Sebagai seorang pendatang, anak mantu perempuan, saya tidak mendapatkan privilege seperti perempuan asli lainnya di Malaka sehingga saya harus membuka jalan untuk diri sendiri dengan kemampuan dan keterampilan saya sendiri.
Kehadiran Mila ketika kembali ke Malaka, NTT tak bisa dipaksakan untuk diterima dengan tangan terbuka. Mila tetap perempuan, pendatang, bukan warga asli. Ada hal-hal berkaitan dengan adat dan kekerabatan yang tak bisa dia ceritakan, membuatnya tak mudah diterima.
Di Malaka, masyarakatnya menggunakan sistem kekerabatan matrilineal, sesuai garis darah ibu, meskipun sudah terjadi perkawinan antar suku/etnis. Sehingga perempuan di Malaka justru menjadi tuan rumah atau pemegang aset seperti tanah, rumah, dll. Laki-laki yang menikah dengan perempuan setempat, istilahnya akan kawin masuk ke dalam keluarga istri.
Lalu, apakah dengan perempuan yang kelak memiliki aset, akan mendapat privilege dalam hal mengurus rumah tangga? Mila menggelengkan kepalanya. Meski secara adat, perempuan seolah memiliki privilege, tapi masih banyak yang terjebak menghabiskan waktunya untuk keperluan domestik ataupun adat (memasak dan urusan lainnya dalam acara adat).
Menguasai aset juga tak menjamin banyak perempuan dapat mengenyam pendidikan tinggi. Apalagi diikuti cara berpikir masyarakatnya turun temurun, bahwa perempuan tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga (dapur). Ketidakcakapan para perempuan dalam mengelola aset ini saja sudah menjadi bukti minimnya pendidikan, tentu saja juga berpengaruh ke pengelolaan sumber daya alam di sekitar mereka ke depannya. Contoh paling dekat, sedikit sekali kebun kapas yang masih tersisa kini.
Tuntutan finansial yang makin meningkat akhirnya membawa perempuan ke dalam posisi rentan. Beberapa mengalami kekerasan dalam rumah tangga, maupun terlibat human trafficking dan menjadi pekerja migran ilegal. Ketidakhadiran seorang ibu dalam keluarga, menjadi pekerja migran misalnya, meninggalkan anak-anak mereka dalam pengasuhan keluarga lainnya, memungkinkan menimbulkan permasalahan sosial yang lain.
Melihat kondisi tersebut termasuk kehadiran dirinya dan MorisDiak yang kurang diterima, Mila mengambil jalan tengah untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang di luar kekerabatan. Hal itu katanya menjadi sikap resiliensinya terhadap apa yang terjadi. “MorisDiak belum bisa kembali ke asal. Saya juga belum yakin apakah bisa menghidupkan brandnya, dan tentu menghasilkan produk komersil lagi.”
Namun, bukan Mila namanya jika tidak bersikap resiliens dan persisten. Dia terus berupaya, meski pelan, bahwa apapun yang bisa dia lakukan harus disyukurinya. Dia memenuhi panggilan dari Pendeta untuk menjadi guru di sekolah gereja. Sekolah kecil yang sedang berusaha bangkit dari kesalahan penanganan manajemen.
Panggilan ini datang bersama dengan kebutuhan psikologisnya untuk bisa tetap terhubung dengan dunia luar dan terus mengasah pemikiran dan ketrampilan. Mila mengakui, dia menyukai bidang pendidikan dan mendampingi anak-anak. Hal yang pernah membawanya menjadi pendamping anak di NGO maupun volunteer di gerakan pendampingan anak, termasuk di SALAM.
“Sebagai perempuan yang tidak mendapatkan privilege seperti perempuan asli lainnya, saya harus membuka jalan untuk diri sendiri. Panggilan mengajar ini memberikan kesempatan bagi saya untuk menjadi manfaat bagi sekitar. Berharap bisa membawa perubahan mungkin akan terdengar muluk-muluk, tapi perubahan itu sangat mungkin terjadi lewat pendidikan,” cetusnya dengan bersemangat.
Selama Mila mendampingi di SMP Kristen Betun, PPA dan juga di gereja, dia menemukan fakta tentang angka putus sekolah yang cukup besar. Kesadaran masyarakat, khususnya orangtua akan pentingnya pendidikan ternyata masih rendah. Sekolah dianggap tidak memberikan jawaban bagi kebutuhan mereka maupun “kehausan” mereka. Termasuk juga masih adanya anggapan perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Sungguh pekerjaan rumah berjangka panjang bagi Mila dan para pendidik lain untuk perlahan-lahan mengubah cara pandang ini.
Selain urgensi kebutuhan bersekolah yang masih perlu ditanamkan, akses pendidikan yang tidak mudah di belahan bumi Timor yang lain juga ikut bermasalah. Perubahan musim, frekuensi banjir berulang, serta jarak yang jauh harus naik turun gunung, biaya, kualitas guru, fasilitas yang tidak memadai, dll masih menjadi tantangan untuk membuat anak-anak di NTT, termasuk orang tuanya untuk lebih antusias mengenyam pendidikan.
Keseharian Mila mengajar Bahasa Inggris dan IT justru membuka peluang baru yang tidak terpikirkan. Siswa dan sekolah lebih terbuka dan menerima keberadaan dirinya dengan senang hati. Tantangannya kemudian perlunya membangun minat siswa dan sekolah sebagai lembaga, keinginan untuk melestarikan budaya tenun, menyiasati alat-alat tenun dengan keterbatasan dana dan waktu mereka. Upayanya ini sempat membuahkan hasil beberapa bulan lalu, ketika produk karya tenun siswa bisa dipasarkan untuk penggalangan dana bagi pengembangan program mereka sendiri.
Dengan menjadi guru, Mila berharap pengalamannya bisa menjadi kontribusi positif bagi NTT. Dia sendiri menjadi punya kesempatan untuk terus mempelajari hal-hal baru, seperti kurikulum merdeka, dll termasuk menyiasati pengemasan materi terkini dengan lebih menarik, ikut memikirkan pembiayaan bila merancang kegiatan, dll.
Mila memberikan contoh, bagaimana dia bisa membuka dialog untuk deteksi dini hal-hal terkini, dengan lebih leluasa di sekolah bersama guru dan siswa. “Di dalam rapor pendidikan kami, hasil ANBK tahun lalu, muncul soal kesadaran akan isu kekerasan seksual. Jadi kami pun saling berdiskusi, membuat rencana program untuk dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Lalu, muncul rekomendasi (sesuai rapor) untuk kegiatan terkait. Sekolah kemudian mendesain kegiatan yang sesuai dan mampu dilakukan. Kebetulan, kami sdh punya chromebook bantuan tahun sebelumnya. Saat itu muncul usulan pembuatan poster secara digital, manual, maupun cetak.”
Optimisme Mila membangun ruang-ruang perjumpaan, interaksi dan kolaborasi ini, diumpamakannya sebagai upaya kecilnya yang bisa dia lakukan untuk NTT. Dia menegaskan, sesungguhnya NTT mempunyai SDA (sumber daya alam) yang luar biasa. Agar pengelolaan SDA dan wilayah ke depannya semakin baik, kualitas SDM di NTT juga harus makin membaik. Sehingga potensi lokal makin dikembangkan, keterlibatan mereka juga makin tinggi dalam perencanaan dan pembangunan.
Tinggal bersama keluarganya kini di Malaka, mendorongnya untuk menjadi contoh bagi perempuan NTT. Bahwa untuk membuat perubahan di skala besar, apapun itu, perubahan mendasar perlu dulu terjadi di dalam keluarga. Ibu (perempuan)lah yang memegang peranan besar di sini. Apalagi di Malaka, di mana perempuan memegang peranan besar dalam posisi adat Seharusnya perempuan juga bisa membawa dampak yang lebih besar dalam bentuk berbagai perubahan positif.
“Saya berharap perempuan di NTT kelak akan mempunyai kesempatan yang sama seperti di wilayah-wilayah lain untuk mengembangkan diri. Sehingga ke depannya mereka dapat mengambil bagian juga dalam peran-peran non-domestik di dalam masyarakat,” katanya dengan mata berbinar, penuh optimisme.
Seratus persen saya menyepakatinya.