“Ajaran Kristen itu berpusat pada ajaran cinta kasih. Kasihilah manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri. Utamanya kepada mereka yang mengalami ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi. Ajaran tersebutlah yang saya pegang teguh sehingga saya bisa bertahan selama 20 tahun lebih berjuang di isu ini. Walau kadang ada rasa lelah juga, tetapi nilai-nilai yang saya imani dan yakini itu terus menguatkan saya untuk terus menyuarakan nilai-nilai cinta kasih dan perdamaian.”
Begitulah jawaban Christina ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan dalam menyuarakan nilai-nilai toleransi dan perdamaian selama 20 tahun lebih. Christina bahkan tetap konsisten melakukan pendampingan dan advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan marginal di saat teman aktivisnya mulai berguguran memilih aktivitas lain. Di satu sisi dia merasa sedih, namun di sisi lain dia sadar betul bahwa isu ini butuh kesukarelaan dan daya resiliensi kuat. Dia juga menyadari keadaan setiap orang bisa saja berbeda dan itu di luar kuasanya.
Dari Lingkungan Toleran Hingga Diskriminasi
Christina Josefien Hutubessy, lebih suka dipanggil Christin, dilahirkan di Pomala, Sulawesi Tenggara, 42 tahun yang lalu. Christin tumbuh dalam keluarga yang multietnis. Christin bercerita ayahnya dari suku Ambon, sementara ibunya dari suku Tolaki yang merupakan suku asli Sulawesi Tenggara.
Karena tinggal di Pomala, Christin lebih dekat dengan keluarga ibunya. Sedari kecil dia sangat dekat dengan tradisi termasuk bahasa Tolaki yang digunakan keluarga besarnya. Namun, karena ayahnya berlainan suku, Christin lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Tolaki. Lingkungan tempat tinggalnya pun termasuk lingkungan multikultural. Kebetulan kala itu ayahnya bekerja sebagai karyawan
di Aneka Tambang, sehingga mereka tinggal di satu kompleks karyawan yang berasal dari berbagai daerah. Hal inilah yang menyebabkan komplek tersebut sangat multietnis dan juga multi agama.
Bersama saudara perempuannya, Christin kecil tumbuh dalam lingkungan yang sangat inklusif. Christin bercerita bagaimana indahnya kerukunan yang dia rasakan selama 1980an awal hingga pertengahan 1990an. Saat hari raya keagamaan seperti Natal, Idul Fitri, dan Galungan, masyarakat di sana saling mengunjungi antar tetangga, mengucapkan selamat, dan mengantarkan makanan sebagai bentuk silaturahmi dan sukacita. Christin bahkan bercerita bahwa ketika sekolah dia sering menghabiskan waktu di mushola sekolah untuk menemani temannya beribadah di sana. Masyarakat sangat rukun sekali. Menurutnya rentang waktu tersebut adalah masa yang sangat indah dan merupakan pengalaman baik yang dia rasakan.
Memasuki SMA, ketika dia harus pindah ke Kendari, pengalaman tersebut berubah. Pasalnya, ketika itu pertama kali dalam hidupnya Christin merasakan perlakuan tidak menyenangkan,yang belakangan diketahuinya sebagai bentuk diskriminasi.
“Waktu saya tergabung dalam salah satu organisasi OSIS yaitu Persekutuan Siswa Kristen (PSK) ada peristiwa yang sangat tidak menyenangkan. Di antara belasan organisasi lain di OSIS, kami menjadi satu-satunya organisasi yang dilarang menggunakan ruang apel pagi untuk memberikan pengumuman. Diskriminasi tersebut terus berlanjut hingga pengurus OSIS dan PSK bersitegang dan akhirnya terlibat konflik,” tuturnya
Transisi sosial yang Christin alami dari situasi yang awalnya sangat toleran kemudian bergeser kepada situasi sebaliknya, membuat Christin bertanya-tanya mengapa ini bisa terjadi. Terlebih, dalam rentang waktu tersebut beberapa sahabatnya yang berbeda agama dengannya juga berubah perlakuannya terhadapnya.
“Saya dulu punya sahabat laki-laki yang beragama Islam. Sebelumnya relasi kami itu sangat normal sebagaimana pertemanan pada umumnya. Namun saya tidak tahu, ada satu masa di mana dia berubah dari segi pakaiannya, juga berubah perlakuannya terhadap saya. Dia tidak mau lagi menatap saya, saya diperlakukan bukan lagi sebagai temannya. Terus terang itu pengalaman yang sangat traumatik untuk saya,” lanjutnya..
Christin juga bercerita bahwa pengalaman diskriminasi tersebut sedikit banyak juga mempengaruhi pola hubungannya dengan orang yang berbeda agama dengannya. Ketakutan mengalami perlakuan serupa membuatnya hanya mau berteman dengan teman yang beragama sama dengannya.
