“Mengamati dan mendampingi ‘korban’ ketika aku menjadi satgas seperti berefleksi kepada diri sendiri. Sungguh bukan hal yang mudah ketika kita mengalami sesuatu yang personal di dalam keluarga, lalu meminta bantuan kepada orang lain,” ucap Karolina Ratnaningsih.
Pengalaman personal seperti yang diungkapkan Karolina Ratnaningsih, yang akrab dipanggil Nana, ibu satu anak pegiat isu perempuan di Yogyakarta itu mungkin yang menjadi latar cerita keterlibatannya menjadi satgas Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DP3AP2 DIY). Pengalaman personal itu kini sedang diproses oleh dirinya sendiri dalam arti ke arah memaafkan.
Berusaha memahami sikap Ayahnya yang berkarakter keras dan jarang berada di rumah. Tumbuh besar tak dibersamai ayahnya yang dosen dan ibunya yang merupakan perawat di rumah sakit besar. Nana kecil sering dititipkan ke tetangga dan melalui aneka pola parenting, tergantung dengan siapa dititipkan.
“Kebayang, kan … apa yang saya alami itu mungkin juga dialami korban kekerasan lainnya. Mereka tak punya support system, beberapa korban malah saya yang mengantarkannya ke dinas terkait,” tutur Nana, yang disambungnya lagi, “mungkin itu alasan teman-teman mengajak saya masuk menjadi satgas, karena dinilai punya concern yang sama.”
Nana sempat mencontohkan bagaimana sebagai satgas dia merespons dan beraksi ketika ada temuan tentang kasus kekerasan seksual di media sosial. Ketika Nana mendapat pesan yang mengajak teman-teman di Yogyakarta untuk mendonasikan bantuan kepada seorang remaja putri korban kekerasan seksual dari Jawa Timur yang mengalami rudapaksa ketika dalam perjalanan menuju Yogyakarta; tak serta merta reaksinya menjadi impulsif.
Hal tersebut menjadi upaya perlindungan bagi korban dari Nana yang menjadi satgas. Nana dengan sigap melakukan langkah pertama yaitu mengkonfirmasi berita tersebut.
“Hal terpenting adalah kejadiannya seperti apa, bagaimana hal itu dapat terjadi, dan kalau harus dilindungi, kami punya rumah aman DP3AP2 DIY untuk perlindungan dan pemulihan mental korban.”
Meski sudah ada nomor kontak yang tertera, Nana hanya berkomentar. “Kita tetap perlu waspada. Sampai saat ini masih ada saja di masyarakat yang menggunakan modus ini sebagai upaya penipuan, terutama menjual kasihan untuk mendapatkan uang. Padahal kehadiran saya dan teman-teman dari Dinas DP3AP2 DIY menjadi sistem deteksi dini dan pencegahan yang memastikan bahwa setiap perempuan dapat melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya dengan lebih baik di masyarakat.”
Yogyakarta yang bisa dikatakan Indonesia mini karena masyarakatnya kian berwarna dengan banyak perantauan dari berbagai provinsi di Indonesia. Terutama kalangan anak muda yang melanjutkan pendidikan, memiliki beraneka ragam permasalahan, salah satunya isu kekerasan. Ruang-ruang perjumpaan, interaksi dan relasi keberagaman itu tak selalu setara dan baik-baik saja.
Menilik pada laporan data kekerasan sampai bulan Agustus 2024, yang dibuat lembaga tempat Nana bekerja, ada 164 perempuan korban kekerasan dari total 190 kasus di Yogyakarta. Di mana kasus yang dominan dilaporkan oleh para istri pelaku kekerasan sendiri, dan kebanyakan merupakan kasus kekerasan psikis dan fisik. Nana menambahkan angka kekerasan perempuan khususnya di berbagai wilayah di Yogyakarta masih jauh lebih tinggi dibandingkan kekerasan terhadap kaum lelaki.
