Ia menjadi babu, kuli tanaman dan usaha-usaha lain untuk bertahan hidup mencari kedua anaknya itu. Namun, takdir berkata lain. Sampai akhir hayatnya, Isah tidak kunjung menemukan kedua anaknya. Kisah kelam ini begitu menyayat hati.

Masalah Nyai adalah gambaran kecil dari sekian persoalan yang dialami pada masa kolonial. Perempuan kerapkali menjadi korban dari fenomena sosial yang terjadi. Banyak Nyai yang hidupnya ditelantarkan karena ditinggal begitu saja oleh tuannya (para kolonial). Kisah Isah adalah adalah satu dari sekian banyak Nyai yang hidup sengsara, ditindas oleh kekuasaan dan hidup dalam jerat kemiskinan

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments