Potensi Teh Kenya
Bagi pecinta teh global, teh dari Kenya adalah salah satu produk favorit yang banyak diminati. Berdasarkan data pemerintah, diperkirakan para petani secara konsisten memanen kurang dari 305.000 ton teh setiap tahun. Dengan hasil produksi yang berlimpah tersebut, Kenya mengklaim diri mereka sebagai negara penghasil teh hitam terbaik di dunia, dengan teh ditanam di wilayah Kericho, Perbukitan Nyambene, dan Nandi.
Perkebunan teh luas dan produksi yang melimpah ruah ternyata bukan tanaman asli Kenya. The sendiri pertama kali diperkenalkan ke Kenya pada tahun 1903 oleh GWL Caine dan dikomersialkan sepenuhnya pada tahun 1924 untuk Brooke Bond oleh Malcolm Bell yang dikirim untuk tujuan khusus tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, teh menjadi primadona baru di negara Afrika tersebut. Semakin besar permintaan pasar, industri teh yang bergeliat akhirnya membuka banyak lowongan pekerjaan, termasuk mencoba menggaet buruh dari kelompok perempuan. Mereka dikenal sebagai pekerja keras, teliti, cekatan dan tidak banyak protes. Namun potensi positif dari industrialisasi teh di Kenya ternyata membawa efek buruk di belakang layar yang tak banyak terungkap, salah satunya yaitu pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan.
Problem Kemiskinan dan Tingginya Pengangguran
Sekitar 75% populasi Kenya bergantung pada pertanian dan perkebunan untuk mencari nafkah. Namun cuaca Kenya yang tidak menentu dan iklim yang gersang membuat industri pertanian dan perkebunan sangat tidak stabil untuk diandalkan. Pekerjaan di luar industri pertanian jarang ada, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk pekerjaan semacam itu bahkan lebih jarang lagi, terutama bagi keluarga miskin.
Kurangnya keragaman dalam menumbuhkembangkan ekonomi, kesempatan, dan pendidikan seiring dengan pertumbuhan populasi yang cepat. Akhirnya melumpuhkan potensi mayoritas warga negara di sana. Â Di sisi lain, industri bunga di Kenya berkembang pesat terutama dengan ekspor ke negara-negara Eropa, bersamaan dengan pertanian kopi dan teh. Sehingga, lowongan terbesar datang dari industri-industri tadi.
Tak heran, ketika seseorang mendapat panggilan untuk mendapatkan pekerjaan pemetik the. Misalnya, mereka akan segera mengusahakannya karena mendapatkan pekerjaan tetap dan mendapatkan pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari, amatlah sangat sulit di negeri tetanga Tanzania itu. Belum lagi, perusahaan-perusahaan teh kini lebih memprioritaskan penggunaan mesin untuk memaksimalkan profit. Hal ini selanjutnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja sepihak yang berakibat pada tingginya kompetisi di antara pekerja teh.
Kondisi tersebut lebih lanjut dimanfaatkan oleh manajer dan supervisor perusahaan teh dengan mengeksploitasi pekerja teh perempuan secara seksual. Modus operandinya pun bermacam-macam, dari ancaman diberhentikan jika tidak mau berhubungan seks hingga pelecehan seksual berkedok wawancara kerja. Â Salah satu penyintas kekerasan seksual, Katy (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan bahwa sebenarnya perusahaan telah memiliki regulasi tentang pelecehan seksual.
Namun, di lapangan poin-poin itu dilanggar oleh atasan mereka sendiri. Suatu kali, ia diundang ke hari pelantikan di mana seorang manajer divisi bernama Jeremiah Koskei memberikan pidato kepada karyawan barunya tentang kebijakan toleransi nol Unilever terhadap pelecehan seksual. Namun, dia kemudian mengundang “Katy” untuk menemuinya di bar hotel malam itu dan mencoba menekannya untuk berhubungan seks.
Bahkan menyarankan pula agar mereka kembali ke kompleksnya bersama. Tak lama setelahnya, Katy ditugaskan ke tim penyiangan – ini adalah pekerjaan yang melelahkan, enam hari seminggu, dan banyak wanita meminta untuk dipindahkan. Ketika akan mengajukan pindah untuk keluar dari divisi itu, Katy dihadapkan pada predator seksual yang lain.
Pengawas di sana, Samuel Yebei, mengajaknya berhubungan seks dengan imbalan tugas yang lebih ringan. Ia menjanjikan bahwa Katy akan ditempatkan pada tim administrasi sehingga ia tidak perlu repot-repot menghabiskan tenaganya untuk pekerjaan yang menguras fisik.
Namun, Katy bergeming dengan segala risiko dan pengalaman buruk yang telah ia hadapi, ia memutuskan untuk berhenti dan mencoba peruntungan di bidang lain walau ia tahu bahwa semua tidak akan mudah. Kenya masih dihadapkan pada kelangkaan lowongan kerja dan di saat yang sama, tingkat pendidikannya tidak mencukupi untuk melamar pekerjaan yang lebih memberikannya jaminan hidup secara cukup.