Regulasi pengarusutamaan gender sudah didengungkan semenjak 23 tahun yang lalu, namun nyatanya hingga saat ini belum terimplementasi secara sempurna pada tataran kebijakan. Istilah gender yang masih dimaknai sebagai sebuah ideologi barat, menjadi salah satu kendala yang dihadapi di lapangan.
Meskipun demikian, gerakan untuk menciptakan gerakan gender sebagai sebuah high level value tetap terus diperjuangkan dan mengalami perkembangan yang signifikan. Di Lembaga Pendidikan misalnya, saat ini telah terbentuk aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG). Aliansi yang terdiri dari 8 PTKIN/PTKIS se-Indonesia ini telah berhasil menyusun buku operasionalisasi PTRG. Buku tersebut diharapkan mampu menjadi panduan bagi PTKIN/PTKIS se-Indonesia untuk mewujudkan Lembaga Pendidikan yang responsive gender. Sehingga perguruan tinggi mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman, bebeas dari kekerasan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Capain Pengarusutamaan Gender (PUG) yang patut untuk diapresiasi selanjutnya adalah kebijakan dari Kementerian Agama pada bidang penyelenggaraan haji. Selama ini, petugas haji didominasi oleh laki-laki. Begitupula dengan penunjukkan petugas Amirul Hajj. Padahal dari tahun ke tahun, jumlah jamaah haji seimbang. Bahkan dari tahun 2010 hingga sekarang, jamaah perempuan lebih banyak dibanding jamaah laki-laki.
Dalam beberapa seleksi Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI) dan Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) bahkan mencantumkan syarat jenis kelamin laki-laki. Sedangkan quota perempuan hanya untuk seksi pelayan ibadah. Hal ini terjadi karena struktur sosial masyarakat kita yang masih menganggap laki-laki lebih layak untuk menjadi tokoh sentral dalam kegiatan keagamaan. Salah satu upaya yang dilakukan Kemenag untuk menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah adalah dengan melibatkan perempuan sebagai bagian dari amirul hajj. Amirul haj adalah petugas yang ditunjuk oleh Kemenag untuk memastikan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia berjalan dengan lancar di Arab Saudi.
3 Alasan Kenapa Amirul Haj Perempuan Harus ada Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji
Telah diketahui bersama bahwa dalam hal ibadah dihadapan Allah, laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama. Tidak ada yang diunggulkan antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar itulah, baik laki-laki dan perempuan harus diberikan hak yg setara termasuk dalam penentuan dan proses seleksi petugas haji. Termasuk didalamnya penunjukkan Amirul Hajj yang selama ini hanya mengakomodir laki-laki. Ada tiga alasan utama kenapa Amirul Hajj perempuan wajib dilibatkan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Pertama, Perempuan memiliki pengalaman biologis yang khas. Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman khas yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perempuan memiliki pengalaman biologis khusus yang harus difasilitasi kebutuhannya. Dimana kebutuhan tersebut hanya bisa dipahami oleh sesama perempuan.
Contoh kecilnya dalam hal penyediaan toilet bagi perempuan saat wukuf di Arafah. Perempuan memiliki kebutuhan menggunakan kamar mandi yang lebih lama dibanding laki-laki. Maka seyogyanya jumlah toilet perempuan juga harus lebih banyak dibanding laki-laki. Penambahan toilet ini bukan berarti perempuan ingin diunggulkan, namun karena memang kebutuhannya berbeda dengan laki-laki.
Untuk mengetahui apakah fasilitas yang disediakan sudah mengakomodir pengalaman khusus tersebut, hanya bisa diketahui dari pernyataan jamaah perempuan dan direspon oleh petugas. Disinilah peran Amirul Haj perempuan dibutuhkan. Untuk memberikan masukan pada pemerintah di tahun-tahun selanjutnya agar memberikan tambahan fasilitas toilet bagi perempuan saat wukuf di Arafah.
Kedua, kedekatan psikologis. Sebagai sesama perempuan yang juga menjalankan peran sebagai ibu, tentu banyak jamaah perempuan yang mengalami home sick. Tidak menutup kemungkinan ayah juga mengalami perasaan yang sama. Namun mayoritas masyarakat kita masih memposisikan perempuan sebagai aktor utama pengasuhan anak. Maka tak jarang kedekatan ibu dan anak lebih dekat dibanding ayah dan anak.
Selama hampir 40 hari para ibu harus meninggalkan buah hatinya di kampung halaman. Jika tidak diberi pemahaman dan penguatan secara berkala, jamaah haji perempuan akan mengalami ganggung psikis seperti keinginan untuk segera memui buah hati di tanah air yang tidak terbendung. Sehingga berpotensi menganggu kekhusukan dalam menjalankan ibadah haji.
Untuk menghindari hal tersebut, Amirul Haj perempuan bisa mengintruksikan kepada pendamping kloter (jika perempuan akan lebih baik) untuk terus melakukan pendampingan psikis kepada ibu-ibu yang mengalami hal tersebut. Sehingga pendampingan tidak terbatas pada pelaksanaan ibadah saja namun juga ke permasalahan psikis baik yang berhubungan langsung dengan ibadah maupun tidak.
Ketiga, Memastikan jaminan keamanan bagi perempuan. Ulama klasik berbeda pendapat terkait kebolehan perempuan menjalankan ibadah haji tanpa mahram. Imam Hanifah dan Ahmad mewajibkan adanya mahram bagi haji Perempuan. Sedangkan Imam Malik dan Syafii membolehkan tanpa mahram dengan syarat harus bersama dengan rombongan.
Diskursus mengenai keterlibatan mahram bagi jamaah haji perempuan ini berangkat dari relalitas kondisi perempuan di masa tersebut. Perempuan dalam kondisi lemah sehingga rawan menjadi korban berbagai macam kekerasan. Sedangkan kondisi antar negara saat itu rawan peperangan.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Perempuan telah dibekali keilmuan tentang haji sebelum berangkat melaksanakan ibadah. Kondisi antar negara saat ini juga sudah relatif aman, minim konflik dalam bentuk peperangan. Namun demikian, perempuan memiliki potensi untuk dilecehkan oleh laki-laki yang berpenyakit hatinya.
Maka disinilah peran Amirul Haj dibutuhkan untuk memastikan jaminan keamanan bagi jamaah haji perempuan. Amirul Haj bisa memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyusun aturan. Khususnya, bagi perempuan agar pelaksanaan ibadah haji bisa optimal dan terjamin keamanannya.
Amirul Haj Perempuan untuk Pelaksanaan Haji yang Optimal
Amirul Haj perempuan memiliki peran dan posisi yang strategis untuk membantu jamaah perempuan dalam mengantisipasi dan mengatasi pelaksanaan haji. Kesamaan pengalaman, fungsi dan posisi sebagai sesama perempuan lebih mudah digunakan sebagai dasar evaluasi kebijakan pelaksanaan ibadah haji di tahun-tahun berikutnya.
Keberadaan Amirul haj perempuan ini juga akan merobohkan dinding pembatas antara jamaah perempuan dan petugas laki-laki yang terhalang aturan syar’i. Sehingga mampu mengakomodir permasalahan khas yang dialami perempuan, dan jamaah perempuan juga memiliki ruang untuk mengutaran pendapat untuk pelaksanaan ibadah haji yang lebih baik di tahun-tahun selanjutnya.