Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeBukuResiliensi Tokoh Hilda sebagai Penyintas Kekerasan Seksual

Resiliensi Tokoh Hilda sebagai Penyintas Kekerasan Seksual

Novel Hilda adalah karya yang lahir dari Bu Nyai muda, Muyassarotul Hafidzoh. Ia adalah penulis yang memiliki consent dalam isu gender dan seksual. Salah satu latar belakang lahirnya novel ini adalah keprihatinan penulis terhadap realitas sosial yang masih dikuasai oleh sistem patriarki, serta keinginan untuk mengungkap salah satu dampak buruk dari budaya patriarki, yakni kasus kekerasan seksual (dalam tulisan artikel Ainul Lutfia). Masyarakat yang menganut nilai-nilai patriarki masih kerap menyalahkan korban kekerasan seksual. Korban dipandang negatif, dianggap sebagai aib, dan disudutkan oleh masyarakat. 

Fenomena tersebut yang digambarkan Muyassarotul Hafidzoh melalui novelnya. Novel Hilda bercerita tentang tokoh Hilda yang menjadi korban pemerkosaan ketika masih SMA. Kejadian tersebut membuat Hilda dipandang negatif dan dianggap sebagai aib. Kasus yang menimpa Hilda juga tidak diproses secara hukum karena aparat penegak hukum masih bias gender dan membuat Hilda dan ibunya semakin tersakiti sehingga tidak melanjutkan laporan.  

Penulis kemudian mengajak pembaca untuk memahami bahwa dalam kasus kekerasan seksual, korban tidak boleh disalahkan dan dianggap tidak bermoral. Perempuan adalah subjek penuh, bukan objek seksual. Bahkan, penulis juga memperkuat dengan tafsir-tafsir agama Islam yang melarang adanya kekerasan seksual. 

Kerugian yang dialami Hilda sebagai korban kekerasan seksual, yakni secara fisik, psikologis, dan sosial. Secara fisik, Hilda mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Secara psikologis, Hilda mengalami trauma yang berkepanjangan. Secara sosial, Hilda harus dikeluarkan dari sekolah karena dianggap aib, menjadi perbincangan tetangga karena dianggap perempuan tidak baik sehingga membuat Hilda beserta ibunya pindah ke Jepara.

Resiliensi tokoh Hilda

Proses menjadi individu yang resilien tidak lepas dari faktor yang melatarbelakanginya. Perjuangan Hilda dimulai sejak dirinya menjadi korban pemerkosaan. Menurut Masten dan Coatsworth dalam buku Resiliensi Psikologis (2018), Resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami.

Hal tersebut terlihat dalam sikap Hilda yang mampu menghadapi kesulitan saat menjadi korban pemerkosaan. Hilda juga berhasil bangkit dari trauma berkepanjangan yang timbul akibat pemerkosaan. 

Resiliensi adalah proses interaktif kompleks yang melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas (dikutip dalam buku Resiliensi Psikologis, 2018). Artinya, proses resiliensi melibatkan berbagai faktor yakni kemampuan pribadi seseorang, dukungan emosional dari keluarga, dan dukungan dari lingkungan masyarakat. 

Proses tersebut digambarkan dalam novel Hilda. Kekuatan karakter Hilda sangat dipengaruhi oleh ibunya. Ketika mengetahui bahwa putri tunggalnya menjadi korban pemerkosaan, Ibu Juju tidak langsung menyalahkan Hilda atau melontarkan pertanyaan yang menyudutkan. Sebaliknya, ia lebih banyak mendengarkan dan memahami Hilda. Ibu Juju berusaha menguatkan dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum menyalurkan kekuatan tersebut kepada anaknya.

Ibu Juju pada awalnya sangat bingung dengan situasi yang menimpanya. Ia bingung dalam bertindak dan tidak berani membawa Hilda ke dokter karena takut beritanya menyebar. Ia kemudian meminta bantuan kepada Bu Rindang, aktivis perempuan. Kehadiran Bu Rindang sangat membantu mengarahkan Bu Juju bagaimana selanjutnya harus bertindak dan membuat Hilda dapat mendapat perawatan medis dari dokter kenalannya. 

Pada awalnya, Hilda tidak mau melanjutkan pendidikan. Tetapi, ibunya selalu memotivasi Hilda hingga akhirnya Hilda memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Ia bahkan menjadi penulis yang menyuarakan isu-isu perempuan di media. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hilda memiliki kemampuan mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. 

Dukungan kepada Hilda dan ibunya juga hadir dari lingkungan pesantren. Ketika Hilda dan ibunya pindah ke Jepara, mereka kemudian memutuskan untuk mondok di sebuah pesantren. Di sana, mereka diterima dengan sangat baik. Bu Nyai memberikan dukungan emosional dan spiritual yang besar kepada Hilda dan ibunya. Dukungan tersebut memperkuat mereka selama masa sulit. 

Pesantren tersebut menjadi ruang aman bagi Hilda. Ia bisa mencari ilmu dengan baik dan tekun. Ketekunannya membuat Hilda menjadi perempuan yang sangat pintar dan cerdas. Ia sangat disayangi keluarga pesantren dan dianggap sebagai anak sendiri oleh Bu Nyainya. 

Resiliensi tokoh Hilda juga dipengaruhi oleh spiritualitas. Kedalaman ilmu agamanya  membuat ia tetap sabar, ikhtiar, sekaligus bertawakkal kepada Allah. Kendati demikian, Hilda masih hidup dengan traumanya. Tetapi, ia tetap memiliki kekuatan untuk bertumbuh secara positif setelah berjuang dari pengalaman buruk.

Setiap Penyintas Berhak Mendapatkan Cinta 

Hilda mengidap sindrom trauma perkosaan dan hypoactive sexual desire disorder. Keduanya membuat Hilda tidak berani bermimpi untuk menikah. Ia tidak berani disentuh laki-laki dan takut jika harus berhubungan seksual. Hilda pernah dijodohkan oleh Bu Nyainya dengan cucu temannya. Tetapi, nenek dari laki-laki tersebut tidak bisa menerima kekurangan atau trauma Hilda dan menggagalkan pernikahan  meski sudah sampai pada tahap pertunangan.

Kendati Hilda tersakiti atas peristiwa tersebut. Hilda tetap memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan memiliki tujuan serta dapat mengambil keputusan yang tepat ketika dalam situasi kegagalan. Setelah gagal menikah, ia tetap mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah S2 sambil bekerja dan hidup mandiri. 

Kegagalan Hilda menikah kemudian mengantarkannya untuk menemukan cinta yang lebih tulus. Hilda dicintai hebat oleh Wafa, keponakan Bu Nyainya, dan diterima baik oleh keluarga besarnya. Wafa adalah laki-laki yang sangat tulus mencintai Hilda. Ketulusannya berhasil memberikan rasa nyaman dan aman kepada Hilda. Cinta yang diberikan Wafa berhasil membantu Hilda pulih dari trauma yang dialaminya.

Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan  bahwa proses resiliensi bagi penyintas kekerasan seksual tidak bisa dilakukan sendirian; dukungan dari keluarga dan lingkungan masyarakat sangat diperlukan. Novel ini juga menawarkan pendekatan alternatif dalam memperlakukan korban kekerasan seksual, seperti yang dialami oleh Hilda, agar mereka mampu melanjutkan hidup dan bangkit dari traumanya.

Dengan menghadirkan akhir cerita yang bahagia, novel ini seakan ingin menyampaikan pesan bahwa setiap korban kekerasan seksual memiliki hak untuk melanjutkan impian, masih memiliki masa depan yang cerah, dan layak mendapatkan cinta.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments