Thursday, November 14, 2024
spot_img
HomeBukuSuara yang Tak Lagi Sunyi: Perjuangan Perempuan Sumba Mendobrak Tradisi Kawin Tangkap

Suara yang Tak Lagi Sunyi: Perjuangan Perempuan Sumba Mendobrak Tradisi Kawin Tangkap

Identitas Buku 

Judul               : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam 

Penulis            : Dian Purnomo 

Tebal               : 320 halaman

Terbit              : 2020

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

ISBN               : 9786020648453

 

Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam merupakan karya yang ditulis oleh Dian Purnomo. Dian Purnomo adalah penulis yang memiliki perhatian pada isu-isu sosial, khususnya isu perempuan dan perlindungan anak. Ia memiliki latar belakang sebagai alumni mahasiswa kriminologi dan punya pengalaman tergabung dalam NGO yang bergerak di bidang sosial, perempuan, dan anak. Ia bergerak untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat rentan dan termarjinalkan. 

Dian Purnomo melalui novelnya menampilkan wajah kawin tangkap yang dipercayai sebagai adat di wilayah Sumba. Suku Sumba terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki beragam adat dan tradisi yang masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah kawin tangkap atau Piti Rembang

Menurut Frans Wora Hebi (Dikutip dalam jurnal yang berjudul “Tradisi Kawin Tangkap Sumba dan Perspektif Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” karya Dian Kemala Dewi), menjelaskan bahwa kawin tangkap yang saat ini berlaku di Sumba bukan budaya mumi Sumba yang diwariskan secara turun-temurun. Budaya kawin tangkap dahulu harus melalui prosedur yakni, jika laki-laki mau mengambil istri, harus mendatangi orang tua perempuan lalu menanyakan kesediaan. 

Artinya, praktik kawin tangkap zaman dulu harus melalui kesepakatan antar kedua pihak terlebih dahulu. Berbeda dengan praktik kawin tangkap saat ini yang dilakukan secara paksa; sudah melenceng dan tidak sesuai dengan tradisi. Praktik kawin tangkap saat ini melahirkan kekerasan secara fisik, psikologi, dan sosial terhadap perempuan.

Fenomena tersebutlah yang tergambar dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Tokoh Magi dalam novel diculik oleh Lebah Ali tidak atas kesepakatan dengan Magi maupun keluarganya. Magi ditangkap oleh sekelompok laki-laki suruhan Lebah Ali dan dibawa secara paksa ke rumah Lebah Ali. Penculikan tersebut dilakukan dengan tujuan agar Lebah Ali bisa menikahi Magi. Hal tersebut yang membuat Magi melakukan berbagai perjuangan sebagai bentuk perlawanan. 

Perjuangan Magi Melawan Budaya Kawin Tangkap

  Perjuangan pertama yang dilakukan Magi yakni dengan melakukan percobaan bunuh diri setelah insiden penculikan. Ia mencoba bunuh diri karena tidak mau menikah dengan Leba Ali yang sudah menculik dan memperkosanya. Percobaan bunuh dirinya juga dimaksudkan agar Lebah Ali dapat dihukum dan tidak ada lagi korban seperti Magi. Akan tetapi, Lebah Ali tidak dapat diproses secara hukum lantaran apa yang dilakukan Lebah Ali dianggap benar dan wajar oleh masyarakat

Perjuangan kedua Magi yakni, kabur dari rumah. Ia memilih kabur dari rumah karena sepulang dari rumah sakit setelah percobaan bunuh diri, keluarganya tetap menyuruh Magi untuk menikah dengan Lebah Ali. Berkat bantuan dari tokoh Dangu serta sekelompok gerakan perempuan (LSM), Magi dapat survive di jalan pelariannya. Berkat bantuan dari LSM, Magi mendapatkan rumah aman, pemulihan, dan pekerjaan sebagai proses healing

Pada akhirnya,  Magi terpaksa harus kembali ke rumah dan menikah dengan Lebah Ali karena ayahnya sakit. Ayahnya meminta Magi untuk segera menikah sebelum meninggal. Demi ayahnya, Magi akhirnya menurut untuk dinikahkan dengan Lebah Ali. Kemauannya tersebut diiringi dengan rencana yang sudah disusun Magi. 

Di hari ketujuh pernikahan, Magi memancing kemarahan Lebah Ali. Lebah Ali kemudian meng-aniaya Magi. Setelah itu, Magi kabur ke kantor polisi dan melaporkan Lebah Ali. Dengan cara itu, Magi berhasil menjerumuskan Lebah Ali ke penjara. Lebah Ali berhasil masuk penjara juga karena andil LSM yang memberikan pelatihan kepada aparat kepolisian wilayah setempat sejak kasus Magi diketahui. 

Perjuangan yang dilakukan oleh Magi seolah mengajak pembaca untuk sadar dan berani. Sadar bahwa ternyata di luar sana masih terdapat fenomena yang dianggap sebagai budaya, justru merampas hak dan kebahagiaan perempuan serta memperlakukan perempuan seperti binatang. 

Satu hal yang penting juga yakni dalam novel ini menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual membutuhkan rangkulan dan uluran tangan dari berbagai pihak untuk berjuang melakukan perlawanan. Seperti Magi yang mampu terus melawan karena dukungan dari LSM dan orang-orang terdekat yang sudah memiliki kesadaran. Di samping itu, novel ini juga menunjukkan bahwa memberikan kesadaran kepada aparat penegak hukum juga penting dilakukan agar kasus kekerasan seksual dapat tertangani dengan baik. 

Berdasarkan wawancara penulis dengan Dian Purnomo, perlawanan yang digambarkan dalam novel merupakan dunia yang diciptakan oleh Dian sendiri. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya, perempuan yang menjadi korban kawin tangkap tidak dapat melawan dan terpaksa tunduk pada budaya yang ada. 

Menurut pengetahuan Dian, hanya sedikit perempuan yang berhasil melarikan diri, dan kondisi ini menginspirasi Dian untuk menciptakan dunianya sendiri dalam novel. Ia berharap agar karakter Magi bisa menjadi inspirasi bagi pembaca atau para penyintas kekerasan untuk berani melawan atau melapor. 

Melalui novel ini juga Dian ingin memperlihatkan bahwa budaya yang merupakan produk manusia bukanlah sesuatu yang wajib diikuti. Selama suatu budaya merugikan atau menyakiti, itu artinya budaya tersebut tidak dibenarkan dan harus dihilangkan praktiknya. 

 

 

   

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments