Djuwita Djatikusumah, salah satu tokoh perempuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan. Masih ingat betul bagaimana ia dan saudara-saudaranya mengalami diskriminasi dan stigma negatif dari orang-orang di sekitarnya.
Sejak kecil, ia sudah menyaksikan berbagai kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan. Ia sendiri sering kali mengalami bullying di sekolah, dipaksa untuk pindah agama, distigma sebagai penganut agama “sesat” dan beberapa kali menyaksikan pembubaran paksa pelaksanaan upacara adat Seren Taun.
Melansir dari Wikipedia, Seren Taun adalah upacara adat yang dijalankan setiap tahun sekali pada 22 Rayagung tahun Saka Sunda oleh para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam ADS (Agama Djawa-Sunda).
Apa yang dialami oleh Djuwita juga banyak dialami oleh anak-anak Sunda Wiwitan lainnya. Di sekolah, mereka sering kali diejek sebagai penganut ajaran “sesat” atau “kafir. Selain itu, beberapa dari mereka juga kerap kali dipaksa untuk memakai jilbab.
Seni Musik, Pelipur Lara Kelompok Sunda Wiwitan
Berangkat dari kondisi yang mengkhawatirkan tersebut, Djuwita merasa perlu bergerak dan bersuara agar menghilangkan prasangka buruk atau label orang-orang sekitar pada masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Menurutnya, perlakukan diskriminasi ini akan terus terjadi, jika orang-orang di luar tidak memahami ajaran Sunda Wiwitan. Oleh karenanya, sejak tahun 2014, ia berinisiatif untuk memperkenalkan nilai-nilai dalam kepercayaannya lewat lagu dan musik.
Juwita mendirikan Grup Seni Sekar Galuh. Awalnya, grup ini merupakan grup Paduan suara. Namun seiring berjalannya waktu, tahun 2016 Djuwita mulai menciptakan lirik lagu dan musik sendiri. Menurutnya, gerakan ini bisa menjadi salah satu cara untuk menyembuhkan luka yang dialami oleh anak-anak adat Sunda Wiwitan yang mengalami bullying dan juga diskriminasi.
Melansir dari buku “Perempuan Penggerak Perdamaian”, salah satu lagu yang sering dibawakan oleh grup Seni Sekar Galuh adalah lagu berjudul “Pusaka Negeri”. Berikut lirik lengkapnya:
Mari berjabat tangan, ciptakan perdamaian, tak guna selisih paham
Kita bersatu padu, membangun jiwa baru, sadar kembali akan bangsamu
Letih sudah merintih, lelah sudah terjajah, saatnya bangkit bersatu
Agama bukan penghalang, adat bukanlah penghambat, kita tetap satu Indonesia
Pancasila pusaka negeri, merah putih berkibar sakti, Bhineka Tunggal Ika tak terbantah lagi
Bersatu seluruh rakyatnya, berdaulat budayanya, kembalikan kejayaan Indonesia.
Pesan dalam lirik lagu tersebut sangat jelas, yaitu tentang pentingnya merawat dan menjaga perdamaian. Bahkan dalam lagu tersebut juga dijelaskan bahwa perbedaan diciptakan Tuhan bukan untuk bersaing, tetapi untuk bersanding.
Ajaibnya, lewat lagu-lagu karya Djuwita, anak-anak adat Sunda Wiwitan yang mulanya trauma, minder, takut untuk berpendidikan tinggi, dan tidak berani berteman dengan dunia luar, secara perlahan justru pulih dan mencoba untuk bangkit.
Dalam ungkapannya pada saat diwawancarai oleh Fajar Pahrul Ulum dalam buku yang sama, Djuwita sangat bersyukur karena sekarang anak-anak adat Sunda Wiwitan berani tampil di publik dan mau sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Mempertahankan Lahan Sunda Wiwitan Lewat Seni
Selain sebagai upaya untuk mewujudkan perdamaian, menyembuhkan luka anak-anak korban diskriminasi, bagi Djuwita seni juga bisa jadi alat untuk mempertahankan lahan masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Djuwita masih ingat betul bagaimana, seni, kawih, ataupun kebudayaan mampu menyatukan energi alam (indung bumi) dan energi manusia (indung kandung). Energi ini ia rasakan ketika masyarakat adat kompak melantunkan lagu-lagu Sunda Wiwitan untuk menolak eksekusi lahan pada tahun 2017.
Menurutnya, seni adalah media untuk menyeimbangkan pikiran, perasaan, dan perbuatan. Hal ini seringkali hanya dimiliki oleh perempuan. Oleh karenanya, Djuwita selalu melibatkan perempuan adat dalam berbagai kegiatan seni dan kebudayaan. Termasuk dalam proses menjaga lahan dan melindungi kelestariannya.
Mengutip dari laman infid.org, Djuwita percaya bahwa perempuan juga punya kewajiban untuk mempertahankan lahan. Bahkan dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, perempuan (indung kandung) memiliki karakter yang serupa dengan alam (indung bumi), yaitu melahirkan generasi masa depan.
Karakter memelihara, melindungi, dan menyelaraskan adalah karakter indung bumi, indung kandung, dan indung luhung. Ujung dari karakter ini bukan hanya melahirkan generasi masa depan, tetapi mengharapkan semesta yang berjalan secara berkesinambungan antara alam raga manusia dan alam raya, dengan keselamatan, keselarasan atau keharmonisan.
Maka dari itu, Djuwita menegaskan bahwa perempuan bukan hanya bertanggung jawab untuk mempertahankan lahan adat, tetapi juga menjaganya tetap lestari.
Kembali pada perjuangan perdamaian, Djuwita percaya bahwa perempuan mampu menjadi tokoh kunci dalam merawat dan menjaga perdamaian. Baik kedamaian pada diri sendiri, antar sesama manusia, maupun dengan alam.
Karena sejatinya, ajaran Sunda Wiwitan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan hidup dalam harmoni dengan segala makhluk hidup di muka bumi. []