Wednesday, November 13, 2024
spot_img
HomeOpiniGerakan Feminisme Islam untuk Perdamaian

Gerakan Feminisme Islam untuk Perdamaian

Gerakan feminisme Islam mulai muncul di Timur Tengah pertama kali pada abad ke-19. Namun kehadirannya justru menimbulkan banyak sekali pertanyaan lanjutan, termasuk apakah feminisme kompatibel dengan nilai-nilai relijius yang dianut oleh para penduduk di sana? Bukankah feminisme adalah produk barat? Kenapa harus dipromosikan dengan menggandeng Islam?

Istilah feminisme Islam sendiri populer ketika aktivis Iran Ziba Mir-Hosseini membumikan istilah tersebut pada dekade 1990an, perjuangannya berpusar pada hak perempuan agar bisa bekerja di perguruan tinggi. Waktu itu feminisme yang ia bawa masih sangat teoritis dan akademis. Hingga pada tahun 2009, feminisme Islam menjadi sebuah gerakan ketika digelontarkan pada acara konferensi di Malaysia yang dihadiri oleh perwakilan dari lebih dari 50 negara. Konferensi sendiri diadakan oleh Gerakan Musawah (Persamaan), sebuah organisasi nirlaba yang mendeklarasikan diri sebagai “gerakan global demi persamaan dan keadilan di dalam keluarga muslim”.

Gerakan ini terutama aktif di berbagai negara-negara Arab dan Iran. Musawah juga ikut berpartisipasi di dalam program PBB untuk perempuan, UN Woman, dengan mengembangkan kerangka kerja bernafas keagamaan untuk menghentikan praktik diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama, seperti sunat perempuan. Secara umum, apa yang diperjuangkan oleh feminisme itu memiliki persamaan dan prinsip-prinsip dengan apa yang diperjuangkan oleh Islam, terutama yang berkaitan dengan keadilan bagi seluruh umat manusia.

Sebagai umat Muslim, tentu kita percaya bahwa Islam hadir bukan untuk satu kelompok bangsa saja, namun bagi semua umat manusia. Oleh karenanya, dari titik berangkat antara Islam dan Feminisme saja sudah sama. Merujuk pada pendapat dari cendekiawan Muslim Indonesia, yakni Syafiq Hasyim dan Nina Nurmila, di dalam Islam, feminisme dipandang sebagai upaya untuk melakukan penyetaraan dan perlakukan yang adil terhadap kaum perempuan sebagai makhluk Allah SWT.

Keduanya berpendapat bahwa feminisme tidak menjadi masalah bagi Islam. Pasalnya, prinsip yang diperjuangkan oleh feminisme memiliki titik temu dengan teologi Islam. Terutama teologi yang ingin menciptakan kehidupan yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan. Terlebih sejarah Islam mencatat bahwa wanita Muslim zaman dulu didorong untuk terus belajar dan berkontribusi di ranah publik, dan kehadiran wanita-wanita ini tidak berarti bahwa mereka kemudian mencoba untuk menjadikan kaum laki-laki sebagai lawan.

Justru sebaliknya, pada era Rasul, praktik keterbukaan dan kesalingan terus dikembangkan agar menciptakan manfaat seluas-luasnya kepada publik. Namun, dalam perjalanannya, umat Islam yang terlena akan kejayaan dan harta berlimpah ruah justru malah lalai. Alih-alih menciptakan inovasi, banyak penguasa yang kemudian mengkambinghitamkan perempuan sebagai kebobrokan moral, mengundang fitnah dan sebagainya. Dari sini lah budaya patriarki mulai mengental dan masih melekat hingga sekarang.

Oleh karenanya, perlawanan terhadap feminisme Islam justru ambigu. Sebab, masa lampau Islam dulu memperlihatkan bahwa perempuan menemukan pijakan dan dukungan mereka melalui ajaran Islam yang sesungguhnya sangat ramah terhadap perempuan. Lebih jauh lagi, perjuangan yang dihadapi perempuan tidak hanya berdampak pada perempuan, tetapi juga seluruh masyarakat. Apalagi situasi terkini menunjukkan bahwa banyak kelompok radikal yang justru menggunakan topeng agama untuk melindungi kepentingannya, bahkan rela membakar api konflik untuk meraih kekuasaan.

Tak hanya mengacuhkan nilai-nilai kemanusiaan, mereka juga menempatkan perempuan sebagai objek semata, yang selanjutnya berdampak pada penurunan kualitas generasi penerus yang dilahirkan oleh para ibu yang tidak dapat mengakses pendidikan secara layak. Sebagai contoh, otoritarianisme Islam puritan yang memunculkan gerakan radikal seperti Taliban telah menjadikan misi khusus mereka untuk mengontrol perempuan secara total, seperti apa yang terjadi pada Malala Yousafzai, yang ditembak karena mempromosikan pendidikan untuk semua anak, terutama anak perempuan.

Struktur dan prinsip inti yang sama yang digunakan untuk menindas perempuan digunakan untuk mempromosikan terorisme dan kebencian atas nama Islam, oleh karena itu melihat feminisme Islam dengan sebelah mata justru tidak membantu perubahan menuju kebaikan. Sebab, jika berkaca pada fenomena global, gerakan feminisme Islam justru tubuh subur karena banyak aktivisnya turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan dan perdamaian.

Baik di Timur Tengah maupun Asia Tenggara, konvensi-konvensi isu perempuan banyak yang membawa resolusi konflik melalui jalur perundingan. Hal ini memperlihatkan bahwa feminism Islam tidaklah eksklusif, tapi jangkauannya amat luas. Tidak terbatas pada isu perempuan saja, tapi melampaui sekat-sekat tipis kemanusiaan.

 

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments