Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniFatima Mernissi dan Kritik terhadap Islam Radikal

Fatima Mernissi dan Kritik terhadap Islam Radikal

Lahir di Kota Fez, Maroko membuat Fatima Mernissi kecil akrab dengan budaya patriarki yang kental di negara-negara Afrika Utara. Meski begitu, ia cukup beruntung karena tumbuh di kalangan menengah yang mendorongnya untuk mengejar pendidikan dan kritis akan lingkungan sosial di sekitarnya. Terlebih anggota-anggota dalam keluarganya yang terdiri dari intelektual dan aktivis politik yang progresif.

Ayahnya adalah seorang sarjana yang mempromosikan pendidikan untuk perempuan. Sedangkan, ibunya adalah seorang aktivis politik yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Pengaruh positif dari keluarganya mendorong Mernissi untuk berpikir kritis dan memperjuangkan kesetaraan gender.

Fatima dibesarkan di sebuah rumah yang penuh dengan buku-buku berbagai bahasa dan topik. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di sekolah perempuan Inggris di Fez, Maroko. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, di mana ia meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi. Setelah kembali ke Maroko, Mernissi mulai mengajar di Universitas Mohammed V di Rabat dan akhirnya menjadi seorang profesor sosiologi di sana.

Mernissi menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat Maroko dan dunia Islam secara umum. Ia melihat banyak perempuan yang mengalami pembatasan hak-hak mereka. Terutama, dalam hal pendidikan, pernikahan, dan warisan. Pengalaman-pengalaman tersebut mendorongnya untuk mengambil peran sebagai pengamat yang kritis dan memperjuangkan kesetaraan gender dalam konteks Islam.

Islam sebagaimana yang diteladankan Rasul, bagi Mernissi justru tidak akan ‘memenjarakan’ perempuan. Islam datang bahkan dalam rangka memerdekakan perempuan dari perlakuan sewenang-wenang. Tak heran, di zaman rasul, kiprah perempuan sangatlah beragam di berbagai bidang.

Khadijah RA, istri Rasul bisa menjadi contoh nyata. Beliau terkenal dalam sejarah sebagai saudagar sukses bahkan didaulat sebagai pendamping beliau hingga ajal menjemput. Dan pada waktu itu, Khadijah tidak pernah gentar ketika harus menghadapi berbagai ujian yang menerima keluarganya. Ia bahkan berada di garis terdepan ketika Rasul dilecehkan.

Melihat gambaran seperti itu, apakah tepat rasanya ketika kini kelompok Islam radikal kemudian menggaungkan domestikasi perempuan? Dan pembatasan hak-hak dasar bagi kaum hawa? Dengan anologi tadi, Fatima secara kritis mempertanyakan konteks sejarah dan realita  sosial masa kini yang masih saja mencoba mempertahankan budaya patriarki. Padahal, ia meyakini bahwa Islam memberikan solusi terhadap permasalahan umat, termasuk persoalan laki-laki dan perempuan.

Fatima Mernissi juga berpendapat bahwa banyak isu perempuan dalam Islam, seperti jilbab. Sekarang diperalat oleh penguasa untuk alat kontrol masyarakat. Padahal dulu jilbab lebih identik sebagai simbol bagaimana berdayanya perempuan Muslimah di masa Jahiliyah. Perempuan mengenakan jilbab sebagai identitas diri dan mendekat secara personal kepada Tuhan.

Sayangnya esensi tadi tidak lagi relevan sekarang. Penguasa laki-laki melihat peluang bahwa mereka perlu melindungi kepentingan mereka. Salah satu caranya adalah dengan membatasi otonomi wanita. Menurut Mernissi, kini kerudung akhirnya bergeser fungsinya sebagai tanda nyata penindasan Wanita. Serta yang memperkuat hierarki gender yang mendukung hak istimewa pria.

Dalam sejumlah kasus, alih-alih mendorong internalisasi nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan. Elit laki-laki termasuk pemuka agama, membuat aturan pemaksaan jilbab yang berujung pada persekusi perempuan yang tidak mengikuti regulasi. Akhirnya, kebijakan ini tidak membuat syiar Islam semakin diterima, tapi malah menjadi boomerang tersendiri.

Selain itu, Mernissi menekankan implikasi sosio-politik dari kerudung. Ia berpendapat bahwa keteguhan elit pria terhadap pemakaian kerudung oleh wanita terkait dengan keinginan mereka untuk mempertahankan tatanan sosial yang konservatif dan menjaga kekuasaan mereka sendiri. Dengan mengontrol tubuh wanita dan membatasi visibilitas mereka dalam ruang publik, elit pria dapat memperkuat norma-norma tradisional dan membatasi partisipasi wanita dalam urusan sosial dan politik.

Pada intinya, pemikiran Fatima Mernissi tentang kerudung dan elit pria mendorong kajian kritis dan dialog mengenai hak-hak Wanita. Menantang norma-norma tradisional, serta mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan bagi wanita. Dan, ia juga menyayangkan bahwa para elit pria dengan sengaja menggunakan ayat-ayat agama sebagai tameng otoritas mereka.

Padahal ajaran inti Islam bukan berdasarkan fondasi penindasan dan penundukan. Justru, lebih menekankan pada kerjasama dan saling menguatkan. Aspek kesalingan ini sayangnya tidak diinternalisasi oleh kelompok Islam radikal yang terdiri dari mayoritas laki-laki.  Mereka masih menganggap bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua dan perlu dibatasi geraknya.

Hal yang justru amat ditentang ketika Islam datang ke dunia. Visi misi kelompok Islam radikal tersebut akhirnya bukan membawa kebermanfaatan seluas-luasnya kepada seluruh umat. Namun hanya kepentingan mereka pribadi dan kelompoknya saja tanpa memikirkan kaum Muslim yang termarjinalkan, termasuk kaum perempuan.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments