Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeCeritaLuluk Farida, Merebut Pemaknaan “Kembali pada Al-Qur.’an dan Hadis” (Part 1)

Luluk Farida, Merebut Pemaknaan “Kembali pada Al-Qur.’an dan Hadis” (Part 1)

Masyarakat yang tinggal di perumahan berpagar dengan akses terbatas yang membuat ruang publik menjadi privat sering disebut sebagai Gated Community atau komunitas berpagar. Perumahan ini umumnya dihuni oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang dan tidak saling mengenal sebelumnya. Interaksi di antara mereka kadang kala terjalin dari persinggungan yang tidak disengaja, sehingga masyarakat ini cenderung individualis. Di satu sisi, individualisme dapat memicu mereka tenggelam di dunia maya dan mengakses sumber-sumber pengetahuan, termasuk wawasan tentang agama, yang bias dan tidak ramah.

Adalah Luluk Farida, tokoh agama yang memilih uzlah sementara dari hiruk pikuk pesantren dan hijrah ke sebuah perumahan di Malang untuk mengatasi kerentanan masyarakat di kawasan perumahan berpagar. Melalui Majelis Taklim Rahmah sebagai ruang perjumpaan bagi warga perumahan, ia mendorong jamaah mengasah nalar kritis dan meningkatkan kesadaran memperbaiki akhlak sebagai modal bermasyarakat

Keluarga dan Basis Nilai Pesantren

Pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan keagamaan Islam yang berkonsentrasi pada pengembangan akhlak dan dasar hukum dengan sumber Al-Qur’an dan Hadis serta kajian-kajian kitab turats atau kitab kuning. Sehingga pendidikan pesantren kerap kali menunjukkan verbalisme kitab secara harfiah dan cenderung pasif merespon tafsir kebaruan. Namun, bukan berarti pesantren abai pada pengasahan nalar kritis. Forum Bahtsul Masail, sebuah forum pembahasan dan pemecahan masalah yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab terdahulu dan memerlukan kepastian hukum.

Isu yang dibahas mencakup hal maudlu’iyah (tematik), waqi’iyyah (aktual), maupun kauniyah (berkaitan dengan perundang-undangan). Forum ini juga menjadi sarana mengasah nalar kritis. Diperlukan kompetensi khusus dalam membaca ketepatan referensi, serta kejelian menggabungkan wacana dan informasi yang diberikan narasumber ahli mengenai topik yang dibahas.

Selain forum resmi Bahtsul Masail, terdapat pula pengajian kitab dengan metode bandongan dimana ustaz maupun kyai membacakan kitab, menerjemahkan, dan menerangkannya. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan.  Ada kemungkinan ruang bertanya pascamengaji jika ada materi yang ingin diperjelas oleh para santri.

Lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren dengan serangkaian aktivitas mendaras kitab suci, hadis, dan kitab turath, Luluk Farida Muchtar atau akrab disapa Nyai Luluk adalah anak perempuan keempat dari lima bersaudara. Sejak kecil, keluarganya menjunjung pendidikan bagi anak-anaknya, baik formal dan nonformal melalui diniyah dan keagamaan. Berbeda dengan keluarga pesantren lainnya yang kadang membatasi diri pada pendidikan di pondok pesantren saja, pendidikan akademik di sekolah formal menjadi bagian penting dari proses pengembangan diri bagi Luluk.

Uqudul Lujain dan Titik balik Memaknai Pernikahan

Saat usia SMP, ketika mengaji kitab Uqudul Lujain Fii Bayani Huquqi Al-Zaujaini, atau Uqudul Lujain, sebuah kitab yang menguraikan hubungan antara suami dan istri dan berbagai hak keduanya, Luluk merasa tergugah untuk berpikir lebih kritis pada pemaknaan narasi agama. Kala itu, sang guru menerangkan isi kitab sesuai dengan teks yang ada yaitu mengenai perempuan akan dikutuk Tuhan jika membuat suami marah. Ia berefleksi bagaimana mungkin tujuan pernikahan untuk sakinah, mawaddah,dan rahmah justru seperti membangun neraka bagi perempuan. Sempat terbersit ke-engganannya untuk menikah.

Namanya juga masih anak-anak. Nah pada saat ngaji guru saya yang ngajar kan sesuai dengan teks ini dosa, ini dosa, ini haram, perempuan dikutuk Tuhan gini, gini. Kan itu saya di usia yang baru belasan tahun sudah berpikir gini, aduh pernikahan kok bikin neraka, Aduh pernikahan kok bikin orang jadi dosa.”

Belum genap usia 17 tahun ketika ia duduk di bangku Aliyah, ia mendapatkan pinangan dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang. Karena ketokohan, jalur nasab dan tujuan pernikahan adalah maslahah, orang tuanya tidak dapat menolak pinangan yang datang. Luluk sebagai anak pun tidak punya kuasa, yang bisa ia lakukan adalah menjalaninya. Namun, orang tuanya memiliki perjanjian dengan sang mertua bahwa setelah menikah, Luluk tetap boleh terus sekolah mengenyam pendidikan.

Setelah empat tahun berselang, resepsi pernikahan itu digelar. Luluk akhirnya hijrah ke Jombang mengikuti sang suami, dan diamanahi mendirikan pondok pesantren Al Lathifiyah 3. Ia mengajar Tafsir Jalalain dan Bahasa Arab. Baginya, umat Islam harus memahami Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dimana untuk memahaminya perlu mempelajari bahasa Arab. Sehingga keduanya tidak dapat terpisah.

Luluk menjalani kehidupan pernikahannya dengan tetap menjadi istri, ibu bagi anaknya, guru bagi santri-santrinya, serta menjadi mahasiswa yang belajar. Pemikiran-pemikiran kritis dan progresif semakin diasah ketika ia melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Berangkat dari pengalamannya mengaji kitab Uqudul Lujain dan pengalamannya menikah di usia anak, ketika S1 ia melakukan penelitian tentang Al Mar’ah Indal Islam atau Perempuan dalam Islam.

Ia mengkaji tafsir-tafsir dari ayat yang digunakan oleh ulama laki-laki untuk menzalimi perempuan atas dasar penegakan syariat. Kemudian ia membandingkan realitanya dari sisi medis hingga sisi psikologis. Hasilnya, ternyata Islam tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya; Islam tidak zalim pada perempuan mengingat dasar penegakan syariat adalah maslahat dan keadilan.

Memasuki 17 tahun usia pernikahan, ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, ada kezaliman di kehidupan pernikahannya. Ia sudah melakukan toleransi atas apapun yang dilakukan oleh sang suami kecuali menikah lagi. Berbekal pemikiran kritis yang dikuatkan dengan teks yang ada, Luluk mengambil keputusan menggugat cerai sang suami.

Masa Kebangkitan dari Gugat Cerai

“Aku ini istrimu selagi kamu bukan suami orang”. Begitulah pendirian Luluk Farida bernegosiasi dengan suaminya mengenai masa depan pernikahan mereka. Tujuan membangun rumah tangga yang diimpikan Luluk adalah menuju sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketika tujuan itu terciderai di mana ada kezaliman dan satu pihak yang menyakiti, sebagai orang bertakwa yang selalu diajari untuk patuh pada suami, Luluk mengambil sikap. Mengingat seringkali didengungkan ketika mengaji bahwa membuat suami marah itu berdosa, bagi Luluk bercerai adalah pilihan ketika ia tidak diperkenankan marah padahal suaminya menyakitinya dengan menikah lagi.

Titik balik mengaji Uqudul Lujain yang membawanya lebih kritis memaknai firman Tuhan dengan melihat dan mengamati realitas kehidupan di pondok pesantren dan orang-orang terdahulu menguatkan pilihannya. Setelah gugatan cerai dilayangkan, Luluk memutuskan untuk hijrah dari Jombang ke Malang, dan berakhir ke Jakarta. Ia menjadi konsultan di Kerjasama Indonesia-Australia untuk pendidikan dan pengembangan sekolah dan madrasah di lingkungan terpencil.

Keputusannya memilih bercerai dan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang makna pernikahan, semakin diperkuat dengan perkenalannya dengan ulama perempuan dalam Pengkaderan Ulama Perempuan yang diinisiasi Rahima delapan tahun setelah lulus S1. Forum itu menyadarkannya bahwa pemikiran-pemikiran yang selama ini ia miliki, bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ada juga kelompok yang memperjuangkan hal yang sama.

Ia tidak sendirian mengalami pergolakan batin dalam mengkaji ayat-ayat yang sering ditafsirkan secara bias. Bahwa bagaimana masyarakat menafsirkan ayat Al-Qur’an dan memperlakukan perempuan itu adalah hasil tafsir yang membudaya dan didukung oleh tokoh agama yang bias. Perjumpaan itu semakin menguatkan perspektifnya tentang kebenaran universal yang selama ini tidak terkomunikasikan di masyarakat. Sehingga perjuangan untuk menghadirkan perspektif baru dalam memahami ayat perlu terus didengungkan.

Di ruang itulah ia lebih banyak dikuatkan dan dipertemukan dengan relasi-relasi baru bagi Luluk. Ternyata ia tak sendiri mengalami pergolakan batin dan mencoba melakukan pemaknaan kritis atas teks dan konteks. Perjumpaan dengan Buya Husein Muhammad, membuka diskusi tentang bagaimana konteks ketakwaan juga menjadi dasar ketika ia memilih untuk bercerai, disamping pertimbangan psikologis dan masa depan dirinya dan anaknya. Refleksinya mengenai pintu surga yang tidak terbatas pada satu pintu semakin menguatkan langkahnya.

“Apa artinya saya bertahan saya menderita tapi saya marah-marah. Saya sakit hati, saya saling menyakiti? Saya takut pada Allah karena taqwa maka lebih baik saya akhiri.”

Menjadi single parent bukan hal yang sulit atau mudah, ada suka duka menjadi orang tua tunggal. Ia harus pulang pergi Jakarta dan Malang, memberi ruang dan waktu untuk memberikan kasih sayang pada sang anak.  Refleksi atas pengalaman hidup ini mempengaruhi caranya dalam mendidik anak. Ia tidak akan memaksa anak-anaknya terkait dengan pernikahan.

Baginya sang anak harus membuat keputusan atas dasar pertimbangannya sendiri sebagai orang dewasa ketika memilih menikah. Harus mempersiapkan diri secara mental dan spiritual. Pada akhirnya, tujuh tahun setelah hijrah setelah gugat cerai, Luluk menemukan pasangan baru di Jakarta yang lebih mampu mengimbangi pemikiran kritisnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments