HomeOpiniSeorang Perempuan Penghayat, Sudahkah Mendapatkan Keadilan?

Seorang Perempuan Penghayat, Sudahkah Mendapatkan Keadilan?

Suatu hari, ketika saya berkenalan dengan seorang teman perempuan penghayat, ada kalimat yang membuat saya tidak bisa move on, seperti lagu Joji ‘Glimpe of Us’, yang viral beberapa waktu lalu. Sayangnya, ini bukan tentang susah move on dari mantan, akan tetapi tentang pertemuan pertama yang cukup membuat saya tercengang.

“KTP saya Islam, karena memang tidak ada pilihan kolom agama penghayat di KTP. Petugasnya juga menyuruh memilih Islam saja daripada repot-repot. Udah gitu saya juga milih pake jilbab, karena di sekolah dulu suruh pake jilbab akhirnya  milih pake jilbab biar keliatan sama dengan yang lain,” ucapnya dengan mimik muka seperti mengingat hal-hal di masa silam.

Kisah teman baru saya itu, nyatanya bukan satu-satunya pengalaman tidak menyenangkan menjadi penghayat. Di SMAN I Kudus, siswa penghayat tidak mendapatkan pelajaran penghayat oleh gurunya yang penghayat dengan alasan sekolah belum memiliki fasilitas ruang kelas khusus dengan dalih hanya 1 peserta didik dari warga Sapto Darmo saja. Akibatnya, guru tersebut hanya memberikan penugasan yang dilakukan di rumah.

Tidak hanya mereka yang mendapatkan diskriminasi dari sekolah, kisah lain dari pahitnya menjadi perempuan penghayat diceritakan oleh Dewi ketika menikah dengan suaminya. Ia tidak memiliki pengakuan dari pemerintah atas pernikahannya sehingga belum memiliki surat nikah. Ketiadaan surat nikah itu membuat dirinya tidak memperoleh tunjangan sitri dan anak. Selain itu. dampak buruk lainnya ia tidak terdaftar sebagau penerima asuransi.

Ia juga sulit mengajukan kredit perumahan dan kendaraan bermotor. Sehingga ia tidak memiliki hak sebagai perempuan yang sewaktu-waktu membutuhkan pengobatan dari pengalaman biologisnya sebagai perempuan. Pengalaman pahit lainnya terjadi pada kematian seorang penghayat di Pati. Kematian orang tersebut ditolak oleh masyarakat sekitar karena pemakaman setempat harus orang Islam. Akhirnya setelah negosiasi dengan pemerintah desa tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan bahwa, jenazah boleh dimakamkan dengan syarat menandatangani surat kesepakatan menjadi orang Islam.

Malang betul nasib sang bapak. Bahkan sampai matipun, masyarakat masih mempertentangkan agamanya. Kalau itu terjadi pada kita, bagaimana rasanya ditolak untuk dimakamkan hanya karena berbeda agama? Ketika cosplay jadi jenazah, rasanya saya seperti diperlambat untuk bertemu malaikat dalam kubur dan berusaha untuk memahami percakapan orang-orang yang masih hidup.

Seandainya saya bisa berbicara sebagai seorang jenazah, saya akan mengatakan, “Urusanmu yang masih mempertentangkan agamaku ini, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan urusanku yang harus segera bertemu malaikat,” ucap saya dengan sikap greget atas perlakuan manusia-manusia di dunia ini.

Saya justru memiliki refleksi dari kisah di atas, dengan pengalaman yang sama, dirasakan oleh kelompok Syi’ah di Sampang yang pernah terusir akibat pilihan keyakinannya. Selama bertahun-tahun, mereka tinggal di Sidoarjo, di tempat singgah yang belum pernah ditempati sebelumnya. Mereka terusir dari tempat tinggalnya hanya karena, pilihan keyakinannya dalam beragama. Bahkan, terusirnya mereka dari Sampang, ada tragedi yang cukup mengenaskan dan menyisakan luka yakni terjadi pembakaran rumah.

Solusi yang diberikan oleh masyarakat Sampang agar warga Syi’ah yang diasingkan di Sidoarjo, agar bisa kembali ke rumahnya di Sampang yakni, kembali berkhidmah untuk sejalan dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Bukankah baik dari kelompok penghayat ataupun syi’ah mengalami paksaan dalam keyakinan? Bagaimana kita mewujudkan lingkungan inklusif jika dalam konteks beragama saja, kita mengharuskan orang lain untuk sama dengan kita?

Baik penghayat, syi’ah, ataupun kelompok minoritas lainnya, akan mengalami diskriminasi sebagai minoritas. Ruang aman bagi kelompok minoritas ini, perlu kita gaungkan bersama untuk menciptakan lingkungan inklusif. Kesadaran kita sebagai makhluk individu, tentu harus terus kita pupuk untuk menyadari keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia sangat besar. Di sekitar kita, ada banyak orang yang memilih hidupnya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Salah satu upaya yang bisa kita lakukan adalah menghargai pilihan tersebut.

Tidak hanya menghargai secara pribadi, akan tetapi kita perlu mendorong lingkungan kita untuk bersikap menghargai dan memberikan haknya sebagai manusia utuh. Sebagai pungkasan, keberagaman di Indonesia rupanya belum bisa menghadirkan kesetaraan Catatan ini tentu saja bukan semata untuk negara saja, namun juga untuk kita semua. Penting untuk menyadari bahwa banyak saudara kita di luar sana yang memiliki identitas berbeda dengan kita.

Kesadaran itu kemudian digunakan untuk berkomitmen bahwa kesetaraan hak-hak warga negara adalah mutlak adanya tanpa melihat latar belakang warga negara. Sebuah perbedaan harusnya berjalan beriringan dengan kesetaraan, bukan justru melahirkan ketidaksetaraan. Ada banyak hak perempuan yang terabaikan akibat keberagamaan yang berbeda. Negara belum mampu memberikan perannya sebagai pelindung untuk warganya.

 

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments