“Jangan paksa anakmu untuk menjadi seperti dirimu karena mereka tidak terlahir di zamanmu.” (Ali bin Abi Thalib)
Pesan Ali terkait pengasuhan anak tadi tampaknya masih relevan di zaman sekarang. Bagaimana tidak, masih banyak orang tua yang membandingkan masa depan anak dengan apa yang mereka alami ketika kecil. Contohnya saja terkait usia pernikahan, kita masih menemui orang tua yang menikahkan anaknya di usia sekolah karena mereka melakukannya di masa lampau. Para orang tua ini beranggapan bahwa pendidikan tidaklah penting, yang terpenting status mereka di mata sosial telah dianggap “laku”.
Kultur pernikahan anak tadi akhirnya berdampak negatif terhadap kondisi fisik hingga psikis mereka ketika menginjak dewasa. Bahkan risiko perceraian pun jauh lebih tinggi, dibandingkan ketika laki-laki dan perempuan memutuskan menikah di usia
dewasa. Sayangnya, efek buruk tadi masih diabaikan oleh sejumlah orang tua, termasuk di kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Merujuk data pemerintah setempat, kasus dispensasi untuk perkawinan anak di bawah umur dari kabupaten Sumenep pada tahun 2020 mencapai 2.029 kasus, bahkan di empat bulan pertama di tahun 2021 dispensasi kawin ercatat sebesar 533 kasus. Hal ini menunjukkan pernikahan anak masih menjadi kultur yang dilanggengkan karena pernikahan dianggap solusi kenakalan remaja.
Situasi tersebut tak pelak mendorong Raudlatun, seorang aktivis perempuan sekaligus pendidik di Pulau Garam, untuk mendirikan Sekolah Perempuan tahun 2018. Di sekolah tersebut perempuan yang akrab dipanggil Mbak Odak ini kerap menyelenggarakan kegiatan untuk para ibu, salah satunya sosialisasi tentang bahaya pernikahan anak. Dalam sesi tersebut, ia kerap menyinggung zaman telah berubah, dan kini pendidikan tinggi bisa membantu anak untuk meraih cita-cita lebih besar yang dapat meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidupnya.
Namun, menentang tradisi yang telah lama berlangsung nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Mayoritas orang tua di Madura masih meyakini pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan. Keyakinan ini menciptakan budaya seperti pertunangan sejak dalam kandungan dan pernikahan dini, meski mereka yang dijodohkan belum menyelesaikan pendidikan dasar. Orang tua merasa malu jika anak perempuan mereka menolak perjodohan atau lamaran. Bahkan ada anggapan jika lamaran pertama ditolak, perempuan tersebut akan sulit menikah.
Selain itu, orang tua juga memiliki motif lain, yaitu ingin mengambil kembali sumbangan yang mereka berikan saat melangsungkan pesta pernikahan anak mereka. Sumbangan ini dapat berupa uang atau kebutuhan pokok seperti beras yang telah diberikan kepada kerabat atau tetangga yang sebelumnya telah mengadakan pesta pernikahan anak mereka.
Lebih lanjut, perempuan kelahiran 10 Februari 1986 ini menyatakan,bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab atas perkawinan anak-anak, tetapi juga anak-anak sendiri yang kerap minta dinikahkan. Hal ini mungkin dipengaruhi desakan teman-teman mereka dan anggapan bahwa perkawinan usia muda hal biasa. Belum lagi pengaruh influencer yang kerap menggaungkan pernikahan sebagai solusi segala hal.
Padahal, realitanya dalam banyak kasus pernikahan anak, perempuan kerap kali menjadi korban, tidak hanya karena fisik yang tidak siap, tetapi karena mereka melewatkan masa mengembangkan diri agar mandiri secara ekonomi. Akibatnya, ketika menikah, muncul anggapan perempuan adalah beban finansial pihak laki-laki. Sehingga, dalam sejumlah kasus, ketika perempuan tidak memenuhi permintaan suami, ia kemudian “layak” dianiaya. Akibatnya posisi perempuan sangatlah rentan di Madura.
***
Kisah Raudlatun selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.
Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.