Nilai-nilai Teologi Bersinggungan dengan Toleransi
Sekat eksklusivisme yang sempat Christin alami semasa SMA akibat diskriminasi sedikit demi sedikit mulai terurai semenjak ia studi di Sekolah Tinggi Theologia Indonesia Timur (STT INTIM) Makassar. Christin bercerita ibunya memiliki harapan agar ia menjadi pendeta. Karena baktinya kepada sang ibu, akhirnya Christin mendaftar di perguruan tinggi tersebut dan dinyatakan lulus.
Selama menjadi mahasiswa di STT INTIM, pandangan Christin tentang perbedaan dan keberagaman semakin terbuka dan pemahamannya semakin inklusif atau terbuka pada yang berlatarbelakang lain. Pasalnya, STT INTIM tidak hanya mengajarkan pemahaman tentang teologi Kristen saja, tetapi juga tentang agama-agama lain. Selain itu, STT INTIM juga membawanya pada ruang-ruang perjumpaan dengan komunitas di luar Kristen. Salah satunya adalah Forum Dialog (FORLOG) Antarkita yang menjadi ruang aman untuk Christin menceritakan pengalaman traumatiknya berupa diskriminasi semasa SMA.
“Dosen-dosen kami waktu itu selain aktif di kampus juga aktif di beberapa organisasi masyarakat sipil, salah satunya FORLOG Antarkita. Kebetulan saya diajak dosen saya bergabung. Dari situlah saya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan FORLOG, yang membuka ruang perjumpaan dengan berbagai kalangan dari lintas iman. Kami juga diberikan pemahaman bahwa kita harus mengurai sekat-sekat prasangka kepada saudara kita lintas iman guna terwujudnya toleransi dan kerukunan di masyarakat,” ujarnya.
Merasa mendapatkan wadah yang menjadi sumber semangat atau passion-nya, Christin memutuskan terlibat aktif menjadi anggotadi FORLOG Antarkita mulai tahun 2000 ketika dia masih mahasiswa, sampai sekarang. Pengalaman didiskriminasi membuatnya sadar bahwa para korban diskriminasi dari kelompok marginal dan minoritas harus didampingi dan diberikan ruang aman.
Masyarakat juga harus diberikan edukasi pentingnya bersikap toleran dan inklusif agar narasi-narasi yang digaungkan kelompok intoleran dapat dilawan. Sehingga kerukunan dan perdamaian masyarakat bisa terwujud. Terlebih, Makassar salah satu daerah yang rentan konflik; penelitian SETARA Institute pada tahun 2022 memasukkan Makassar ke dalam daftar 10 kota paling intoleran.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana di STT INTIM, Christin direkrut dosennya yang baru saja mendirikan lembaga bernama OASE INTIM. Lembaga tersebut berfokus pada pengembangan teologi kontekstual dan juga pengembangan kapasitas gereja-gereja khususnya di Indonesia timur. Sehingga selain aktif di FORLOG Antarkita, Christin juga bekerja di OASE INTIM.
Persinggungan antara teologi dalam kerangka OASE INTIM dan nilai-nilai toleransi yang mendasari kegiatan FORLOG Antarkita merupakan perhatian khusus Christin sejak kuliah. Christin juga mempunyai komitmen mengawal toleransi agar tumbuh subur di kota Makassar. OASE INTIM sejak 2014 memberi perhatian terhadap isu toleransi dan akhirnya membuka ruang kolaborasi dengan jaringan-jaringan FORLOG Antarkita. Kolaborasi tersebut dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan pemuda lintas iman yang para alumninya menjadiagen perdamaian di kota Makassar.
Dari pelatihan-pelatihan itulah akhirnya terbentuk Jalin Harmoni dan Aliansi Perdamaian tahun 2018. Pencapaian ini patut diapresiasi karena sebelumnya organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu pluralisme, toleransidan perdamaian hanya sedikit. Dengan munculnya benih-benih baru seperti Jalin Harmoni dan Aliansi Perdamaian tumbuh secercah harapan bahwa kerja-kerja kecil ini pasti akan membawa perubahan.
Tidak hanya melakukan pelatihan dan dialog lintas iman, Christin juga berada di garda terdepan dalam pendampingan terhadap kelompok-kelompok minoritas dan marjinal seperti kelompok Ahmadiyah, Syiah, dan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di kota Makassar. Kelompok-kelompok ini sering mengalami diskriminasi, persekusi bahkan pembubaran dan pelarangan kegiatan.
Apa yang bisa Christin dan jaringannya lakukan adalah mengeluarkan pernyataan sikap atas segala tindakan intoleran dan diskriminasi. Dalam proses pendampingan dan advokasi yang dilakukan tak jarang Christin bertemu kelompok intoleran dan seringkali juga mendapatkan somasi atau bahkan intimidasi. Namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah Christin untuk terus berupaya bersama komunitas memberikan ruang aman bagi mereka yang tertindas, sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat luas bahwa kita harus menghargai eksistensi agama ataupun kepercayaan orang lain.
(bersambung)
*
Kisah Christina Josefien Hutubessy selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.
Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.