Apakah ada yang sudah menonton film “Still Alice”? Seorang wanita yang mengidap suatu penyakit dan harus berjuang menghadapi rasa sakit tersebut. Namun sesungguhnya tugas yang ia emban jauh lebih sulit dari itu. Isu terkait penyakit yang dibawa merupakan sesuatu yang sangat sensitif dan dari sana ia punya banyak kewajiban.
Dr. Alice Howland yang diperan oleh Julianne Moor adalah seorang profesor bidang linguistik yang cerdas. Dapat dikatakan merupakan wanita yang kini seharusnya hanya tinggal menjalani masa tuanya dengan bahagia, mengisi hari-hari dengan suaminya John Howland yang diperankan oleh Alec Baldwin dan dengan tiga orang anaknya yang telah dewasa, Anna yang diperankan oleh Kate Bosworth) yang merupakan seorang pengacara, Tom yang diperankan oleh Hunter Parrish yang masih menyandang status mahasiswa kedokteran, dan Lydia yang diperankan oleh Kristen Stewart yang terus menjaga mimpinya untuk menjadi seorang artis.
Namun suatu ketika disaat sedang memberikan presentasi di Columbia University mendadak Alice mengalami masalah ketika sedang berbicara. Kondisi penuh rasa bingung atau lebih tepatnya dia mengalami lupa akan apa yang dia ingin katakan tersebut. Kemudian membuat Alice untuk pergi ke seorang ahli saraf dan mencari tahu penyebab hal aneh yang terjadi padanya dengan serangkaian tes yang ia jalanin.
Alice di diagnosis sedang berada di tahap awal dari sebuah penyakit bernama Alzheimer dimana biasanya tidak dialami oleh orang berusia dibawah 65 tahun. Alzheimer adalah penyakit yang menyerang sel-sel di bagian otak paling umum yang awalnya ditandai oleh melemahnya daya ingat lupa akan percakapan, tempat atau objek tertentu dan bisa berkembang oleh perubahan perilaku.
Awalnya Alice dan John memutuskan untuk merahasiakan hal tersebut dari anak-anak mereka,tetapi tak lama mereka memberitahu kepada anak-anak agar melakukan tes masalahnya adalah salah satu penyebab dari penyakit Alzheimer adalah faktor keturunan sehingga anak-anak mereka juga memiliki potensi untuk memperoleh penyakit tersebut jika tua nanti. Hasilnya satu dari tiga anaknya positif akan terkena alzheimer.
Komposisi yang ringan dan terasa menarik, ketika alur cerita melangkah maju penonton memperoleh penggambaran yang secara konsisten mampu menarik mereka untuk mengamati apa yang sedang terjadi secara lebih mendalam. Film ini mampu membuat penonton tidak hanya memikirkan hubungan Alzheimer dan Alice, namun juga hubungan Alzheimer dengan penderita lain di luar sana. Kita dibawa masuk kedalam pikiran Alice, dari rasa frustasi dan putus asa, kemudian kita juga dibawa seolah ditempatkan menjadi salah satu anggota keluarga Alice, merasakan perih dari menyaksikan orang yang kita kasihi menderita.
Dan puncaknya adalah sebuah kepedihan yang sangat besar di bagian akhir, sebuah konflik yang memikat dari eksplorasi berisikan perjuangan hingga pertengkaran serta berbagai rasa yang saling tumpang tindih. Menariknya itu berkat ketegangan yang sebelumnya terus menerus dijaga. Tokoh Alice sebagai karakter yang mudah untuk di indentifikasi secara emosi namun yang ia juga membawa derita mental yang dialami Alice terus meningkat secara bertahap tanpa disertai lompatan yang mencolok, perlahan namun semakin menyakitkan. Tapi dampaknya pemeran lain menjadi kurang begitu mencolok meskipun tampil efektif.
Kondisi tersebut yang ditampilkan dengan baik oleh film ini, menyaksikan perjuangan dari seorang wanita yang mengalami destruksi mental dengan pendekatan melankolis namun menariknya tanpa disertai sandiwara yang sangat murahan, memilih untuk tidak mencuri atensi penonton dengan cara yang berlebihan namun tetap menghasilkan impact yang besar baik pada emosi dan hal-hal medis berkat kemampuannya menjadikan kerusakan, perjuangan, hingga harapan yang dialami oleh karakter mudah untuk di akses, di identifikasi, dan di rasakan.
