Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniPentingnya Pendidikan Perempuan Untuk Mendukung Pembangunan di Afghanistan

Pentingnya Pendidikan Perempuan Untuk Mendukung Pembangunan di Afghanistan

Dalam sebuah video pendek yang diunggah seorang ibu di Afghanistan, tampak jelas sang putri pulang dari sekolah dengan perasaan sedih bukan kepalang. Sembari tersedu, ia menceritakan bahwa ia dilarang bersekolah karena ia adalah anak perempuan. Penutupan kelas bagi anak-anak perempuan di Afghanistan ini tentu mencederai apa yang dijanjikan oleh kelompok Taliban sebelumnya. Usai kegusaran publik mengemuka, mereka berdalih bahwa penutupan sekolah bagi siswa-siswa putri hanyalah sementara.

Tak lama kemudian, pihak Kementerian Pendidikan mengatakan bahwa sekolah untuk anak perempuan akan ditutup sampai rencana disusun sesuai dengan hukum Islam dan budaya Afghanistan. Menurut Bakhtar News Agency, sebuah kantor berita pemerintah setempat, otoritas di sana merilis pengumuman, “kami memberi tahukan semua sekolah menengah perempuan dan sekolah yang memiliki siswa perempuan di atas kelas enam bahwa mereka libur sampai ada pemberitahuan berikutnya.

Merespon situasi terkini terkait kondisi pelajar perempuan di Afghanistan, Deborah Lyons, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal untuk Afghanistan dan Kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) menekankan pada 8 Maret bahwa penolakan hak perempuan atas kebebasan bergerak, bekerja, berpartisipasi dalam kehidupan public dan pendidikan yang dilakukan oleh Taliban ke depannya akan menghambat pembangunan ekonomi yang lebih besar bagi negara.

Lebih lanjut, ia berargumen, “masih banyak yang harus dilakukan untuk mempromosikan kesetaraan kesempatan bagi perempuan dan anak perempuan di semua bidang kehidupan mereka, namun jika Taliban bersikeras untuk tidak memenuhi hak-hak perempuan, yang rugi justru negara mereka sendiri. Pendidikan Perempuan dan Pembangunan Apa yang dilakukan Taliban dengan melarang pendidikan anak perempuan justru secara tidak langsung akan memperburuk kondisi negara mereka.

Pada uraian selanjutnya akan dikemukakan mengapa pendidikan memiliki korelasi era dengan laju pembangunan suatu bangsa. Merujuk data dari PBB, pendidikan anak perempuan lebih dari sekadar memasukkan anak perempuan ke sekolah. Ini juga tentang memastikan bahwa anak perempuan belajar dan merasa aman saat di sekolah. Begitu juga memiliki kesempatan untuk menyelesaikan semua jenjang pendidikan, memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bersaing di pasar tenaga kerja.

Serta mendapatkan keterampilan sosio-emosional dan hidup yang diperlukan untuk menavigasi dan beradaptasi dengan dunia yang berubah. Terakhir, membuat keputusan tentang kehidupan mereka sendiri; dan berkontribusi pada komunitas mereka hingga kepada masyarakat dunia. Baik individu maupun negara mendapat manfaat dari pendidikan anak perempuan.

Wanita yang berpendidikan lebih baik cenderung lebih mengetahui tentang nutrisi dan perawatan kesehatan, memiliki lebih sedikit anak, menikah di usia yang lebih tua. Serta anak-anak mereka biasanya lebih sehat, jika mereka memilih untuk menjadi ibu. Mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja formal dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

Sebuah studi Bank Dunia baru-baru ini memperkirakan bahwa kesempatan pendidikan yang terbatas untuk anak perempuan, dan hambatan untuk menyelesaikan 12 tahun pendidikan, merugikan negara-negara sekitar US$15 triliun hingga $30 triliun. Bagaimana bisa? Sebab jika orangtua atau perempuan tidak memiliki ilmu yang cukup, dampaknya ia tidak memiliki akses luas untuk memberikan kehidupan lebih baik bagi buah hatinya. Belum lagi, jika di tengah jalan suami atau laki-laki yang menanggungnya

meninggal dunia. Bila tidak memiliki dasar ilmu, kemungkinan besar ia punya kesempatan terbatas untuk mengembangkan potensi diri dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi jika ia memiliki banyak anak dan kurang memahami pengasuhan yang baik. Ia akan rentan mengalami penyakit fisik dan mental yang bisa mengakibatkan pertumbuhan anak-anaknya kurang maksimal.

Dan, bila risiko penyakit keluarga tersebut ditanggung oleh negara, tentu dana yang harus dikeluarkan akan cukup besar, yang bisa jadi akan jauh lebih bermanfaat untuk membangun pendidikan dasar dan fasilitas kesehatan yang mumpuni. Menurut perkiraan UNESCO, di seluruh dunia, 129 juta anak perempuan putus sekolah, termasuk 32 juta usia sekolah dasar, dan 97 juta usia sekolah menengah.

Namun jika dilihat secara global, tingkat partisipasi sekolah dasar dan menengah sebenarnya semakin mendekati kesetaraan untuk anak perempuan dan laki-laki (90% laki-laki, 89% perempuan). Tetapi meskipun kondisinya terus membaik, di negara-negara berpenghasilan rendah, tingkat penyelesaian sekolah menengah untuk anak perempuan juga terus tertinggal, dengan hanya 36% anak perempuan yang menyelesaikan sekolah menengah pertama dibandingkan dengan 44% anak laki-laki.

Tingkat penyelesaian sekolah menengah atas memiliki perbedaan yang sama di negara-negara berpenghasilan rendah, tingkatnya adalah 26% untuk pria muda dan 21% untuk wanita muda. Di daerah konflik seperti Afghanistan, anak perempuan 2,5 kali lebih mungkin putus sekolah daripada anak laki-laki, dan di tingkat menengah, potensi drop outnya naik hingga 90% lebih daripada mereka yang tinggal di daerah yang kondusif.

Melihat fakta tersebut, apapun dalih Taliban untuk membatasi hak-hak perempuan untuk mengenyam pendidikan tentunya tak akan mengentaskan masalah utama yang negara mereka hadapi, justru ketika kondisinya semakin tidak setara terutama di bidang pendidikan, kerugian yang akan diderita negara justru berlipat ganda.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments