HomeOpiniOzlem Yasak: PR Kesetaraan dan Toleransi di Turki Masih Banyak

Ozlem Yasak: PR Kesetaraan dan Toleransi di Turki Masih Banyak

Berada di tengah-tengah antara Benua Eropa dan Asia, Turki adalah rumah bagi hampir 83 juta orang. Bahkan karena lokasinya, Turki kini menampung 4 juta orang di bawah perlindungan internasional dan sementara ini menjadi negara dengan jumlah pengungsi terbesar di dunia. Turki adalah anggota PBB, NATO, OECD, G-20, dan OKI, dan negara kandidat untuk aksesi Uni Eropa. Di bidang kesetaraan gender, pada tahun 1934, perempuan Turki merupakan kelompok pertama di Eropa yang telah mendapat hak untuk memilih dan mencalonkan diri untuk jabatan politik.

Menurut catatan sejarah, Turki memiliki gerakan perempuan yang kuat dan aktivis hak asasi perempuan yang sukses memobilisasi kampanye nasional melawan kekerasan terhadap perempuan dan berkontribusi pada penerapan undang-undang kesetaraan gender. Rencana Pembangunan Nasional ke-11 Turki pada periode 2019-2023 sendiri berisi tujuan dan langkah-langkah untuk memberdayakan perempuan, mencegah diskriminasi terhadap mereka, dan memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap hak, peluang, dan fasilitas yang tersedia bagi laki-laki.

Dokumen kebijakan lain yang diadopsi antara lain Strategi dan Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan Perempuan (2018-2023), Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Kekerasan dan Perempuan (2016 -2020) dan Rencana Aksi Nasional Ketenagakerjaan Perempuan (2016-2018) Merujuk data UN Women, Turki menjadi salah satu pihak ynag terlibat dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1985 dan meratifikasi Protokol Opsional untuk CEDAW pada tahun 2002.

Turki juga merupakan negara pertama yang menandatangani (2011) dan meratifikasi (2012) Konvensi Dewan Eropa tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui Konvensi Istanbul. Sayangnya gerakan tersebut kemudian menjadi isu kontroversial di Turki. Pada 20 Maret 2021 lalu, Turki mengumumkan bahwa mereka menarik diri dari Konvensi Istanbul. Alasan pengunduran diri Turki didasarkan pada asumsi bahwa konvensi tersebut mengancam nilai-nilai tradisional keluarga Turki yang selama ini kuat dengan nilai-nilai agama.

Keputusan pemerintah tersebut tentu menggelisahkan para penggiat isu perempuan, termasuk Ozlem Yasak. Ia adalah advokat kesetaraan gender yang juga berprofesi sebagai jurnalis dan sempat menduduki penasihat umum walikota di bagian tenggara Turki. Bagi Ozlem, negaranya memang semakin maju di berbagai bidang. Tapi hal tersebut berbanding terbalik dengan posisi perempuan yang masih menjadi warga negara kelas dua.

Menurut penuturan Ozlem, hanya seperempat wanita Turki yang berpartisipasi dalam angkatan kerja – salah satu tingkat terendah di Eropa dan Timur Tengah. Turki bahkan menempati peringkat 125 dari 140 negara dalam laporan kesetaraan gender global Forum Ekonomi Dunia. Itu hanya sedikit di atas Iran, Arab Saudi, dan Mesir. Merujuk data platform “We Will Stop Femicide” Turki, ada sekitar 300 perempuan yang terbunuh karena femisida, dan angka di lapangan bisa jadi lebih besar karena banyaknya kasus yang tak terlupakan.

Hal yang menyedihkan pembunuhan demi kehormatan atau honor killing masih menjadi masalah yang jarang disuarakan, apalagi ditangani, di bagian pedesaan negara bulan sabit tersebut. Situasi yang merugikan perempuan dan kelompok minoritas ini membuat Ozlem terus bergerak untuk mendorong terakomodirnya lebih banyak hak ekonomi dan sosial bagi kelompok marjinal di sana, termasuk kelompok orang-orang Kurdi Turki, minoritas yang tercerabut hak-haknya, padahal populasi mereka mencapai seperlima dari populasi negara itu.

Sebagai gambaran, Kurdi adalah salah satu kelompok etnis terbesar di dunia, sekitar 40 juta, namun selama ini mereka terpinggirkan dan tidak pernah memiliki wilayah negara kekuasaan sendiri. Mereka tinggal membentang di berbagai wilayah dariTurki, Suriah, Irak hingga Iran. Satu-satunya entitas Kurdi yang diakui secara internasional ada di Irak, dengan pemerintah regionalnya sendiri, ekonomi yang layak, dan pasukan keamanan yang kuat yang dikenal sebagai Peshmerga.

Sampai tahun 1991, berbicara bahasa Kurdi di depan umum di Turki adalah ilegal. Penyiaran dalam bahasa Kurdi dilarang sampai tahun 2002, dan sampai tahun 2003, orang tua dilarang memberikan nama Kurdi kepada anak-anak mereka. Pendidikan umum bahasa Kurdi masih sangat diperebutkan, dengan banyak anak Kurdi dipaksa untuk mengambil kelas dalam bahasa Turki, bahasa yang jarang mereka pelajari di rumah.

Sembari merefleksikan apa yang terjadi di negaranya, Ozlem menggumam pelan bahwa,”perjalanan kami masih panjang,” katanya. ”Kesetaraan belum sepenuhnya milik kita semua… kesetaraan belum dimiliki siapa pun”.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments