Thursday, November 14, 2024
spot_img
HomeBukuLeila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina

Leila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina

Barangkali kita selalu diingatkan pada kalimat bahwa persoalan agama tidak selalu menjadi faktor utama adanya konflik Palestina-Israel. Meskipun demikian, ketika agama ditunggangi oleh persoalan tersebut, urusannya akan panjang, lebih dari sekadar Islam, Tanah Yang Dijanjikan, orang Palestina, serta Yahudi. Dalam bukunya, Sarah Irving menceritakan bagaimana Leila Khaled berjuang untuk Palestina untuk meluruskan pemahaman tentang konflik Palestina-Israel yang tidak berkesudahan.

Melalui buku tersebut, dijelaskan dalam konflik kedua negara di atas bahwa organ sayap kiri mempunyai andil besar. Paham revousi macam Che Guevara dan aksi angkat senjata adalah tiang-tiang dari perjuangan Palestina itu sendiri. PFLP (Popular Front of Liberation Palestine) adalah satu di antara sekian organ sayap kiri yang turut mengangkat sejata dalam upaya kemerdekaan. Organ ini adalah tempat Leila bernaung. Maka, melihat perjuangan melalui kacamata politik kiri menjadi penting adanya demi memahamkan kita akan konflik Palestina tersebut.

Membaca buku ini, saya seperti merasakan keresahan, kemarahan, kesedihan, ketertindasan yang sama seperti para perempuan Palestina. Tidak banyak yang memikirkan bagaimana posisi perempuan Palestina yang hidup di negara perang, negara konflik. Mereka tidak kenal namanya perdamaian, aman, dan ruang yang bisa dimanfaatkan oleh perempuan. Leila Khaled tidak lain merupakan simbol perjuangan perempuan Palestina.

Leila, perempuan asal Palestina Leila lahir di Haifa, pada tahun 1944. Lahir dan hidup di ngera konflik, tidak banyak perempuan yang memilih seperti Leila Khaled. Ia merupakan ikon perempuan Palestina yang memberontak, melakukan penyerangan untuk memberikan informasi ke dunia bahwa Palestina sedang tidak baik-baik saja. Sebab di masa itu, media informasi tidak seperti sekarang, sehingga penyerangan yang dilakukan dalam pesawat merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan.

Laela Khaled, bersama a Salim Issawi, dari Unit Komando Che Guevara PFLP yang memaksa pesawat tujuan Athena mendarat di Damaskus. Ketika pesawat melintasi Haifa, Leila mengenangnya: “Aku hanya ingin memanggil nenekku, bibiku, semua orang yang ada di sana dan mengatakan pada mereka bahwa kami akan kembali pulang” [hlm. 50]. Leila dan Salim meminta semua penumpang dan kru turun, meledakkan moncong pesawat tanpa seorang pun terluka dengan pesan kemerdekaan untuk Palestina. Dengan kejadian itu, seluruh negara menyoroti perempuan yang berani melakukan aksi tersebut.

Aksi kedua, dilakukan oleh Laela Khaled bersama Patrick Arquello, seorang Nikaragua Amerika dari gerakan Sandinista (gerakan pembebasan Nikaragua). Sayangnya, ada penumpang yang mengetahui keberadaan keduanya, sehingga pembajakan pesawat tersebut gagal. Patrick tewas, sednagkan Leila terluka dan mendekam di tahanan London. Sarah memberinya judul “September Hitam” (hlm.69-86).

Jika dilihat dari sepak terjang keberanian yang dilakukannya, Leila sudah bergabung dengan gerakan-gerakan pembebasan dan ikut berdemonstrasi sejak umur 10 tahun. Karena dirinya seorang perempuan, keluarganya tidak sudi Laela untuk melakukan aksi- aksi tersebut. Menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan Setelah Laela menikah dengan seorang dokter, hidupnya berubah. Ia mengalami banyak kesadaran tentang perbedaan kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Bagi Laela, pengalaman yang tidak sama, perempuan tentu menanggung beban dan memiliki kebutuhan yang besar dibandingkan dengan laki-laki.

Dengan kesadaran itu, maka tugas pengasuhan dibebankan kepada para kamerad laki-laki dan perempuan yang ada di pengungsian. Disinilah laela menerapkan kesadaran peran antara kedua jenis kelamin yang jarang dipahami oleh masyarakat Arab yang memiliki budaya patriarkhi begitu kuat. Tugas yang diberikan kepada Laela oleh PFLP selanjutnya menugaskan Leila mewakili PFLP dalam Serikat Umum Perempuan Palestina, salah satu organisasi PLO yang berfungsi menaungi semua lembaga perempuan di Palestina. Awalnya, Leila menolak,  karena ia adalah prajurit dan tugasnya memegang senjata.

Namun dijawab: “Kau juga perempuan, kau harus memperjuangkan hak-hak perempuan” [hlm. 130].

Melalui organisasi tersebut, ia memperoleh banyak pengalaman, pengetahuan dan kesadaran bahwa ada banyak sekali perempuan yang selama ini mengalami kekerasan, penyiksaan dan dirampas haknya sebagai manusia yang seharusnya merdeka dan memperoleh kebebasan untuk hidup. Ia juga menyadari bahwa keluarganya selama ini, seperti ayah dan pamannya juga melakukan penindasan terhadap dirinya sebagai anak dan keponakan perempuan. Melalui kesadaran itu, feminisme dan isu-isu seksualitas menjadi salah satu yang gencar disuarakan oleh Laela untuk memperjuangkan kaum perempuan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments