Meskipun tidak ada sebuah penelitian yang menjelaskan sejak kapan pikiran konservatisme di Bogor berkembang, tetapi saya yakin sekali bahwa hadirnya internet dan media sosial memfasilitasi perkembangan pikiran konservatif di akar rumput. Maraknya penggunaan WhatsApp sebagai alat komunikasi sehari-hari membuka luas misinformation dan disinformation dalam penyebaran berita dan informasi.
Ceramah-ceramah di Majlis Ta’lim cenderung mengarah kepada konservatisme dan eksklusivisme. Perempuan Adalah kelompok yang paling rajin hadir di Majlis Ta’lim selain anak-anak muda. Banyak para ustadz dan ustadzah yang mengisi ceramah di Majlis Ta’lim memiliki perspektif intoleran. “Sejak saya tidak lagi bekerja di Aliansi Jurnalis Independen, saya memiliki waktu banyak di rumah. Saya sering terkejut mendengarkan isi ceramah dari sebuah pengajian dekat rumah saya yang cenderung menjelek-jelekan pihak non Muslim,”.
Seiring dengan kuatnya pencarian spiritualitas di masyarakat, Majlis Ta’alim menjadi wadah belajar bagi sejumlah orang yang ingin meningkatkan pemahaman tentang keislaman, khususnya dalam memahami Al-Quran dan Hadist. Orang ke Masjlis Talim biasanya dihubungkan dengan keinginan memahami belajar agama lebih jauh. Sayangnya gagasan sertifikasi dai dan daiyah yang diusulkan oleh Kementerian Agama, masih menuai pro dan kontra, sepertinya masih belum secara maksimal dijalankan di tingkat lokal.
Tidak Hanya ceramah yang intoleran, termasuk ceramah-ceramah bias gender juga sangat marak di sini. Bias gender terjadi tidak saja pada ustadz yang intoleran, tetapi sejumlah ustadz yang disangkakan Kustiah cukup terbuka, tetapi jika bicara tentang perempuan dalam Islam, ternyata cenderung konservatif.
“ Saya pernah bahkan mengawasi seorang ustadz yang saya anggap terbuka dan memiliki pengetahuan yang bagus. Di forum perempuan ternyata dia ngomongnya “kamu ini milik suami eh milik ayahmu, kalau sudah menikah milik suami”. Wah… tadi di masjid sana bagus tapi di ruang perempuan jadi ngomong begini.”
Relasi Sosial yang Tipis
Potret Kecil relasi sosial bisa dilihat di dalam group-group WA keluarga, perumahan, pertemanan, dan sebagainya. Di ruang inilah secara genuin orang bisa dibaca sikap aslinya terhadap perbedaan. Kustiah menceritakan bagaimana lingkungan tetangganya yang cenderung kurang bisa menerima perbedaan. Misalnya saja pada saat perayaan natal, Kustiah sering memberikan ucapan “ Selamat Natal Bu Yuli!”, dan itu tidak ada yang menyahut lainnya. Kustiah berusaha untuk merukunkan para tetangganya dengan membuat kue-kue setiap peringatan hari besar.
Mendengarkan tuturan Kustiah, saya jadi ingat situasi di kompleks saya tinggal, dimana pada saat natal tidak ada ucapan selamat dari tetangga, kecuali dari keluarga saya. Maka saya dan suami biasanya menghampiri tetangga yang kristiani dan memberikan bingkisan sambil mengucapkan natal. Kustiah juga mendorong agar hubungan antara keluarga yang kaya dan biasa bisa dekat. Para tetangganya sering enggan memberikan sumbangan kepada warga yang dianggap kaya karena merasa tidak dibutuhkan. Tapi Kustiah terus mendorongkan dan menyakinkan warga lainnya bahwa yang dibutuhkan adalah perhatian. Bahkan ketika para tetangga tidak bergerak, Kustiah diam-diam mengirimkan bingkisan berisi kue atau makanan kepada tetangga yang kurang bergaul, dan mengatasnamakan ibu-ibu RTnya. Ini dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi antara keluarga di kompleksnya.
Melalui perempuan, Kustiah merasa yakin bahwa penolakan-penolakan dalam membangun relasi dengan yang berbeda, tetapi kalau dijembatani dengan praktik-praktik solidaritas atau peduli dengan membagikan makanan, perhatian, dan lain-lain, lama-lama juga akan menciptakan jalan kuat untuk kebersamaan. Perempuan selalu punya jalan.
Meskipun secara institusi NU tidak terlibat langsung dalam aksi pelarangan natal tahun lalu, tetapi sikap mendiamkan NU dianggap oleh Kustiah sebagai sikap pembiaran. Baginya pelarangan warga beribadah apapun sebabnya adalah sebuah tindakan yang melukai nilai kemanusiaan. Didorong oleh rasa kemanusiaan yang kuat, Kustiah mempertanyakan kasus pelarangan ibadah pada sejumlah kyai NU yang berada dalam satu WA group.
“Saya sampaikan di grup kyai itu. Ini preseden buruk di Cilebut. Jika kasus ini benar terjadi, dimana NU. Para pendiri adalah orang-orang tua kita dulu tidak pernah mengajarkan kekerasan, tidak pernah mengajarkan egoisme. Mereka mengajarkan cara-cara dialog dan damai. Gus Dur itu dulu temannya banyak, dan orang beribadah bisa dimana saja.”
Respon Kustiah dengan mengembalikan kepada nilai-nilai dasar keNUan, dan tauladan para pendahulunya sempat menjadi perbincangan oleh anggota grup. Pasalnya Kustiah tidak menyadari bahwa grup itu terdiri dari banyak petinggi NU di wilayahnya, yang memiliki profil sangat dihormati oleh masyarakat. Meskipun menuai kritik, akhirnya sejumlah petinggi NU membuka pembicaraan dengan Kustiah dan bahkan meminta sejumlah masukan, untuk kebaikan bersama.
Sebagai kader NU, Kustiah merasa terpanggil untuk melakukan sejumlah pelurusan di internal NU sendiri. Mengembalikan Marwah NU sebagai rumah bersama semua orang. Kasus intoleransi seperti ini tidak boleh terjadi di sebuah wilayah yang NU memiliki kekuatan basis.
Bersiasat di dalam Kultur NU, Narasi Empati Perempuan
Kustiah sangat paham bahwa untuk memenangkan hati dan pikiran para kyai NU, maka dia harus menggunakan pendekatan NU. Sowan atau mengunjungi rumah yang lebih tua. Salah satu tradisi NU yang berkembang dan telah terbukti memberikan banyak hasil. “Saya pernah tinggal di pesantren jadi mengerti kalau org yang didatangi itu akan lebih senang hatinya. Jadi kalau bahasanya itu kita sowan ke kyai, tapi saya memiliki target tertentu”.
Politik Sowan Perempuan
Dibesarkan di Pesantren dan memiliki perspektif kepekaan terhadap gender, Kustiah mengambil langkah-langkah yang lebih bersifat informal. Pengalamannya bekerja di masyarakat, pendekatan informal dianggap jauh lebih luwes dan membuka sejumlah potensi penyelesaian masalah. Kustiah sangat mempertimbangkan kapan dia datang ke sejumlah tokoh NU dan kapan dia mengundang mereka secara formal untuk membicarakan penyelesaian kasus.
Setelah memiliki kecukupan data dan memetakan aktor-aktor yang dianggap terlibat dalam pelarangan ibadah natal, kemudian dia memutuskan untuk mendatangi satu per satu tokoh agar bisa mendapatkan gambaran lebih lengkap. Kustiah menggunakan nalurinya sebagai aktivis perempuan dan santri untuk menghadapi para kyai. Semua pendekatannya mengalir natural saja. Misalnya Jika Kyai tersebut memiliki warung kelontong maka dia juga membeli sejumlah hal yang ada di warung tersebut dan kemudian meneruskan ngobrol kembali. Termasuk tidak segan Kustiah juga menawarkan potensi pengembangan usaha istri Kyai, dan menghubungkan dengan program pemberdayaan UMKM, dimana dia mengelola proyek tersebut. Dari pendekatan “sowan” inilah Dia bisa menggali banyak informasi aktor kunci dengan sejumlah hal, termasuk afiliasi pemikiran dengan Rizieq Shihab, yang sedikit menjawab pertanyaan Kustiah tentang sikap intoleransi yang dimilikinya.
Selama kunjungan ke rumah Kyai, Kustiah tidak hanya fokus kepada misi kasus intoleransi, tetapi juga bisa mengangkat isu-isu lain yang dirasa bisa membawa koneksi baru dengan kyai. Misalnya istri kyai memiliki talenta memasak yang bagus, maka Kustiah tidak segan-segan memberikan pujian dan bahkan mengusulkan membuka UMKM yang bisa dihubungkan dengan projek yang dia sedang jalankan. “Jadi saya ceritakan peluang-peluang begini, yang nanti bisa diambil Pak Kyai . Jadi kita bisa berkolaborasi bersama istri Kyai. Saya ingin membangun bounding yang kuat,”.
Pendekatan sowan ke rumah para Kyai ini juga memberikan banyak waktu buat Kustiah untuk menggali latar belakang munculnya sikap intoleransi atau mengamini kekerasan yang dilakukan warga. Kustiah mendeteksi kekhawatiran dari Kyai terkait dengan semakin menguatnya misionaris, dan cerita pengkristenan yang terjadi di berbagai tempat. Kyai merasa sangat khawatir Jika ini didiamkan karena bertentangan dengan kata hati. Meskipun ada banyak perspektif yang kurang sesuai, Kustiah tetap mendengarkan dengan resilien setiap keluhan yang disampaikan oleh Kyai. Ketika memiliki kesempatan untuk bicara, Kustiah merespon dengan narasi-narasi yang kuat yang berhubungan dengan nilai-nilai genuin NU yang mengedepankan sikap toleransi. Tidak jarang dia juga mengutip cerita-cerita nabi dan tauladan Gus Dur dalam menghadapi perbedaan.
Kepemimpinan NU Mengayomi
Kustiah terus memainkan narasi positif dengan menggali nilai-nilai dan praktik genuin yang dijalankan oleh para pendahulu NU dan tokoh-tokoh besar NU. Bahkan dalam upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri pada Kyai untuk mengambil sikap tegas terhadap tindakan intoleransi yang terjadi di masyarakat, Kustiah tidak segan-segan mengambil contoh-contoh tauladan yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar.
Narasi tauladan ini dihadirkan dalam cerita-cerita tentang Gus Dur yang sering pasang badan untuk kelompok yang terdiskriminasi, sehingga banyak orang merasa nyaman dan merasa terlindungi. Gus Dur juga dikenal sangat banyak temannya dari berbagai macam agama berbeda-beda. Kustiah juga tidak segan-segan membawa cerita tentang Kyainya sewaktu dia mondok, dimana Kyainya dia yakini adalah tokoh yang mengayomi dan tauladan karena bisa menyelesaikan sejumlah persoalan publik. Kustiah tidak bermaksud mengkomparasi, tetapi memberikan referensi kepada Kyai yang sedang dia hadapi agar tidak takut dalam mengambil sikap tegas terhadap intoleransi.
Kustiah terus melancarkan kembali kepada nilai-nilai ke-NUan, termasuk dalam mempopulerkan kepemimpinan NU yang dikenal mengayomi. Narasi NU sebagai rumah bersama terus dikumandangkan di setiap kesempatan. Terutama untuk memperkuat keyakinan para tokoh NU agar kembali menjalankan sebuah kepemimpinan yang mengayomi, artinya siapa saja yang Hadir atau bersama dengan NU akan merasa nyaman dan terlindungi.
Dengan sejumlah pendekatan informal dan lebih bersifat kekeluargaan, kepercayaan terhadap Kustiah meningkat dengan sejumlah tokoh NU. Pertemuan-pertemuan kecil untuk diskusi sering dilakukan untuk membahas hal-hal penting. Panggilan Bu Ustazah kepada Kustiah merupakan pertanda pengakuan atas pengetahuan yang dimiliki Kustiah. Ini mengubah pola perbincangan yang lebih setara dan melihat Kustian bukan hanya pemimpin perempuan, tetapi orang berilmu yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh para kyai di NU.