Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeFigurFigur NasionalAwalnya Terpicu Ibu, Kudampingi Korban KDRT dan Kekerasan Seksual

Awalnya Terpicu Ibu, Kudampingi Korban KDRT dan Kekerasan Seksual

Ibuku bergegas melangkahkan kakinya ketika terdengar teriakan di belakang rumah kami. Aku mengikuti gerak kaki Ibu yang setengah berlari dengan memegangi roknya sambil menahan takut. “Apa yang akan dilakukan ibuku?” batinku. 

Sampai di depan pintu rumah tetanggaku yang terbuka, terlihat Lek Kasim (bukan nama sebenarnya) memegang kendi dan menghantamkan ke kepala istrinya yang tengah memangku bayi. Ibuku berteriak. 

Istighfar Kang, nyebut!” ujar ibuku sambil memasuki rumah mendekati Lek Kasim. Istrinya Lek Kasim, Rany (bukan nama sebenarnya), menangis sambil mengguncangkan dan menepuk pantat anaknya yang berumur tiga bulan di pangkuannya. 

Kowe ra sah ikut campur urusanku (Kamu nggak usah ikut campur urusanku),” ucap Lek Kasim kepada Ibu yang tak gentar. Ia mendekati Rany, memberinya minum dan membuntuti Lek Kasim yang masih tampak emosi.

Lha nek ra urusanku, nek bojomu mati opo muk dadi urusanmu? Mesakke Rany, Kang, ibune anak-anakmu. Kalau ini bukan urusanku, kalau istrimu meninggal apakah juga hanya akan menjadi urusanmu? Kasihan Rany, Kang, ibu dari anak-anakmu,” kata ibuku setengah lantang. 

Itulah sepenggal cerita kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kuingat saat usiaku sekitar 8 tahun. 

Di kampung kami di Blora, Jawa Tengah, KDRT masih dianggap lumrah. KDRT dibincangkan diam-diam, jadi bahan rasanan (gosip) dan menurut masyarakat tak elok jika orang lain ikut mengurusi.  Namun, bagi Ibu, kekerasan dalam bentuk apa pun yang mengancam kehidupan, apalagi perempuan, penting bagi orang lain untuk turut campur. 

“Perempuan dijadikan gudangnya semua kesalahan. Kalau bukan sesama perempuan yang membantu, lalu siapa lagi?” kata Ibu. 

Ibuku bukan orang terdidik, SD saja tak lulus. Namun, perjalanan hidup yang keras, menjadi korban diskriminasi dan budaya patriarki menjadikan ibu memiliki pendirian yang out of the box atau tidak umum. 

“Jadi perempuan, cantik saja tak cukup. Ia harus pintar, cerdas, kuat, dan berani,” pesannya kepadaku.

Selain dari Ibu, pengalaman lainnya yang turut menempaku adalah bergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di kota Garut-Jawa Barat, dan Semarang. Para senior sering mengundang tokoh dari agama-agama lain. Kesempatan diskusi, mendapat pengetahuan dan pengalaman baru membuat saya memiliki pandangan tersendiri tentang pentingnya toleransi. 

Setelah lulus saya bekerja sebagai editor buku lalu menjadi jurnalis di media seperti detik.com. Menjadi jurnalis yang menulis kisah-kisah inspiratif, terutama tokoh perempuan, memberi pengalaman tersendiri setelah sebelumnya lebih dari lima tahun menulis isu-isu politik. Sebagian besar tokoh perempuan tersebut menginspirasi saya untuk mengikuti semangat dan dedikasi mereka dalam memberdayakan dan membangun masyarakat luar. Saya juga termotivasi mengikuti jejak kebaikan dan perjuangan yang tujuannya satu, menjadikan hidup lebih bermanfaat untuk orang lain. Dan sebagai perempuan, saya ingin bermanfaat dengan membela korban KDRT seperti ibu.

(bersambung)

*

Kisah Kustiah selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.

Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments