Hampir satu abad yang lalu, Kartini menyuarakan emansipasi dan kesetaraan perempuan. Dan selama itu pulalah, setiap tahun secara ceremonial tanggal 21 April diperingati sebagai hari kartini. Meskipun tidak memiliki peran secara langsung, namun peran perempuan di ranah publik di masa sekarang ini berkaitan dengan pemikiran-pemikiran Kartini. Diperbolehkannya perempuan menjadi pemimpin dan mengambil bagian dalam perpolitikan praktis menjadi angin segar bagi perjuangan perempuan.
Namun tidak demikian dengan urusan domestic. Perjuangan Kartini dan peringatannya setiap tahun tak pula mengeluarkan perempuan dari kungkungan patriarki. Terutama bagi perempuan Jawa, sebagai salah satu adat yang juga banyak dikritik oleh Kartini muda. Double murden perempuan sebagai ibu rumah tangga sekaligus mencukupi nafkah keluarga acapkali diterima perempuan sebagai sebuah kodrat. Menjadi konco wingking, dan manager tunggal urusan perdomestikan masih melekat pada perempuan.
Pengalaman Perempuan di Bulan Ramadhan Di Bulan Ramadhan seperti yang saat ini kita jalani, perempuan memiliki peran yang sangat luar biasa untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan di rumah kita masing-masing. Mari melakukan refleksi bagaimana keadaan rumah kita saat bulan Ramadhan. Sudah bisa dipasrikan bahwa ibu adalah superhero dan penolong utama untuk menghidupkan suasana Ramadhan yang penuh khidmat dan suka cita.
Rela bangun lebih awal demi menghangatkan lauk sahur, membuatkan minuman hangat, mengingatkan untuk mengonsumsi vitamin. Dilanjutkan dengan santap sahur yang meskipun ia juga harus menyantap sahur, namun ia tak akan melakukannya sebelum memastikan seluruh anggota keluarga sudah tercukupi dan makan dengan nikmat. Saat anggota keluarga lain menunaikan sholat subuh dan dilanjutkan dengan tilawah subuh, Ibu melanjutkan urusan domestik lainnya.
Merapikan dapur, menyiapkan kebutuhan untuk sekolah dan kebutuhan suaminya untuk bekerja. Pun jika ia seorang ibu pekerja, ia akan tetap memprioritaskan kebutuhan lainnya terlebih dahulu. Siang hari saat tubuh berada dipuncak kelelahan dan cuaca yang menyengat, anggota keluarga lain tidur siang, ia justru pergi ke toko sayur. Menyiapkan bahan makanan bergizi untuk bekal berbuka. Menghabiskan sore harinya untuk menyiapkan menu terbaik agar seluruh anggota keluarga semangat menjalani puasa Ramadhan.
Menjelang tarawih, dengan tubuh yang sudah sangat lelah ia tetap memaksakan dirinya untuk melaksanakan tarawih. Demi memberikan uswatun hasanah pada anak- anaknya, menahan kantuk dan keletihan karena aktifitas sepanjang hari. Tidurnyapun tak nyanyak karena terus memikirkan untuk segera bangun menyiapkan menu sahur. Seringkali saya baca beberapa status teman di media sosial yang menceritakan betapa hancur dirinya dan keluarganya saat ibunya wafat.
Momen Ramadhan selalu menjadi momen yang paling mengingatkan kenangan mereka terhadap sosok ibu. Hal ini menunjukkan bahwa hidupnya semangat Ramadhan erat kaitannya dengan peran seorang perempuan. Ditengah perjuangan yang luar biasa tersebut, kemudian saat mendengar ceramah tarawih, khatib justru mengutib ayat ketidaksempurnaan perempuan, serta penghuni neraka yang konon katanya diisi oleh para wanita yang kurang akalnya.
Hadits misoginis digunakan untuk mendeskriditkan peran perempuan. Dinilai tak sempurna ibadahnya hanya karena tak sempurna jumlah puasanya, dinyatakan kurang akalnya karena kurang tilawahnya. Dikritik imannya karena tak sempurna jumlah tarawihnya. Segala perjuangan dan pengorbanannya untuk memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga dianggap sebuah kodrat yang memang semestinya dilakukan oleh perempuan.
Implementasi Spirit Kartini Pada Pengalaman Perempuan Di Bulan Ramadhan Kartini berjuang melawan ketidakadilan dalam wajah dominasi, eksploitasi, maupun hirarki. Dengan pemikirannya yang terbilang sangat berani dimasanya, Kartini menentang adanya keterbelakangan teman-temannya hanya karena mereka perempuan. Menentang poligami yang acapkali menyakiti perasaan perempuan. Dan memperjuangkan hak-hak perempuan agar bisa mendapatkan pendidikan sama dengan laki-laki.
Meskipun meninggal di usia sangat belia, ruh dan jiwa perjuangannya tak lekang oleh waktu. Namun apa yang dilakukan oleh Kartini bukanlah garis finish. Masih banyak pekerjaan rumah dan juga perjuangan yang perlu dilakukan oleh perempuan untuk merealisasikan cita-cita Kartini. Peringatan hari Kartini yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadahan ini hendaknya kita gunakan untuk benar-benar menginternalisasikan spirit perjuangan kartini pada diri kita masing-masing.
Membentuk kesadaran bahwa pada hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang sama didepan Tuhannya. Satu-satunya yang membedakankedudukan makhluk didepan Tuhan hanyalah ketaqwaannya. Bukan karena sukunya apalagi karena jenis kelaminnya. Maka urusan domestic juga bukan hanya tanggungjawab perempuan saja. Harus ada pembagian peran yang proporsional sehingga pekerjaan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, dan Ramadhan tetap menjadi istimewa dengan adanya kerja sama.
Mengasuh anak, dan mengurus rumah bukalah kodrat perempuan. Namun tugas bersama yang harus dilakukan oleh suami istri dengan konsep kesalingan. Spirit kesetaraan Kartini juga harus diimplementasikan dalam memaknai hadits misoginis tentang kurangnya keimanan perempuan karena kuantitas puasanya yang tidak sempurna. Ditinggalkannya puasa wajib oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi adalah salah satu bentuk ketaatannya pada perintah Allah SWT.
Tak adil rasanya kita memaknai ketidakberpihakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil pada hambanya yang sedang melaksanakan perintahnya. Satu hal yang seringkali luput dari sejarah panjang perjuangan Kartini adalah peran suaminya. Segala perjuangan yang Kartini lakukan tak lepas dari dukungan suami yang juga memiliki semangat kesetaraan yang tinggi. Maka laki-laki dimasa kini juga harus meneladani sikap suami Kartini untuk terus mendukung hal-hal positif yang dilakukan oleh istri.
Menyadari bahwa kesetaraan adalah sebuah keniscayaan dan mengandung spirit Ketuhanan seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Hujurat ayat 13. Ada satu pesan Kartini yang menurut saya cukup menyentuh dan relevan untuk perempuan di segala zaman:
“Terima kasih kepada seluruh wanita hebat yang telah berjuang membangun negara ini, yang telah berjuang menafkahi keluarga, memiliki tangan besi dan semangat yang tiada habisnya. Bagi kalian, doaku teriring selalu.”