Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeCeritaCerita Obertina : Masyarakat Intoleran, Sulit Menerima Minoritas

Cerita Obertina : Masyarakat Intoleran, Sulit Menerima Minoritas

Pasang surut proses penerimaan dialami Obet semasa kecil, berlanjut hingga dewasa. Ketika ia mengabdikan diri untuk masyarakat sebagai pendeta, berbagai tantangan dan risiko ia hadapi, sekalipun kejadian itu menciptakan trauma. Di awal tahun 2005, kelompok-kelompok ekstrem seperti Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP) muncul. Berbagai intimidasi, teror, dan diskriminasi dialami oleh jemaat, termasuk Pendeta Yuyun yang saat itu bertugas di sana. Ia bahkan sampai harus mengungsi cukup lama karena menjadi buronan AGAP dan BAP. Saat ini ia sudah tidak lagi di sana, pindah melayani jemaat di Depok.

Kekosongan kepemimpinan sejak 2005 di gereja Leuweung Kolot-Bogor ini, membuat Obet berpikir untuk menerima tawaran memimpin jemaat di sana. Pengalaman penolakan dan bullying waktu kecil, juga keterlibatan aktif Obet di komunitas Lintas Iman bersama Kang Wawan, Teh Yunita, dan Soni dari interfaith campsite, serta meluasnya jaringan hingga ke bagian dari organisasi masyarakat sipil seperti Banser, menjadikan Obet mantap secara mental memutuskan untuk pindah ke Leuweung Kolot.

Di daerah tempat keluarga Obet tinggal, pengalaman hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda adalah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Hanya keluarga Obet satu-satunya warga non muslim. Prasangka, stigma, stereotipe terhadap kelompok yang berbeda mencuat di masyarakat.

Berbagai bentuk penolakan tak dapat terelakkan. Beradaptasi di tempat yang baru saja prosesnya tidak mudah, apalagi jika harus dihadapkan dengan perbedaan yang tidak semua orang punya kesadaran dan kemauan untuk menerimanya. Tidak hanya berdampak pada ruang lingkup keluarga, tetapi juga merambah di instansi pendidikan dan masyarakat secara luas.

Penolakan terhadap keluarga Obet tidak hanya datang dari kalangan orang dewasa, tetapi juga dari kalangan remaja dan anak-anak. Mereka tak segan melontarkan kata-kata kasar, mengejek, bahkan turut serta dalam aksi demo menolak kehadiran kelompok yang berbeda. Hal ini sungguh sangat ironis. Fase anak-anak yang seharusnya penuh dengan penanaman nilai-nilai moral yang baik, justru diciderai dengan penanaman nilai intoleransi dari orang dewasa. Salah satunya melalui pendidikan di sekolah, baik sekolah formal maupun sekolah agama.

Seperti halnya yang dialami Grey, siswa SD kelas 5. Ia adalah anak salah satu jemaat gereja dimana Obet menjadi pemimpin agama. Saat Obet sedang melakukan program kunjungan ke rumah-rumah jemaat untuk mendoakan mereka, tiba-tiba datanglah Grey. Ia baru saja pulang dari sekolah, tetapi ada yang aneh dengan raut wajahnya. Setibanya di rumah, tangisnya pecah, pipi dan tangannya basah karena air mata. Sontak hal itu membuat orang tua dan para tamu kunjungan khawatir. Grey bercerita tentang apa yang dialaminya di sekolah hingga melukai perasaannya.

“Guru agama di sekolah bilang kalau aku bakal masuk neraka, karena aku orang Kristen. Cuma orang Islam yang masuk surga,” kata Grey sambil sesenggukan menahan tangis.

Sentimen terhadap kelompok yang berbeda yang terjadi di lembaga pendidikan ini tidak hanya mengakibatkan diskriminasi secara verbal yang dapat mempengaruhi ideologi masyarakat sekolah dan psikis korban, melainkan juga ada diskriminasi yang berdampak pada nilai akademis anak.

Ketiadaan guru agama selain Islam di sekolah, menjadikan anak-anak jemaat mendapatkan nilai mata pelajaran agama dari gereja. Pengurus gereja, termasuk Obet, membuat pertanyaan dan menyerahkannya ke sekolah. Kemudian, dari sekolah akan diserahkan kembali ke gereja untuk dinilai. Namun, hasil penilaian dari gereja justru dikurangi nilainya oleh pihak sekolah.

Misalnya, nilai yang diberikan gereja 9 menjadi 7 yang dicatatkan sekolah. Hal ini diketahui setelah wali murid meminta transparansi nilai kepada pihak gereja. Setelah dibuktikan dengan hasil penilaian dari gereja, ternyata pengurangan nilai itu dilakukan oleh pihak sekolah. Belum lagi dengan adanya sekolah agama atau madrasah di sana, sentimen terhadap orang non muslim semakin menguat.

Hadirnya Kelompok Intoleran, Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP)

Sekitar tahun 2005, setahun sebelum Obet melayani gereja Dayeuhkolot di Kabupaten Bandung, muncullah kelompok-kelompok intoleran yang menyerang dan memaksa gereja untuk ditutup. Kelompok-kelompok tersebut bernama Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP). Pendeta Yuyun yang pada saat itu memimpin jemaat gereja mengalami intimidasi yang sangat parah. Diganggu rumahnya, dikejar-kejar hingga mengharuskan ia dan keluarganya mengungsi untuk sementara waktu. Pada akhirnya, purna sudah masa pelayanan Pendeta Yuyun di sana, lalu digantikan oleh Obet, dan mereka masih tetap menjalankan aksinya.

