HomeOpiniMemaknai Perempuan dan Laki-Laki sebagai Subjek Penuh

Memaknai Perempuan dan Laki-Laki sebagai Subjek Penuh

International Conference, yang dilaksanakan oleh AMAN Indonesia bersama UIN Walisongo Semarang, pada 23 November 2022 beberapa waktu lalu, memberikan kesan dan pesan banyak hal kepada semua pihak, termasuk kesadaran yang melekat dalam diri tentang tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Satu hal yang bisa saya pahami dari Nur Rofi’ah dalam penyampaian planery I bahwa, laki-laki dan perempuan adalah subjek penuh yang memiliki tanggung jawab untuk dirinya masing-masing.

Konsep bahwa, manusia adalah sebagai khalifah di bumi, dipahami dalam konteks bahwa tugas tersebut diberikan kepada setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi, dunia yang tercipta dengan standart laki-laki ini, menjadikan posisi perempuan sering dianggap objek. Dalam hubungan keluarga misalnya, perempuann dianggap sebagai objek, di mana keputusan ada di tangan laki-laki tentang banyak hal.

Bahkan, apabila sebuah keputusan tidak menggunakan pendekatan perempuan (tidak melihat dampak terhadap perempuan) seringkali merugikan perempuan. Posisi ini diperkuat oleh dogma yang dipercaya oleh seluruh masyarakat khususnya tentang posisi laki-laki dalam rumah tangga. Ayat Tuhan yang diterjemahkan bahwa, laki-laki adalah pemimpin perempuan, membawa pada posisi marginal perempuan dalam keluarga.

Sehingga keputusan apapun dalam rumah tangga, terkadang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk ada di dalam pertimbangan. Sehingga hal ini kerapkali mendiskriminasi perempuan. Tidak hanya itu, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, salah satu faktor penyebabnya juga didasari pemahaman dogma tentang posisi inferior perempuan yang menyebut perempuan harus patuh pada suami, taat perintah dan menjauhi segala larangannya.

Memaknai perempuan sebagai subjek penuh artinya, melihat perempuan secara utuh berdasarkan kemampuan, minat, kesukaan, bahkan pilihan atas hidupnya. Kalimat ini perlu dipertegas agar orang lain memiliki kesadaran utuh untuk menghargai perempuan sebagai manusia.

Objektivikasi Perempuan dan Segala Bentuk Diskriminasinya

Kesadaran agar lingkungan sosial mampu menciptakan ruang yang utuh bagi perempuan, harus sejalan dengan sikap yang ditampilkan oleh perempuan itu sendiri. Artinya, menjadi perempuan harus memiliki sikap yang tegas, disertai segala upaya agar mampu mendobrak sosial untuk memberikan ruang yang luas bagi perempuan. Upaya semacam ini bukan kemudian memberatkan perempuan, akan tetapi, kesadaran bahwa dunia dibentuk dengan standart laki-laki, mengharuskan perempuan untuk melakukan hal lebih agar bisa dijadikan subjek dalam setiap persoalan.

Tidak ada yang salah ketika perempuan bersuara agar tercipta kesetaraan gender, atau melakukan gerakan secara kolektif agar ada kebijakan yang responsif gender. Sehingga, hal ini sejalan dengan Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Eleminitin of Discrimination Against Women (CEDAW), menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. konvensi ini justru menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan, ataupun di berbagai bidang seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya dan sipil.

Konvensi ini mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan khusus sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas satu jelasin kelamin atau peran streotipe untuk perempuan dan laki-laki.Keberadaan CEDAW ini semakin menguatkan kesadaran kepada kita semua bahwa, perempuan selama ini mengalami diskriminasi dari berbagai sisi, mulai dari sisi struktural, hingga diskriminasi fisik yang terus meningkat.

Argumen ini berdasarkan bukti data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan dengan menyebut bahwa, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021, sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika dibandingkan dengan tahun 2020. Kasus ini cukup tinggi karena mengakibatkan perempuan sebagai kelompok yang paling dirugikan.

Berdasarkan data ini,  kita bisa memahami bahwa, perempuan kerap kali menjadi korban dari kekerasan berbasis gender. Maka dari itu, penting untuk kita memahami bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama. Kesadaran utuh akan peran sebagai manusia di bumi jangan sampai dipatahkan oleh pemahaman tentang posisi perempuan yang inferior. Dengan demikian, baik laki-laki ataupun perempuan, mampu menjadikan dirinya sebagai subjek kehidupan yang memiliki otoritas akan tubuh, kehidupan, dll.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments