Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeBukuRonggeng: Simbol Budaya Patriarki dalam Kesenian

Ronggeng: Simbol Budaya Patriarki dalam Kesenian

Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk, Pengarang : Ahmad Tohari, Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Tahun Terbit : 2015, Halaman : 406 halaman

Ahmad Tohari, salah satu satrawan terkemuka di Indonesia. karya-karyanya selalu menyiratkan tentang kehidupan pedesaan, budaya ataupun adat yang berkembang dalam tatanan masyarakat. Sebagai pembaca generasi 90-an bahkan 2000 ke atas, membaca karya Ahmad Tohari rasanya menjadi wajib. Sebab dalam tulisan-tulisannya, ia tidak melepaskan dari kehidupan pedesaan, latar belakang kehidupan di masa lampau, menambah khazanah pengetahuan tentang budaya, yang bisa menjadi referensi bagi para pembaca, khususnya yang lahir pada zaman modern.

Melalui karya sastra “Ronggeng Dukuh Paruk”, penulis bercerita bagaimana posisi perempuan yang menjadi ronggeng. Adalah sosok Srintil, seorang perempuan yang dinobatkan sebagai ronggeng di Dukuh Paruk, sebuah tempat yang terpencil, penuh dengan hal-hal mistis, bahkan bisa dikatakan jauh dari peradaban. Kita bisa melacak bagaimana sebuah pedesaan di masa silam, yang penuh dengan hal-hal mistis dan misteri lainnya.

Srintil adalah sosok yang memiliki kecantikan luar biasa. Sebelum menjadi ronggeng, ia senang menari layaknya kita melihat bagaimana penari Jawa. Hingga akhirnya ia ditarik untuk menjadi ronggeng dan melestarikan sebuah kelompok seniman yang sudah mati, namun seluruh alat keseniannya masih bisa dimanfaatkan.

Kisahnya sebagai ronggeng tidak lepas dari penolakan yang dilakukan oleh Rasus, seorang anak muda yang berasal dari Dukuh Paruk. Menurut Rasus, menjadi ronggeng adalah pekerjaan yang merendahkan perempuan dan menginjak-injak martabat sebagai seorang manusia.

Hubungan Srintil dengan Rasus sudah terjalin sejak kecil. Rasus bahkan mengingat Srintil kepada mendiang ibunya. Maka dari itu, ia selalu menghormati Srintil sebagai perempuan, sebagaimana ia memperlakukan ibunya. Kebersamaan dirinya dengan Srintil yang sudah terjalin sejak lama, membuat keduany saling saling jatuh cinta. Namun, keputusan menjadi ronggeng oleh Srintil, berarti ia harus siap menjadi milik semua orang, menghibur dan melayani siapapun yang datang kepadanya.

Praktik di masa silam, khususnya di Dukuh Paruk, seorang istri bisa bangga apabila suaminya mampu bersama seorang ronggeng bahkan menidurinya. Disinilah letak simbolisasi ketidakberdayaan perempuan yang hidup dalam budaya patriarki. Posisi perempuan dianggap rendah dengan berbagai perilaku yang sangat tidak menghargai kemanusiaan perempuan.

Kuatnya Simbol Patriarki dalam Budaya Dukuh Paruk

Penggambaran Dukuh Paruk, tidak sulit untuk dibayangkan oleh pembaca. Desa ini digambar sangat terpencil dengan rumah yang banyak gubuk dan kemiskinan menjadi masalah utama pada desa ini. meskipun demikian, gambaran tentang hal-hal mistis seperti pemujaan, dan ritual yang sangat tidak masuk akal tetap dilestarikan. Ritual “bukak kelambu” misalnya. Ritual ini mewajibkan seorang perempuan, melayani pria hidung belang dengan harga yang ditentukan oleh pasangan Kartareja alias “dijual keperawanannya”. Srintil melakukan ritual semacam ini demi mengikuti adat yang berlaku di tempat itu.

Novel ini menggambarkan secara epik, bagaimana penokohan, karakter dan latar belakang cerita yang disampaikan. Srintil sendiri hidup dari latar belakang budaya yang ada di Dukuh Paruk dengan keterbelakangan ekonomi, primitif dan budaya patriarki yang mengakar. Sejak kecil ia terobsesi untuk menjadi ronggeng, meskipun secara praktik, penghargaan kepada ronggeng justru melemahkan posisi perempuan dalam konteks sosial.

Dalam novel ini, juga terdapat peristiwa sejarah pada tahun 1965, di aman srintil dan timnya berseteru dengan pemerintah karena pada saat itu, muncul isu bahwa tim kesenian mendukung gerakan komunis PKI. Mereka semua dipenjara dan kehidupan Srintil sangat berat pasca kejadian it. Pasca dipenjara, kehidupan yang dijalaninya-pun tidak lagi sama. Srintil mengalami fase yang cukup berat untuk mempertahankan hidupnya sebagai seorang perempuan. Novel ini tidak hanya bercerita tentang kehidupan ronggeng, akan tetapi juga sejarah di masa silam yang kelam dan merugikan pihak bawah dan kaum pinggiran seperti para pegiat kesenian.

Cerita tempat yang sangat terbelakang ini, dipatahkan oleh kehadiran Rasus, lelaki yang sudah sejak lama dekat dengan Srintil. Tidak seperti masyarakat pada umumnya, ia memiliki pikiran yang berkemajuan. Ia pergi dari Dukuh untuk merantau, mengejar impiannya hingga diangkat menjadi TNI dan membanggakan masyarakat yang ada di Dukuh. Rasus adalah tokoh pejuang yang berusaha untuk mempertahankan hidupnya di tengah ketidakberdayaan kemiskinan.

 

 

 

 

 

 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments