Saturday, October 12, 2024
spot_img
HomeCeritaLilik Faidah, Penggerak yang Minoritas di Komunitas Salafi

Lilik Faidah, Penggerak yang Minoritas di Komunitas Salafi

“Anak-anaknya boleh dibilang terlantar, pengasuhannya tidak maksimal. Mereka kadang dibiarin dan belepotan karena anaknya banyak. Ada yang kena demam berdarah, gizi buruk, stunting, dan sebagainya. Sekarang sudah lebih baik”  .

Demikian Lilik Faidah Lailiyah mengisahkan  awal upayanya membawa perubahan di sekitarnya. Menurutnya, anak-anak balita di lingkungannya belum mendapatkan haknya secara maksimal, terutama pada kesehatan dan kesejahteraan.

Lilik merupakan penggerak di kampung Hamzah, Surakarta. Dia seorang dosen matematika dan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU)yang berasal dari Demak dan memiliki latar belakang keluarga NU. Lilik pindah ke Surakarta untuk menempuh pendidikan S1 dan S2 sejak tahun 1995. Dia memahami bahwa pluralisme agama Islam di Surakarta begitu beragam jika dibandingkan dengan kampung halamannya di Demak. Surakarta terkenal dengan berbagai mazhab Islam mulai dari Salafi, Wahabi, NU, Muhammadiyah, hingga Lembaga Dakwah Islam Indonesia

Sekalipun Lilik terbiasa dengan keberagaman, tidak mudah berbaur dengan tetangganya yang mayoritas Salafi dengan ideologi berbeda. Menjadi minoritas di kampungnya justru membuatnya terpanggil menjadi penggerak komunitas yang konsisten.

Sejak menetap di Surakarta bersama keluarga kecilnya, Lilik merasakan sekat dengan tetangganya yang mayoritas Salafi, yang tafsir agamanya tampak lebih konservatif dari yang ia kenal. Semua tetangganya memiliki banyak anak, rata-rata setiap keluarga memiliki 5-7 anak. Mereka tidak mengikuti program keluarga berencana (KB), tidak mendengarkan musik, tidak memiliki televisi, dan sebagian tidak memiliki handphone. Hal ini membuat mereka ketinggalan informasi, terutama bagi perempuan.

Setiap istri harus meminta izin suami mereka untuk melakukan semua hal baik di dalam dan di luar rumah. Ruang gerak mereka terbatas dan terpusat pada aktivitas domestik dan pengasuhan di dalam rumah. Hal ini merupakan tembok penghalang bagi mereka untuk bersosialisasi dan mengembangkan potensi mereka.

Posyandu,Pintu Peningkatan Kualitas Hidup

Sebelumnya, di kampung Hamzah ini terdapat sekitar 80-100 balita namun tidak ada posyandu. Pengasuhan yang tidak maksimal karena banyaknya anak dan kondisi ekonomi yang tidak ideal, membuat banyak anak tidak tumbuh dan berkembang dengan baik. Banyak anak-anak yang menderita demam berdarah, gizi buruk, stunting, dan penyakit lainnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya akses layanan kesehatan dan juga ideologi setempat yang tidak memperbolehkan imunisasi dan vaksin untuk anak-anak.

Lilik akhirnya berhasil mengajak ibu-ibu terlibat aktif sebagai pengurus posyandu sehingga pada 2013 terbentuklah Posyandu Mutiara Hamzah. Pada awalnya Lilik mengaku kesulitan mengkoordinasikan programnya, namun kemudian dia dan kader Posyandu menetapkan koordinator pada setiap gang di kampung Hamzah. Terdapat 9 gang, dengan 2 koordinator pada setiap gang untuk memudahkan program posyandu yang dilakukan sebulan sekali. Dengan aktifnya Lilik dan kader posyandu,semakin tinggi kesadaran orang tua tentang kesehatan dan semakin berkurang penyakit-penyakit pada anak-anak.

Program posyandu awalnya dilakukan dengan alat-alat sederhana di salah satu rumah warga yang luas. Lalu langkah berikutnya posyandu meminta subsidi dari RT yaitu Rp 1.000 hingga Rp 2.000 yang diambil perKK. Kemudian Mutiara Hamzah berkoordinasi dengan bidan desa serta menggandeng dokter untuk memberikan pemeriksaan setiap program posyandu dilakukan. Setelah itu, program tersebut masuk tataran tingkat desa sehingga ada subsidi seperti pemberian makanan tambahan, vitamin, dan juga imunisasi bagi yang bersedia

Lilik menyebut kegiatan sosialnya sebagai “panggilan jiwa” yang membawa manfaat bagi masyarakat luas. Posyandu tidak hanya hadir sebagai pintu peningkatan kualitas hidup, namun juga sebagai pintu pemberdayaan perempuan di komunitasnya. Kemudian juga dibentuk PKK untuk wadah bersosialisasi ibu-ibu yang aktif dalam program posyandu. Lilik juga menginisiasi bank sampah pada 2017 yang berjalan hingga sekarang. Bank sampah merupakan kegiatan mengumpulkan dan menabung sampah setiap keluarga yang kemudian disalurkan kepada pengepul yang menjemput.

Tidak berhenti disitu saja, Lilik dan penggerak lainnya mendorong ibu-ibu untuk mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di kampung Hamzah. Lilik berharap ibu-ibu memiliki penghasilan sendiri dengan memulai berjualan hasil masakan mereka seperti sayur, snack box, dan catering. Kegiatan ini dapat membantu mereka untuk mengembangkan potensi setiap perempuan secara individu.

(bersambung)

*

Kisah Lilik Faidah selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.

Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.

Wanda Roxanne Ratu Pricillia
Wanda Roxanne Ratu Pricillia
Berasal dari kabupaten Jember, Jawa Timur dan sekarang tinggal di Jakarta Selatan. Ia lulus S1 Psikologi di Universitas Airlangga dan S2 Kajian Gender di Universitas Indonesia. Wanda membentuk kelas pengembangan diri yaitu Puzzle Diri (@puzzlediri) dan platform gender yaitu Cerita Kubi (@ceritakubi). Saat ini ia Koordinator Program, Dokumentasi dan Media di Perhimpunan Rahima. Aktif di komunitas Puan Menulis (@puanmenulis). Wanda menulis di media mubadalah.id, KumparanPlus, dll. Wanda menerbitkan buku pertamanya pada 2021 berjudul Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah. Wanda bisa disapa melalui Instagramnya @wandaroxanne dan email wandaroxanne@gmail.com
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments