HomeOpiniKomunitas Perempuan Pembangun Damai Pasca Tragedi Terorisme di Desa Lembantongoa

Komunitas Perempuan Pembangun Damai Pasca Tragedi Terorisme di Desa Lembantongoa

Tragedi terorisme yang terjadi di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada November 2020 lalu menyisakan luka yang mendalam bagi para korbannya hingga saat ini, tak terkecuali perempuan. Sekelompok teroris yang dipimpin oleh Santoso – Ali Kalora telah menyerang satu rumah hingga meninggal dunia. Mereka juga membakar tujuh rumah warga dan Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan. Peritiwa ini menimbulkan banyak keresahan dan kecemasan pada masyarakat.

Bagaimana tidak, wilayah Sulteng selama kurang lebih delapan tahun lamanya dihantui aksi-aksi teror yang menyerang warga. Apalagi mereka menghancurkan simbol-simbol budaya lokal yang dijaga oleh para perempuan. Luka atas konflik masa lalu saja belum kering, warga Lembangtongoa harus berhadapan kembali dengan aksi teror dari sekelompok terorisme. Hal ini pun menjadi penyebab provinsi Sulteng dianggap sebagai tempat yang belum aman.

Akibatnya berbagai gesekan terjadi, seperti menimbulkan kebencian dan saling curiga yang begitu kuat antar kelompok agama, khususnya Islam dan Kristen. Tidak hanya itu, dampak terorisme ini tidak hanya meninggalkan ketakutan akan diserang kembali, tapi juga rasa khawatir dengan sumber kehidupan selanjutnya. Untuk mengetahui lebih lanjut apa saja yang dibutuhkan masyarakat, AMAN Indonesia berkunjung ke Lembantongoa dan berdiskusi dengan warga pada Februari 2021 lalu.

Hasilnya ialah masyarakat memerlukan ruang pemulihan untuk mengembalikan ruang kehidupan, mulai dari memulihkan rasa aman, psikososial, rumah, lahan garapan, membangun deteksi dini, dan sistem keamanan yang integratif. Mereka yakin, ketika mendapatkan jaminan rasa aman, maka ruang pemulihan lain akan berlangsung lebih cepat. Namun, apa yang dilakukan pemerintah setempat dan donatur fokus pada pemberian donasi yang sifatnya materil. Sedangkan warga disana paling utama memerlukan pemulihan pasca tragedi.

Kekosongan ini pun akhirnya diisi oleh para perempuan di Lembantongoa. Mereka berperan mulai dari detektor dini sehari setelah aksi teror terjadi. Mereka berjalan dari satu rumah ke rumah lain untuk saling menguatkan dengan memberi pesan-pesan penting agar waspada. Lalu mereka mengadakan doa bersama di luar rumah, saling mengingatkan untuk keselamatan anak-anaknya, juga memberikan isyarat untuk menyelamatkan barang-barang penting, paling tidak berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk.

Beberapa hari setelah kejadian, para perempuan mempertahankan semangat komunalisme dan kebergantungan positif. Mereka menghidupkan kekuatan kultural, yakni mapalus atau palusan, yaitu kegiatan gotong royong atau saling membantu dalam bidang pertanian. Untuk bertahan hidup dengan kondisi yang sulit dihadapi, mereka bersama-sama merawat tanaman dan secara bergiliran melakukan palus di kebun-kebun terdekat rumah mereka.

Hal ini dilakukan karena para suami ada yang meninggal pasca tragedi. Ada juga yang bekerja di pertambangan pasca tragedi. Sehingga yang tinggal di desa mayoritas adalah perempuan. Secara tidak langsung, mereka menjadi garda terdepan jikalau aksi teror datang kembali. Kekuatan spiritual para perempuan di Lembantongoa juga menjadi salah satu modal besar mereka bertahan hidup. Seperti peran Ibu Nurjana yang meneguhkan keyakinan pluralismenya dengan mensuplai aliran listrik ke rumah yang dijadikan tempat beribadah saudaranya umat Kristiani.

Rumah saudaranya itu pada saat kejadian ikut terbakar. Ibu Nurjana sendiri seorang muslim beretnis Bugis. Meskipun gesekan konflik antar kelompok agama kerap terjadi, tapi untuk kalangan perempuan di Lembantongoa pasca tragedi seolah tidak menjadi penghalang yang berarti. Kekuatan spiritual lainnya ditunjukkan oleh seorang ibu beragama Kristiani yang mendoakan teroris dengan tulus padahal yang telah menyerangnya. Potongan doa ini diucapkannya dengan khusyuk dan suara bergetar menahan tangis.

“Semoga Tuhan memberikan pengampunan bagi mereka yang tidak bertanggung jawab yang telah memberikan luka teramat dalam bagi semua perempuan di Lembantongoa ini.” Perjumpaan para peneliti AMAN Indonesia dengan komunitas perempuan di Lembantongoa memberikan kesan yang kuat. Apalagi ketika mereka menuturkan bagaimana situasi perempuan pasca tragedi hingga proses mereka bertahan melindungi komunitasnya secara mandiri.

Para perempuan yang tergabung dalam komunitas memberi kesan bahwa mereka adalah sosok perempuan yang penuh keyakinan dan memancarkan kepemimpinan dengan penuh kharisma. Residu konflik yang pernah terjadi sebelumnya berhasil mereka atasi dengan pendekatan cultural dan spiritual yang begitu kuat. Begitupun ketika mereka melakukan resistensi pasca tragedy terorisme di Lembantongoa.

Mela Rusnika
Mela Rusnika
Aktif menulis dan saat ini aktif di Puan Menulis
RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments