HomeFilmKetidakadilan yang Menyesakkan dalam Film Miracle in Cell No. 7

Ketidakadilan yang Menyesakkan dalam Film Miracle in Cell No. 7

Meredanya pandemi Covid-19 ternyata membawa kabar gembira bagi para sineas film Indonesia. Tak hanya karena bioskop dapat ramai kembali setelah melonggarnya pembatasan sosial, masyarakat juga amat antusias untuk berduyun-duyun ke bioskop karena semakin banyak film Indonesia dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan film-film asing, salah satunya adalah Miracle in Cell No. 7.

Miracle in Cell No. 7 sendiri bukan ‘murni’ film Indonesia. Film yang berlatar belakang rumah tahanan ini adalah remake film Korea dengan judul sama. Alur ceritanya berkisah tentang Dodo Rozak (diperankan oleh Vino G. Bastian), seorang ayah penjual balon dengan keterbelakangan mental yang bernasib buruk. Kisah malangnya bermula ketika ia membantu seorang putri pejabat yang jatuh terpeleset ke dalam kolam renang. Namun niat baiknya itu disalahpahami oleh saksi kejadian. Ia disangka sebagai pembunuh dan pemerkosa sang anak. 

Apa yang dialami Dodo membuat sesak putri semata wayangnya, Kartika (Graciella Abigail). Ia yang tinggal bersama sang ayah merasa kesepian taktala Bapak Dodo tak ada lagi di sampingnya. Dengan statusnya sebagai piatu (Ibu Kartika meninggal ketika melahirkannya), Kartika kemudian dititipkan di panti asuhan. Sayangnya tinggal di panti tak membuat Kartika lantas bahagia, ia lebih senang jika bisa bertemu dengan ayahnya meski di sel tahanan sekalipun. 

Keterikatan antara ayah dan anak inilah yang dikemas dengan apik oleh Hanung Bramantyo. Ketulusan sang ayah dalam memenuhi janji kepada mendiang ibu agar menjaga putrinya ditepati oleh Dodo yang diperagakan Vino G. Bastian dengan luar biasa. Tak hanya gemilang memainkan sosok dengan keterbatasan mental, Vino juga mampu menghadirkan figur ayah yang tulus berkorban demi anak perempuannya. 

Tak heran, banyak penonton berulang kali menyeka air mata melihat performanya dalam film besutan Falcon Pictures tersebut. Selain menghadirkan akting Vino, Miracle in Cell No. 7 tak akan berkesan jika aktor-aktor pendukung lain seperti Indro Warkop, Tora Sudiro hingga Indra Jegel bermain buruk. Nyatanya, sepanjang film, mereka membuktikan bahwa mereka mampu menampilkan interaksi hubungan narapidana yang sudah seperti keluarga sendiri. 

Dengan penulisan dialog-dialog nan renyah, tak heran film yang rilis pada 8 September lalu ini telah menarik lebih dari 3 juta penonton untuk mampir ke bioskop. Tentu sebuah angka yang fantastis karena sebelumnya, rata-rata film sukses Indonesia berasal dari genre horror. Di samping hadir dengan paket komplit dari alur cerita hingga akting para pemainnya yang brilian, film Miracle in Cell No. 7 juga menengahkan kritik terhadap penegakan hukum yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. 

Hal ini dicerminkan dari bagaimana investigasi terhadap Dodo tidak pernah berdasarkan asas praduga tak bersalah. Pihak kepolisian juga tak pernah membuka ruang untuk Dodo menyampaikan argumennya. Kondisi psikisnya justru kemudian dimanfaatkan untuk menjebaknya hingga ia tak berdaya untuk menolak hukuman yang dijatuhkan. Padahal, penegakan hukum seharusnya mengedepankan hak asasi manusia (HAM). 

Bukan asal cepat dan tangkap. Dengan berlandaskan pada HAM tersebut, yang perlu ditekankan adalah asas praduga tak bersalah. Sebab, asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu jenis HAM dijamin dan dilindungi dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.  Dalam penerapan asas praduga tak bersalah, pakar hukum Yahya Harahap (2006) berpendapat bahwa, tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan, itulah yang menjadi objek pemeriksaan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.

Tentu, apa yang dialami Dodo yang berdasarkan pada kisah nyata di Korea Selatan memperlihatkan bahwa ia merupakan korban ketidakadilan yang seharusnya bisa dicegah jika proses penegakan hukum didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia sejatinya sama di mata hukum. Bukan karena ia penyandang disabilitas, lantas diperlakukan semena-mena dan seenaknya.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments