Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeOpiniCarut Marut Persoalan Muslim di Kenya dan Indonesia

Carut Marut Persoalan Muslim di Kenya dan Indonesia

Hon. Nasra I Ibren, salah satu presenter dalam International Conference yang diselenggarakan oleh AMAN Indonesia, bekerja sama dengan UIN Walisongo Semarang pada 22 November 2022 silam. Dia menjelaskan tentang beberapa permasalahan yang terjadi di Kenya dengan melihat hak dan perspektif Islam yang begitu kompleks.  Dalam pemaparannya, ia menjelaskan ada beberapa masalah yang terjadi di Kenya, khususnya yang berakibat pada masalah ketimpangan sosial di Kenya.

Setidaknya kita melihat ada beberapa poin yang disampaikan, di antaranya: Pertama, ada 23% gadis Kenya menikah sebelum usia 18 tahun dan 4% menikah sebelum usia 15 tahun. Permasalahan ini nyatanya tidak hanya terjadi di Kenya, akan tetapi juga terjadi di Indonesia. Orang tua menganggap bahwa pernikahan adalah solusi dari setiap persoalan anak. Padahal dalam Islam, pernikahan tidak serta merta terjadi tanpa alasan yang jelas, apalagi dengan cara memaksakan seorang anak. Ibadah yang dilakukan seumur hidup ini, harus benar-benar direncanakan dengan baik oleh kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) dengan kesiapan yang matang.

Di Indonesia, dalam pasal 6 ayat 2 Udang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai, dan persetujuan tersebut haruslah dilaksanakan atas kehendak bebas, tanpa paksaan dari calon mempelai pria maupun wanita untuk melaksanakan perkawinan. Dari sinilah kita mampu memahami bahwa, menikahkan paksa seorang anak, bukanlah solusi dari segala permasalahan. Justru, ketika memaksakan anak untuk menikah, memasuki babak baru dalam permasalahan kehidupan.

Kedua, 39% – 47% wanita Kenya mengalami kekerasan berbasis gender dalam hidup mereka. Kekerasan terhadap perempuan ini sebenarnya sudah diwarisi oleh tradisi pra Arab. Dahulu kala, apabila kelahiran seorang perempuan, mereka membunuh anak perempuan karena perempuan dianggap aib dalam keluarga. Hal ini tercantum jelas dalam Al-Qur’an, surah An-Nahl:58

Artinya: Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah (An-Nahl:58)

Permasalahan ini juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan sepanjang 2021 sebanyak 338.496 atau naik 50% dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketiga, dalam Female Genital Mutilation, di Kenya, wanita berusia 45–49 tahun adalah 40,9%, dipotong sedangkan untuk kelompok usia termuda adalah 11,4%. Sunat perempuan ini nyatanya tidak hanya dialami oleh Kenya saja, akan tetapi berbagai negara di belahan dunia hampir mengalami kasus serupa. Berdasarkan  data UNICEF 2016 mencatat lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia.

Masyarakat di Indonesia, khususnya pedesaan, masih mewarisi tradisi sunat perempuan sebagai kewajiban yang perlu diberikan kepada anak perempuan. Padahal, hal ini berpengaruh terhadap kesehatan perempuan. berdasarkan konteks permasalahan ini, maka perlu edukasi secara massif kepada masyarakat untuk menghindari sunat perempuan.

Keempat, Kelahiran anak perempuan dianggap sebagai kutukan dan anak laki-laki sebagai berkah. Kepercayaan yang sangat merajalela di pedesaan masyarakat di Kenya.  Padahal dalam Islam, anak-anak harus dihormati, apapun jenis kelaminnya, untuk menikmati cinta dan kasih sayang dari orang tuanya dan mereka berhak diperlakukan sama. Masalah ini tidak terlalu sama dengan posisi perempuan di Indonesia. Sebab kesadaran tentang jenis kelamin anak, posisi perempuan sebagai makhluk subjek penuh, lambat laun disadari oleh masyarakat.

Akan tetapi, kesadaran ini harus terus diupayakan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa, apapun jenis kelaminnya, seorang anak merupakah rahmat yang diberikan oleh Allah sebagai rezeki. Beberapa persoalan ini, oleh Nasra, menjadi kegelisahan dirinya sebagai muslim yang lahir di Kenya. Dari beberapa pernyampain Nasra, kiranya sangat perlu diperhatikan bahwa, persoalan tersebut juga sama terjadi di Indonesia.

Dari beberapa poin yang sudah dijelaskan, penulis secara rinci menjelaskan satu persatu poin yang dialami oleh Indonesia. Berdasarkan perincian tersebut, kiranya kita bisa memahami bahwa, di perjuangan untuk menyuarakan keadilan bagi perempuan dan laki-laki adalah proses panjang untuk terus dilakukan. Sebab perspektif diskriminatif kepada perempuan, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negara Indonesiapun, posisi perempuan masih saja dilemahkan dan belum mendapatkan tempat yang setara.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments