Menonton film Empu: Sugar on the Wheavings Chair, pada mulanya saya berpikir bahwa ini kisah perjuangan hidup Sutringah. Dalam film ini Sutringah adalah seorang istri petani gula yang hidupnya serbas pas-pasan. Keluarga kecilnya sedang berjuang untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Terjerat hutang serta memiliki kewajiban untuk membiayai sekolah anak, membuat keluarganya hidup dalam jeratan kesengsaraan. Musibah menimpa keluarganya.
Suatu ketika, suaminya mengalami kecelakaan, jatuh dari pohon gula dan tidak bisa mencari nafkah. Dengan hutang yang menumpuk dan kondisi perekonomian yang sangat buruk, ia mempertanyakan perannya sebagai perempuan. Dia juga banyak mengambil keputusan untuk menjadi penopang hidup keluarga. Scene pertama dalam film ini dibuka oleh penolakan suami Sutringah ketika mengikuti sebuah workshop yang membahas tentang kesetaraan gender. Melalui scene tersebut, potret ketimpangan gender yang tercipta dalam keluarga Sutringah benar-benar terlihat.
Penulis belajar banyak dalam potret yang digambarkan. Sikap yang ditampilkan oleh suaminya, benar-benar memperlihatkan relasi kuasa dalam sebuah keluarga. Berbagai ketimpangan jelas terlihat, mulai dari ketimpangan gender, ketimpangan ekonomi, hingga ketimpangan sosial. Nyatanya, film ini tidak hanya berkisah tentang Sutringah, ada perempuan lain yang memiliki pengalaman berbeda. Perempuan tersebut yakni: Yati, seorang difabel tunadaksa, yang bekerja untuk usaha keluarganya, tenun lurik di Klaten Jawa Tengah. Yati adalah perempuan yang memiliki banyak mimpi dan ide untuk memajukan usaha keluarganya.
Tenun lurik yang menjadi warisan budaya Indonesia, dan biasa digemari oleh turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Namun, beberapa kali turis yang berkunjung untuk membeli tenun, selalu tidak cocok dengan warnanya yang gelap. Ada pula Maria, seorang perempuan yang memiliki kelompok tenun, yang berusaha agar warisan tenun itu bisa diturunkan kepada generasi muda, supaya tetap lestari. Tiga cerita tersebut terangkum dalam sebuah film, di mana memiliki ciri khas yang berbeda-beda dalam setiap potret perempuan yang ditampilkan.
Potret Perempuan Berdaya
Bagi saya, film ini kurang mendalam terkait sorotan peran dari masing-masing cerita yang disampaikan. Barangkali karena menceritakan tiga tokoh perempuan yang berasal dari latar belakang masalah berbeda-beda, membuat film ini tidak terlalu intens dalam membahas suatu topik. Namun, kekurangan tersebut menurut hemat penulis juga menjadi kekhasan dalam film ini karena mampu menyorot tiga sosok perempuan yang berbeda-beda. Inti dari cerita yang disampaikan, menurut penulis adalah tentang kesempatan yang perlu diberikan kepada perempuan, apapun masalahnya.
Pertama, Sutringah yang selama ini kerapkali tidak diperbolehkan oleh sang suami untuk bekerja, membantu mencari nafkah, pada akhirnya himpitan ekonomi mengharuskan dia untuk menjadi penopang hidup keluarga. Ia berperan sebagai orang yang memanjang pohon gula, di mana biasanya pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki. Budaya patriarki yang masih mengakar, menjadikan Sutringah begitu struggle meyakinkan suaminya, agar diberi kesempatan untuk melakukan pekerjaan tersebut sehingga mampu meringankan beban keluarga.
Kedua, Yati seorang difabel, memiliki mimpi dan cita-cita yang tinggi untuk memajukan usaha keluarganya. Ketika pilihan bekerja di pabrik tidak memberikan kesan yang baik bagi seorang difabel, ia justru kembali ke rumahnya untuk memajukan usaha tenun lurik milik keluarganya. Berbagai inovasi dilakukan. hal yang paling bisa dilihat adalah sikap yang ditampilkan oleh ayahnya, di mana pada mulanya tidak memberikan kesempatan bagi Yati untuk berinovasi. Awalnya, kemampuan Yati diragukan, bahkan oleh ayahnya sendiri. Akan tetapi, ketika ia diberi kesempatan untuk melakukan berbagai ide dan inovasinya, usahanya berkembang. Banyak pengunjung dan pembeli datang di toko tenun lurik miliknya tersebut.
Ketiga, Maria, seorang janda pendiri kelompok tenun, yang berisi para janda. Hidup di daerah perbatasan (NTT), dengan berbagai keterbatasan yang dialami, tidak membuatnya patah semangat. Suatu waktu ketika ia mengalami masalah di pengadilan tentang lahan yang selama ini digunakan oleh kelompok tenun, ia melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan warisan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengajarkan tenun kepada generasi muda supaya tetap lestari. Usaha melestarikan kepada generasi muda penuh dengan tantangan. Ia melakukan komunikasi, negosiasi kepada pihak sekolah supaya aspirasi dan idenya diterima.
Usaha tersebut tidak dilakukan satu kali saja. Akan tetapi ia perlu meyakinkan pihak sekolah agar ide untuk pelajaran menenun di luar pelajaran sekolah diterima. Ide tersebut bukan tanpa alasan. Menurutnya, kemampuan menenun sangat penting dimiliki oleh generasi muda supaya tenun tidak hilang dari peradaban. Warisan itu harus tetap lestari, salah satunya dengan memberikan pelajaran tersebut kepada sekolah. Akhirnya, setelah diterima oleh pihak sekolah, Maria beserta kelompok tenun, memberikan pelajaran tentang tenun dan melatih kemampuan siswa untuk membuat tenun.
Perjuangannya dalam menuntut keadilan lahan, didukung oleh para muridnya. Mereka memiliki dukungan penuh agar perjuangannya membuahkan hasil. Kisah tersebut adalah potret esempatan bagi para perempuan untuk berdaya dan mandiri. Ketiga perempuan di atas, berdaya dengan caranya masing-masing. Kesempatan untuk melakukan berbuat lebih dan melakukan berbagai upaya untuk mandiri, kadang tidak diberikan kepada perempuan.
Benar kiranya kalimat yang diungkapkan oleh Najwa Shihab, melalui akun yotuubenya, bahwa: Ibarat sebuah rumah yang ada pintunya. Pintu rumah bagi laki-laki selalu terbuka untuk melakukan berbagai hal. Akan tetapi, berbeda dengan perempuan. Ia harus mendobrak pintu tersebut agar terbuka. Perempuan harus menunjukkan terlebih dahulu tentang keberhasilan, sehingga masyarakat memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berdaya. Padahal, kesempatan yang sama harus diberikan, baik laki-laki ataupun perempuan.
Film ini menampilkan potret tersebut dengan begitu ciamik. Perempuan sangat butuh diberi kesempatan, dukungan untuk merealisasikan ide serta inovasi yang dimiliki. Ketika kesempatan diberikan kepada perempuan, maka itu menjadi support system untuk berdaya. Karir seorang perempuan tidak hanya berasal dari kemampuan seorang perempuan itu sendiri. Akan tetapi, lingkungan di mana ia berasal. Kompleksitas masalah keberhasilan perempuan untuk terus mandiri, perlu dilihat dari berbagai sisi, termasuk lingkungannya.
Selain menyajikan potret berharga sebuah kesempatan bagi perempuan. Film ini juga menunjukkan lingkungan inklusif yang perlu untuk terus diupayakan. Yati, perempuan difabel tunadaksa, sangat membutuhkan support system yang baik untuk melakukan berbagai hal. Keluarganya mendukung penuh untuk setiap idenya. Penerimaan ayahnya tidak diberikan begitu saja. Butuh usaha dan pembuktian, bahwa kesempatan itu layak bagi penderita tunadaksa.
Menjadi perempuan yang seperti manusia, butuh usaha lebih. Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan dilahirkan untuk bekerja dalam ruang lingkup domestik. Padahal, setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja, berperan dalam ruang publik seperti halnya laki-laki. Potret ketidakadilan gender masih mengakar dalam lingkungan masyarakat.
Sutringah menjadi salah satu korbannya. Berapa banyak perempuan hidup menderita dan tidak diberi kesempatan bekerja dan mencari nafkah hanya karena seorang perempuan? Di sekitar kita, barangkali ada contoh Sutringah yang lain. Hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, jerat hutang, namun tidak bisa melakukan upaya lebih karena mindset masyakat masih menganggap bahwa menjadi perempuan tidak boleh bekerja, hanya boleh manut suami. Film ini memberikan pelajaran betapa berharganya sebuah kesempatan bagi perempuan.