Rentang waktu 2007-2008, AGAP dan BAP ini gencar-gencarnya melakukan aksi penyerangan ke gereja. Berbagai aksi intoleransi dan main hakim sendiri yang terus menerus mereka lakukan agar jemaat gereja angkat kaki dari kampung tersebut. Padahal, mereka sendiri bukan penduduk asli kampung. Mereka datang dari kecamatan sebelah.

Yang tidak habis pikir lagi, AGAP dan BAP, dua kelompok yang seringkali melakukan vigilante atau sikap intoleran dan aksi main hakim sendiri, bahkan bisa saja dengan kekerasan ini ternyata dibayar.

Fakta ini belakangan diketahui Obet dari salah satu anggota jemaat yang bertugas –sebut saja Pak Budi– menjaga di luar gereja untuk mengamankan kondisi di luar agar tidak mengganggu proses ibadah. Ia melihat sekelompok orang ini mengajak para remaja kampung untuk turut serta dalam aksi demo penutupan gereja. Mereka menjanjikan akan memberi uang sebesar 50.000 jika mereka mau bergabung. Tapi, tawaran itu ditolak.

Meskipun menolak bergabung dalam aksi demo bersama AGAP dan BAP, para remaja dan ibu-ibu sekitar kampung tidak juga membela jemaat gereja. Mereka hanya nongkrong saja melihat aksi demo AGAP dan BAP yang anarkis. Kehadiran AGAP dan BAP yang menyerang kelompok minoritas tidak begitu dipersoalkan. Dianggap angin lalu saja oleh masyarakat mayoritas, selagi tidak merugikan kelompok mereka. Susah payah jemaat gereja menghalau gangguan dan serangan untuk merdeka dalam beribadah.

Ketika jemaat memasang pagar agar tidak mengganggu ibadah di dalam gereja, mereka melompati pagar dan menggedor-gedor pintu gereja sembari meneriakkan kalimat takbir “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”. Kalimat takbir yang seharusnya dilafalkan untuk kebaikan dengan memuji keagungan Tuhan, justru menjadi alat untuk melakukan keburukan dengan mengerdilkan ciptaan-Nya.

Inkonsistensi Pemerintah Lokal dalam Memihak Kelompok Minoritas yang Rentan

Berbagai cara telah dilakukan Obet untuk mendapatkan surat IMB agar para jemaat bisa beribadah dengan khusyuk di gereja. Hingga suatu hari, ada seorang tokoh dari salah satu organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia –sebut saja Pak Imam— menawarkan bantuan untuk memproses IMB. Segala biaya untuk kebutuhan IMB telah dikeluarkan. Mulai dari biaya yang sifatnya administratif sampai kebutuhan personal Pak Imam.

Tidak sedikit jumlah uang yang dikeluarkan gereja untuk memproses surat IMB, bahkan melebihi anggaran yang dimiliki gereja. Obet beserta para jemaat tetap optimis. Mengupayakan berbagai cara agar kemaslahatan umat terpenuhi. Namun, ternyata tidak juga membuahkan hasil. Sejumlah uang yang telah dikeluarkan untuk IMB justru masuk dalam kantong orang yang tidak bertanggung jawab.

Di lain waktu, upaya untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat kembali dilakukan. Kali ini jalan masuknya melalui PBM2 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah.

Dari peraturan tersebut, dibutuhkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat, dan dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikitnya 60 orang yang disahkan oleh kepala desa. Pak RT yang mulai bisa menerima kelompok berbeda membantu proses pengumpulan dukungan dari sedikitnya 60 warga desa. Mulanya sudah terkumpul persyaratan tersebut untuk memenuhi IMB, tapi Pak RT justru menarik kembali dukungan warga. Melakukan pembiaran terhadap diskriminasi berbasis agama.

Tidak jauh berbeda dengan sikap aparat desa lainnya seperti Pak RW, kepala desa, dan camat. Suatu waktu, Obet dan pengurus gereja mendatangi kediaman kepala desa untuk meminta hak sebagai warga negara agar bisa bebas beribadah sesuai dengan keyakinan. Di hadapan Obet dan pengurus gereja, kepala desa memihak kepada mereka, dan akan mengupayakan kebebasan beribadah bagi umat Kristen.

Namun, ketika ada demo dan Obet berusaha meminta bantuan kepala desa untuk bersikap tegas, ia justru tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau warga sudah begitu, saya tidak punya kuasa, Bu.” ujar kepala desa tanpa rasa malu sedikitpun. Apakah “warga” yang dimaksud kepala desa hanya kelompok mayoritas saja? Sedangkan kelompok minoritas yang tinggal di desa yang sama bukan termasuk “warga”?

Hal serupa juga ditunjukkan oleh pemerintah lokal lainnya. Saat Obet akhirnya dipertemukan dengan AGAP dan BAP, dengan santun ia bernegosiasi dengan camat untuk dapat menggunakan aula sebagai tempat beribadah jika tak kunjung diberikan IMB. Aula itu sarana publik. Masyarakat bisa menggunakan aula untuk berbagai kegiatan seperti nikahan, dan sebagainya. Namun, lagi dan lagi, penolakan itu tak kunjung berhenti.

Pak camat justru merespon dengan dalih bahwa tujuan dari pernikahan dan ibadah adalah berbeda. Alih-alih berupaya merangkul semua golongan, Pak RT, Pak RW, kepala desa dan camat justru semakin memperlihatkan sikapnya yang tidak berpihak pada kelompok yang berbeda. Parahnya, aparat desa menyuruh jemaat gereja untuk menjaga kondusifitas publik, padahal mereka hanya sedang memperjuangkan hak kebebasan dalam beribadah. Di balik itu, kemungkinan ada power lebih besar yang mengontrol dan memberikan tekanan terhadap aparat desa untuk tidak memihak pada jemaat gereja.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments