Suatu hari, pada abad 18, Rabina yang berdarah Madura tertunduk lunglai. Pinangan lelaki kolonial yang bernama George Birnie seolah kepandiran tak kepalang. Ia tak kuasa menolak. Bagi Rabina, hidupnya telah berakhir dalam jerat selangkangan. Layaknya lelaki kompeni yang memandang gundik pribumi sebatas tali kutang dan celana dalam.
George Birnie yang memahami ketakutan Rabina tersenyum. Lelaki asal Skotlandia itu mengikrarkan diri, jika dirinya tak memandang Rabina sebagai selir, ranjang, atau apa pun yang menyiratkan lubang peranakan perempuan. Ia pun meneguhkan janji suci bahwa tiada perempuan yang akan ia nikahi selain dirinya.
Dari catatan sejarah, George Birnie kerap disebut-sebut sebagai Bapak Modern Jember. Ada narasi panjang sehingga lelaki ini menyandang gelar tersebut. Kala itu, terusan Suez masih belum dibuka. George Birnie berlayar menuju Jember pada tahun 1852 melewati Tanjung Harapan di selatan Afrika.
Pada masa itu, Jember termasuk wilayah Afdeeling Bondowoso. Kondisinya amat sepi dan perawan. Masih berupa hutan dan perkebunan. Apalagi di sekitar Hyang Argopuro. Sarat akan rusa, casuarina, edelweiss yang indah, atau kabut tipis yang memanjakan mata. Jumlah penduduknya hanya ribuan orang sebagai imbas dari perang Puput Bayu I dan II yang menelan hampir seluruh penduduk wilayah Kerajaan Blambangan.
Ketika George Birnie tiba, ia pun bekerja sebagai pegawai pemerintahan di bidang controleur pertanian. Namun, musabab sesuatu hal yang menyangkut principal, ia mengundurkan diri. Bersama dua rekannya, Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan Van Gennep, ia merintis usaha tembakau.
Perusahaan ini diberi nama NV. Landbouw Maatsccappij Out Djember atau yang dikenal sebagai LMOD. Didirikan pada tahun 1859, LMOD mencatatkan kerugian dalam tiga tahun berturut-turut. Namun, seusai itu, LMOD menasbihkan diri sebagai perusahaan terluas pada masanya. George Birnie berhasil mengenalkan cerutu Jember kepada masyarakat Eropa. Bahkan menyaingi Kuba yang menjadi penguasa dunia.
Keberhasilan George Birnie mengundang decak kagum. Narasi kuat akan sosoknya tersebar luas. Tak sedikit pengusaha baru memutuskan tinggal di Jember. Terlebih ada kemunduran budi daya tanam tembakau di wilayah sekitar. Untuk memenuhi jumlah pekerja kasar, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan penduduk dari Madura dan Jawa Matraman untuk menempati Jember. Situasi ini pun menghadirkan perubahan budaya, terutama di kalangan lelaki kompeni.
Para pekerja serta meneer Belanda yang berdatangan mengambil perempuan pribumi sebagai gundik. Fenomena ini seolah mempertegas keadaan di mana para gundik diperlakukan bak meubel yang bisa dipindahtangankan kepada lelaki lain. Meski di hadapan perempuan pribumi seolah memiliki derajat lebih tinggi. Namun, di hadapan hukum Hindia Belanda, gundik tak punya tempat.
Ketakutan inilah yang menghantui Rabina ketika dipinang George Birnie. Ia tak mau hidup dalam ambang ambiguitas. Beruntung ketakutan itu tak terbukti. George Birnie bukan sekadar berani mendobrak hukum Hindia Belanda dengan menikahi Rabina secara sah. Tapi, ia juga tak malu mengenalkannya kepada rekan sejawat jika Rabina adalah pasangan hidupnya. Bukan gundik.
George Birnie seolah tidak memedulikan anggapan lelaki Eropa yang menempatkan gundik sebagai perempuan murahan. Justru sebaliknya. George Birnie menempatkan Rabina layaknya pasangan. Keduanya pun hidup sebagai bangsawan yang menghargai rakyat jelata.
Bahkan dalam catatan sejarah, George Birnie pernah memberi pinjaman uang sebesar 5.000 gulden kepada dr. Soetomo. Kala itu, dr. Soetomo tengah mendirikan organisasi demi kemerdekaan nasional. Namun, begitu dr. Soetomo menandatangani nota perjanjian utang, George Birnie menyobek kertas utang itu di hadapan semua orang.
Kecintaan George Birnie terhadap Rabina juga dibuktikan ketika ia memutuskan kembali ke Eropa. George Birnie memboyong Rabina dan tidak meninggalkannya seorang diri. Padahal lazimnya waktu itu, lelaki kompeni akan meninggalkan gundiknya di Hindia Belanda.
Saya kira, apa yang dialami Rabina berbanding terbalik dengan keadaan gundik yang lain. Katakanlah kisah Roebiam yang ditulis Reggie Baay (2010) dengan judul bukunya “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”. Pada tahun 1915, Roebiam bekerja di perkebunan tembakau Plantersparadijs Sumatra. Di sana, ada seorang baren, pemuda dari Haarlem yang memilih Roebiam sebagai gundik.
Tak berselang lama, Roebiam melahirkan dua orang anak perempuan. Ketika putri pertamanya berusia 5 tahun, sang lelaki tiba-tiba memutuskan pergi ke Eropa. Benar Roebiam boleh mengantar, tapi ia mesti berlayar kembali ke Hindia Belanda dan hidup di perkebunan bersama putri bungsunya. Sialnya, saat putri bungsunya itu berusia 5 tahun, Roebiam mesti melepas anaknya berlayar ke Belanda.
Itu adalah kali terakhir Roebiam berjumpa anaknya. Sayangnya, kemalangan Roebiam seakan bertambah pilu saat mendapati lelakinya menikah dengan perempuan Eropa. Tak ada riwayat lebih lanjut bagaimana masa tua Roebiam di Hindia Belanda. Namun, Reggie Baay menyebut bahwa apa yang dialami Roebiam adalah hal lumrah kala itu. Pemerintah Hindia Belanda seolah “merestui” praktik pergundikan. Mereka sepakat menjadikan gundik sebagai solusi senggama, sebelum akhirnya menikahi perempuan yang sederajat.
Mendapati nasib buruk gundik semacam ini, pada akhirnya membuat saya termenung. Bagi saya, Rabina adalah perempuan yang beruntung. Ketika gundik yang lain bernasib sial, justru dirinya jatuh dalam dekapan lelaki yang penyayang. George Birnie telah menepati janji, bahwa cintanya terlanjur putih untuk sekadar mendua.
Tak terhitung berapa ratus kali kata maaf terlontar, atau bujuk dan rayu selama bersanding bersama. Lelaki itu bukan sekadar mendobrak warisan buruk lelaki kompeni. Tapi, juga menjadikan Rabina sebagai cinta sejati layaknya Hyang Argopuro dengan keabadian edelweiss di sabana. Indah tak tepernamai, sekaligus suci menembus ruang dan waktu. Dan cinta itu dibawanya sampai mati. Sampai kini. Sampai saya bergetar kala menuangkannya ke dalam kisah ini:
“Selain cinta, apalagi yang mesti kita petik dan dipersembahkan dalam hidup ini?”