Thursday, October 10, 2024
spot_img
HomeOpiniMengenal Wangari Maathai, Perempuan Afrika Pertama Penerima Nobel Perdamaian

Mengenal Wangari Maathai, Perempuan Afrika Pertama Penerima Nobel Perdamaian

“Mengerikan.. Jika kita harus melawan pemerintah kita sendiri untuk menyelamatkan lingkungan.”  (Ansel Adams)

Nama lengkapnya Wangari Muta Maathai. Ia adalah peraih nobel perempuan pertama dari Afrika. Dan, apa yang digambarkan oleh Ansel Adams dalam quotenya di atas, itulah yang diperjuangkan oleh Wangari muda. Ia melihat bahwa hutan yang selama ini menjadi penghidupan banyak warga di Kenya dibabat habis oleh pemerintah dan pihak swasta. Penghancuran ekosistem yang sudah menjadi tulang punggung warga untuk bertahan hidup tersebut tentu membuat Wangari murka. 

Melihat kawasan hutan yang berkurang, ia akhirnya turun tangan. Berawal dari kegiatan tanam pohon depan rumah pada tahun 1974, tiga tahun berikutnya ia makin tergerak untuk berbuat lebih banyak. Tepatnya pada tahun 1977, ia mendirikan Green Belt Movement, yakni gerakan akar rumput yang berbasis komunitas warga setempat untuk menjamin sumber penyokong kayu bakar dan mencegah erosi tanah. Gerakan itu bahkan mampu mendorong kaum perempuan papa untuk saling bergotong royong, bahu membahu menanam bibit pohon untuk generasi penerus dan kelestarian lingkungan di daerah mereka. 

Diperkirakan, jumlah pohon yang telah ditanam komunitas yang dikoordinir perempuan kelahiran 1 April tersebut sudah mencapai 30 juta pohon dan terus menerus meningkat hingga kini. Apa yang dilakukan Wangari amatlah luar biasa. Sebelum gerakan reboisasi skala besar, lahan hutan Kenya sempat mencapai 2% saja. Angka yang amat jauh dari rekomendasi PBB sebesar 10% kawasan hutan di tiap negara. Kondisi buruk tadi dipengaruhi oleh penebangan liar yang membabi buta. Akibatnya, warga miskin Kenya lah yang menjadi korban. 

Mereka bertahun-tahun mengalami kesulitan air, susah memasak karena tak banyak mendapat kayu bakar, dan mutu tanah yang tak lagi subur. Efek dominonya adalah warga tak dapat bercocok tanam seperti sedia kala. Jika pun mampu berkebun, hasilnya pun amat sedikit. Tak lagi banyak. Rusaknya hutan ternyata menciptakan ‘neraka’ baru warga di sana. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah lah miskin, tak langka pangan dan kurang gizi pula. Melihat problem bertumpuk yang terjadi di kampung halamannya, Wangari memutuskan untuk ‘bersuara’ lewat tindakan nyata. 

Ia memotivasi para ibu untuk mebali melestarikan hutan, menggali sumur baru hingga upaya lain untuk tetap bertahan hidup di tengah krisis lingkungan yang tampak nyata. Walau ia telah menjadi panutan oleh semua perempuan di tempat kelahirannya, ternyata aktivisme hijaunya mendapat tentangan dari pihak pemerintah yang korup dan gerombolan pembalak hutan liar. Ia berapa kali terluka akibat pukulan akibat dihajar para preman sewaan. 

Pada masa rezim Daniel Arap Moi, Wangari Maathai sempat ditahan beberapa kali dan mengalami penyerangan karena tuntutannya untuk pemilihan umum multipartai, pemberantasan korupsi, dan mengakhiri politik kesukuan.  Termasuk dalam perjuangannya adalah penyelamatan Taman Uhuru di Nairobi pada tahun 1989 dari konstruksi kompleks bisnis Kenya Times Media Trust oleh rekanan Moi. Pada 1997, ia berkampanye untuk menduduki jabatan Presiden Kenya namun kalah setelah partainya menarik pencalonannya.

Dengan begitu banyak tantangan di depan mata, lantas menyerahkah ia? Ternyata tidak! Semakin berat cobaannya, ia tetap tak gentar. Ia justru kembali beraksi dengan ide pemberdayaan masyarakat yang baru: berkampanye tentang isu-isu pendidikan dan gizi yang ia namai Blue Belt Movement. Wangari menyadari bahwa pendidikan bisa menjadi pintu peluang bagi berbagai problematika kemiskinan warga. Tak heran, selanjutnya ia berupaya untuk mendorong anak-anak di sana untuk dapat bersekolah setinggi mungkin. Ia juga melibatkan banyak relawan untuk berkontribusi dalam proses perubahan yang komunitasnya ciptakan. 

Dengan begitu banyak jasa yang ia tinggalkan kepada masyarakat Kenya, kepergian Wangari meninggalkan dunia selamanya pada 25 September 2011 lalu, membuat banyak warga lokal bersedih. Mereka telah banyak berhutang budi pada perempuan pemberani itu. Tak hanya mengorbankan pikiran dan tenaga, ia bahkan dengan lantang berkonfrontasi dengan pemerintah berkuasa untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tak punya apa-apa selain asa. Bagi penduduk Kenya, Wangari tak hanya bagaikan secercah cahaya, tapi ia adalah lilin yang bahkan tak segan membakar dirinya untuk menerangi orang lain di sekitarnya. 

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments