Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeBukuKetika Kecantikan Menindas Perempuan

Ketika Kecantikan Menindas Perempuan

Penulis: Naomi Wolf, Penerjemah : Alia Swastika, Penyunting : Helmi Mustofa, Penerbit : NiagaraTahun terbit : Cetakan Pertama, Agustus 2004, Jumlah hal : xii + 670 hlm.

Pernahkah kita mengenal istilah beauty privilege? Belakangan ini aplikasi Tiktok ramai tentang pembicaraan beauty privilege dengan berbagai cerita yang dari para pemilik akun yang menyebarkan kehidupan pribadinya. Istilah ini sebenarnya tidak tabu dalam pemahaman kita apalagi sebagai perempuan, yang kerapkali mendapatkan stigma dan standart tertentu dari masyarakat. beauty privilege misalnya seperti: perempuan harus langsing, kulit putih dan berambut panjang menjadi salah satu standart yang cukup kuat dalam pandangan masyarakat.

Tidak aneh mengapa perempuan yang memiliki badan besar, hitam ataupun putuh. Hal-hal lainnya yang tidak memenuhi standart kecantikan yang dibangun oleh masyarakat. Bahkan, itu akan tereliminasi dari berbagai kemudahan seperti kemudahan akses mendapatkan layanan publik, bahkan karir. Fenomena ini sebenarnya jauh lebih dulu dikritik oleh Naomi Wolf dalam bukunya yang berjudul “Mitos Kecantikan”. Dalam tulisan ini, ia membagi dalam beberapa pembahasan, di antaranya:

Pertama, Naomi menjelaskan secara rinci fenomena kecantikan yang dimanfaatkan sebagai senjata politik. Bahkan, saat ini menjadi penghambar perempuan. Fenomena kecantikan nyatanya menjadi persoalan serius yang memenjarakan perempuan dan sudah terjadi semenjak sebelum revolusi industri.

Kedua, pengalaman perempuan yang mendapatkan diskriminasi hanya persoalan kecantikan. Salah satu istilah yang saya catat tebal dari Naomi adalah PBQ (A Professional Beauty Qualification/ Kualifikasi Kecantikan Profesional). Banyak perusahaan yang menggunakan aturan ini untuk memberikan syarat bagi perempuan dalam pekerjaan. Kebijakan ini seolah-olah adalah hal biasa. Padahal, sangat memenjarakan perempuan dengan hanya sibuk memikirkan kecantikan dibandingkan dengan lainnya.

Di bagian ini juga, Naomi mengkritik kebijakan yang berpihak terhadap PBQ. Banyak perempuan yang tereliminasi dan tidak diterima bekerja lantaran tidak memenuhi standart kecantikan yang ada. Akibatnya, banyak sekali perlawanan untuk kasus ini. Namun, kekalahan ada pada perempuan yang disalahkan karena tidak bisa memenuhi standart kecantikan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Kasus ini berakibat pada fenomena kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja. Namun, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual, perempuan yang menjadi korban ternyata tidak mendapatkan keadilan yang setimpal. Bahkan kaum perempuan mendapatkan kekalahan dari sekian banyak kasus yang menimpanya. Kaum perempuan sendiri dianggap sebagai provokator dari adanya kasus kekerasan seksual.

Naomi juga menjelaskan secara rinci budaya patriarki yang mengakar pada perempuan. Hal ini tercermin dalam cerita, dongeng-dongeng yang memotret perempuan sebagai makhluk yang harus memilih antara pikiran atau kecantikan. Streotip perempuan juga diperkuat dengan dongeng-dongen maskulinitas. Di tatanan aspek religiusitas, perempuan dikontrol atas tubuh dengan teks keagamaan serta tidak didukung untuk terlibat dalam ranah publik.

Agama dengan corak patriarki sangat mengontrol seksualitas perempuan dengan berbagai mitos yang disebarkan. Hal ini bisa dilihat dari mitos keperawanan perempuan yang harus menjaga keperawanan, sunat perempuan yang justru membuat perempuan terbelenggu serta moralitas yang selalu diukur dari tubuh dan seksualitas perempuan. Fenomena ini menjadi salah satu yang mengakar bagi masyarakat untuk memotret kehidupan perempuan.

Iklan di televisi menyuguhkan gambaran perempuan yang cantik. Majalah dan tulisan yang menggambarkan perempuan, kerap kali mendiskreditkan perempuan dengan persoalan tubuh yang selalu diberikan standart oleh masyarakat. Budaya patriarki memuja standar tubuh idea. Mau tidak mau perempuan harus mampu memnuhi standart tersebut. Dalam konteks ini, perempuan selalu terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan memuja bentuk tubuh ideal.

Obsesi untuk selalu cantik membuat perempuan rela antri di meja-meja operasi plastik dan kosmetik. Diet ketat menjadi salah satu upaya agar bentuk tubuh ideal. Para perempuan rela tidak makan dan merasa lapar kemudian sakit karena menginginkan tubuh ideal seperti yang diharapkan masyarakat. gambaran semacam ini sebenarnya kalau kita lihat hari ini begitu terasa. Bagaimana perempuan merelakan dirinya untuk membeli skincare agar terlihat putih, glowing, menggunakan obat diet sebanyak mungkin supaya mendapatkan badan ideal.

Kritik Naomi Wolf sebenarnya sampai hari ini masih sangat relevan dengan berbagai fenomena yang terjadi. Ia mengajak para pembabaca untuk menginterpretasi ulang tentang makna kecantika. Mitos kecantikan yang kerapkali memenjarakan perempuan seharusnya membuat kita sadar agar tidak perlu mengikuti standart budaya patriarki yang mematikan perempuan. Kita sebagai perempuan terus didorng untuk lebih berani menetukan dan mengekspresikan seksualitas dan menghindari dari segala jenis standar yang dibuat oleh masyarakat. Di bagian akhir, Naomi Wolf menyampaikan tentang:

“Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka.”

Perempuan selalu dituntut untuk sempurna apalagi persoalan kecantikan. Dan kita sebagai perempuan terus mengamini dengan berbagai upaya agar mampu berada di standart tersebut dengan merelakan diri kita sendiri.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments