Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniRAN P3AKS, Memecah Kebisuan Perempuan Korban Konflik Nanggroe Aceh Darussalam

RAN P3AKS, Memecah Kebisuan Perempuan Korban Konflik Nanggroe Aceh Darussalam

Konflik sosial selalu menyisakan rasa sakit, kehilangan dan trauma yang berkepanjangan. Dalam laporan UNFPA, selama 1989-1998 (periode DOM) tercatat 1.958 orang diculik, 1.321 dibunuh, 3.430 orang dianiaya, dan 160 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Kemudian berlanjut pada tahun 2007, Komnas Perempuan untuk Aceh melaporkan catatan 103 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus tersebut tersebar di 13 wilayah, yaitu Pidie 26 kasus, Banda Aceh 12 kasus, Aceh Utara 11 kasus, Aceh Barat Daya 10 kasus, Aceh Besar dan Aceh Timur sebanyak 9 kasus. Kemudian di Aceh Tengah sebanyak 8 kasus, di Bireun 7 kasus, 5 kasus di Lhokseumawe. Di Bener Meriah sebanyak 2 kasus dan satu kasus di Aceh Jaya, Aceh Tamiang, dan Langsa. 

Perempuan korban kekerasan di wilayah konflik tak kunjung mendapat keadilan. di Pidie, terdapat Pos Sattis Koppasus yang dijuluki Rumah Geudong. Rumah ini merupakan tempat penyiksaan dan pemerkosaan, baik untuk laki-laki dan perempuan yang dituduh sebagai anggota GAM. Namun karena kemarahan masyarakat, rumah tersebut dibakar. Akibatnya, laporan penanganan terhadap pelaku kekerasan sulit dilakukan. Salah satu korban yang disekap di rumah Geudong adalah RM. Saat berumur 17 tahun, ia mengalami penyiksaan, pelecehan dan pemerkosaan. Trauma dan penderitaan fisik yang dialami RM tidak terlupakan selama bertahun-tahun. Meski seringkali diwawancarai oleh Komnas HAM, tidak pernah ada bantuan atau respon dari pemerintah terhadap kasusnya.

Perjuangan Perempuan Aceh Melawan Kekerasan

Salah satu sebab tidak adanya ketegasan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah terjadinya marjinalisasi perempuan. Marjinalisasi menyebabkan perempuan  hanya dipandang sebagai korban, padahal perempuan banyak menyumbang gerakan perdamaian. Pada tahun 2000, 450 perempuan melaksanakan musyawarah yang disebut Duek Pakat Inong Aceh (DPIA). DPIA 1 menghasilkan 22 rekomendasi draft yang bertujuan untuk memastikan penyelesaian konflik Aceh melalui perundingan dengan cara damai. Peran perempuan untuk menghentikan kekerasan juga terlihat pada pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), KKR dibentuk pemerintah untuk memulihkan luka dan mengembalikan hak korban. Selaras dengan KKR, pada tanggal 15 Februari 2006 dibentuk Badan Re-integrasi Aceh (BRA) yang bertugas untuk menyalurkan dana reintegrasi pada mantan kombatan GAM dan masyarakat yang terdampak konflik. Namun pada pelaksanaannya, BRA hanya menyalurkan dana reintegrasi pada kombatan laki-laki, sehingga peran perempuan terlupakan. 

Tidak berhenti sampai di situ, perempuan korban kekerasan seksual tidak bisa melaporkan pelaku ke jalur hukum karena selain hilangnya bukti kejahatan, mereka disuruh untuk menyelesaikan kasus kekerasan dengan jalur perdamaian. Suara perempuan dibungkam, bahkan mereka mengalami ketakutan jika membawa kasus tersebut ke jalur hukum, konflik akan kembali pecah. Merespon masalah di atas, pada tahun 2008 dibentuk Komisi Pengungkapan Kebenaran Aceh yang terdiri dari LSM HAM di Aceh untuk membantu tugas-tugas jaringan mendukung KKR. Namun draft tersebut akhirnya mandeg pada pihak eksekutif karena isu HAM dianggap tidak populer. Tidak adanya respon dari eksekutif membuat KPK Aceh memasukkan draft qanun melalui legislative. Meski awalnya terlihat ada kemajuan, namun setelah pergantian anggota dewan draft tidak dibahas lagi.  

Bagaimana Kebijakan Pemerintah untuk Korban Konflik Sosial NAD?

Perjuangan panjang perempuan untuk menuntut keadilan melalui KKR menemui jalan buntu. Untuk melindungi perempuan korban kekerasan sosial  di wilayah konflik, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden No 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS). Dalam upaya mendukung P3AKS, pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN). RAN P3AKS meliputi bidang pencegahan, penanganan dan partisipasi. RAN P3AKS juga menjadi acuan untuk pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAD P3AKS). Hingga saat ini, RAN P3AKS telah berjalan selama 2 periode, yaitu 2014-2019 dan 2020-2025. Periode awal penerapan RAN P3AKS belum berjalan secara efektif, hal ini disebabkan karena belum optimalnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat. 

Kendala seperti yang telah disebutkan di atas menjadi tantangan untuk penyusunan RAN P3AKS pada periode 2020-2025. Pemerintah harus mempertimbangkan dan mengakomodasi budaya serta perkembangan isu di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga pemerintahan dan masyarakat perlu menyamakan visi dan misi untuk menciptakan keadilan bagi korban kekerasan sosial. Suara perempuan perlu dilantangkan, perspektif perempuan sebagai korban perlu diubah menjadi agen perdamaian. Kita berharap bahwa korban konflik sosial utamanya perempuan dan anak segera tertolong dan mendapat keadilan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments