Memiliki privilege sebagai salah satu perempuan keturunan darah biru tentu menjadi idam-idaman banyak perempuan di penjuru dunia. Privilege ini tentu membuat setiap orang merasa jika putri raja pastilah memiliki kehidupan yang sempurna. Namun pada kenyataannya, banyak tanggungjawab dan pakem-pakem istana yang ternyata membuat ruang gerak perempuan kerap kali terasa terbatas.
Batasan akan ruang gerak perempuan tersebut di masa kini seakan didobrak dengan hadirnya perempuan visioner yang tak lain adalah putri dari seorang Raja itu sendiri. Beliau adalah GKR Bendara yang berjuang untuk menciptakan ruang selebar-lebarnya bagi perempuan untuk tetap berkarya, khususnya di lingkungan Keraton atau Istana.
Sosok Gusti Kanjeng Ratu Bendara (GKR Bendara) adalah putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwono X yang memangku Keraton Yogyakarta. Beliau adalah perempuan yang aktif dalam menyebarkan paham gender.
Di tengah budaya keraton yang dulunya lekat dengan penomor duaan perempuan, gerak GKR bendara ini seakan menyampaikan pesan bahwa dari masa ke masa, peran perempuan tidak bisa dinafikan. Adanya bukti keterlibatan dan sepak terjang perempuan dalam perkembangan di segala sektor, membuat GKR Bendara sangat bersemangat dalam mengedukasi masyarakat, khususnya berkaitan dengan kesetaraan perempuan.
Pentingnya pemahaman bahwa perempuan juga memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan Keraton saat ini, menjadi dobrakan akan terkuncinya paradigma lama. Perempuan yang dulunya hanya dianggap menjadi konco wingking, ternyata memiliki segudang prestasi dan impact yang luar biasa untuk kemajuan bangsa. Gambaran tersebut lantas beliau kemas dalam sebuah pameran bertajuk Parama Iswari.
Parama Iswari sebagai Media Dialog dan Edukasi
Parama Iswari adalah acara pameran yang pertama kali digelar untuk menceritakan bagaimana pentingnya peran perempuan, khususnya di lingkungan Keraton. Acara Parama Iswari digelar untuk menggambarkan kisah Parameswari (istri raja) yang memiliki peran luar biasa. Salah satunya ada yang berperan sebagai panglima prajurit perempuan.
Panglima yang dimaksud adalah Raden Ayu Kadipaten, parameswari dari Sri Sultan Hamengkubuwono I yang berperan sebagai panglima perang prajurit Langen Kusumo. Perannya yang sangat penting, membuat beliau terkenal sebagai nenek sekaligus guru Pangeran Diponegoro yang memimpin perang melawan penjajahan di Jawa.
Ada pula Raden Ayu Andayaningrat, diplomat ulung yang berhasil mengembalikan Sultan Hamengkubuwono II dari pengasingan di Saparua. Satu lagi yakni, GKR Kencana, permaisuri Sultan Hamengkubuwono VII yang berperan sebagai ekonom handal. Beliau memiliki peran penting sebagai pengatur keuangan Keraton dengan kemampuan matematis yang ulung. Semua peran yang menjadi lakon Parameswari ini tidak terbatas pada ruang privat semata.
Parameswari dan Representasi Kekuatan Perempuan
Parameswari sendiri diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti perempuan yang memiliki kedudukan yang tinggi. Sementara dalam Bahasa Jawa dijelaskan bahwa kata Parama Iswari merupakan istilah yang berarti permaisuri. Parama berarti langkung, berlebih, atau istimewa, sedangkan Iswari berarti luhuring pawestri atau perempuan yang luhur.
Nyi R. Ry. Noor Sundari, selaku Pimpinan Produksi Pameran Parama Iswari menjelaskan, jika Parama Iswari menceritakan bagaimana peran perempuan di Keraton Yogyakarta dari masa Hamengku Buwono I hingga saat ini. Pameran tersebut menampilkan pelbagai koleksi yang berhubungan dengan perempuan, baik busana, perhiasan, manuskrip juga arsip catatan keuangan.
Acara tersebut juga didukung dengan kegiatan workshop dan public lecture yang bertujuan sebagai ruang diskusi dan edukasi kepada masyarakat mengenai peran sentral dan kedudukan perempuan pada setiap tahap kehidupan. Acara tersebut menjadi gambaran bagaimana peran perempuan sebagai pendamping dan pendukung utama laki-laki dalam menjaga keseimbangan kehidupan, dan persepsi yang jujur tentang kekuatan perempuan.
Peran Perempuan sebagai Pendobrak Paradigma Lama
Hadirnya GKR Bendara sebagai pendobrak paradigma lama ini seakan menjadi angin segar bagi keberlangsungan peradaban perempuan. Stigma bahwa perempuan itu lemah seakan dimentahkan dengan bukti adanya dampak besar yang telah perempuan berikan.
GKR Bendara sendiri adalah perempuan yang meskipun besar dalam lingkungan Keraton, namun pemikirannya sangat progresif. Sekarang, beliau lebih mengabdikan ilmu dan waktunya guna melestarikan budaya Keraton.
Semasa muda, Beliau memiliki prestasi yang luar biasa di bidang akademik, diantaranya, pada jenjang SMA, beliau bersekolah di Singapura dan melanjutkan kuliah S1 di International Hospitality Management Institute, Swiss. Setelah itu, beliau juga melanjutkan studi S2 di Napier University, Skotlandia.
Beliau juga merupakan perempuan yang sederhana. Meskipun keturunan bangsawan, namun beliau biasa jajan di pinggir jalan dan naik becak layaknya masyarakat biasa. Pesan kesetaraan antara bangsawan dan bukan, serta peran perempuan yang tak kalah pentingnya dengan laki-laki, seakan beliau siratkan dengan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya, gerak perempuan seperti yang GKR Bendara lakukan ini menjadi sebuah langkah yang patut mendapatkan apresiasi.Â
Referensi:
https://jogjaberkabar.com/parama-iswari-mahasakti-keraton-yogyakarta
https://www.instagram.com/kratonjogja/reel/DAdfDAky1ju/
Â
Â