Bahkan berdasarkan survei, pada rentang usia paling muda sampai usia lanjut, perempuan sudah dan masih menjadi korban kekerasan. Sistem pencegahan dengan deteksi dini terjadinya kekerasan berbasis gender ini menjadi perlu karena masih kurangnya edukasi perempuan dan beberapa doktrin di masyarakat yang berkembang. Nyata-nyata, merendahkan perempuan memperuncing kondisi ini.
Nana memaparkan dengan gamblang, bahwa DP3AP2 DIY mendorong perempuan untuk bisa menjadi pelopor dan pelapor. Pelopor dalam arti mencegah suatu tindakan yang mengandung kekerasan dalam bentuk apapun. Di saat yang bersamaan juga artinya berani melaporkan jika mengalami atau melihat suatu tindakan kekerasan.
Kedua upaya tersebut selain merupakan upaya pencegahan untuk ketidak berulangan kekerasan baru atau konflik lain, juga menjadi akses agar korban termasuk pelapor mendapatkan keadilan yang menjunjung tinggi hukum dan nilai kemanusiaan. Upaya pelopor dan pelapor ini menjadi counter narasi dari efek bystander yang sering terjadi pada kasus kekerasan.
Dari laman psychologytoday. com, diungkapkan efek bystander adalah fenomena psikologi di mana ketika ada orang yang membutuhkan pertolongan, masyarakat sekitar mengabaikannya, tanpa mau membantu. Hal itu diikuti pemikiran, nanti juga ada orang. yang membantu atau lebih parahnya lagi, kejadian tersebut bukanlah urusan saya. Apabila setiap orang di masyarakat memikirkan hal yang sama, bisa dipastikan benar-benar tak ada yang membantu
Dalam penelitian lanjutan juga, ditemukan bahwa jika masyarakat yang mengetahui kejadian, hanya terdiri sedikit orang saja, malah orang-orang lebih berani memberi pertolongan. Karenanya kerja DP3AP2 terutama dengan penugasan para satgas di berbagai wilayah hingga kelurahan di setiap kapanewon /kemantren, bisa mendorong konsep pelopor dan pelapor ini tumbuh, sehingga bisa menjadikan setiap kasus kekerasan lebih cepat tertangani.
Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, di wilayah yang selama ini jauh dari jangkauan juga dapat terdeteksi dan tereduksi. Sehingga, muncul kesadaran pada masyarakat, khususnya perempuan untuk saling menjaga dan segera melaporkan kepada satgas jika terjadi kekerasan. Rasa takut itu , kata Nana, kini perlahan-lahan berubah menjadi rasa ingin saling menjaga perempuan satu dengan yang lainnya.
Keterlibatan Nana dalam kerja kemanusiaan ini menjadi bukti bahwa perempuan benar menjadi garda depan pembentuk karakter penerus bangsa yang penting dan bisa membuat perubahan. Apalagi upaya Nana dalam satgas telah berupaya memberi ruang aman dan nyaman bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan memiliki hak hidup yang lebih baik.
“Permasalahan perempuan ini memang masih menjadi PR kita bersama. Kadang kita perlu mengingatkan sesama perempuan bahwa sebenarnya kitapun bisa menjaga sesama perempuan lain dengan ikut menghargai mereka sebagai perempuan dan manusia. Miris bahwa perempuan justru lebih banyak direndahkan perempuan sendiri. Contoh sederhana dengan mengirim emot di ruang percakapan yang melecehkan perempuan dalam chat yang dianggap hanya lelucon biasa. Atau ketika ada komentar yang menyakitkan saat perempuan disudutkan dalam sebuah berita di media sosial. Bagaimana kita bisa memperjuangkan hak-hak perempuan jika perempuan sendiri yang belum bisa saling melindungi dan menghargai,” tegasnya lagi
Latar belakang interaksi Nana dan orang tuanya yang tak seindah teori pengasuhan, ternyata malah membukakan Nana pada ruang-ruang perjumpaan dengan para perempuan lain, yang mengalami kekerasan dan memerlukan bantuan. Sebuah tindakan resiliensi yang sangat baik, bukan?