Agnes Dwi Rusjiyati merupakan perempuan sederhana, namun ia memiliki peran yang luar biasa dalam memperjuangkan hak kebebasan beragama serta menyebarluaskan nilai-nilai toleransi di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kiprahnya dalam memberikan advokasi kepada para korban kekerasan atas nama agama, menjadikan namanya dikenal sebagai perempuan yang gigih dan berani dalam menegakkan keadilan serta toleransi.
Perempuan yang merupakan salah satu anggota ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika) Daerah Istimewa Yogyakarta ini, sangat getol menyuarakan hak beragama. Ia beberapa kali melakukan pendampingan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban persekusi dan pelarangan pendirian tempat ibadah bagi umat Kristen di Gunung Kidul.
Melakukan Tindakan Nyata dan Menebar Nilai Kebebasan Beragama sebagai Bagian dari HAM
Pengalaman nyata yang dialami Agnes ini bermula sejak 2011 hingga 2015, yang mana di Gunung Kidul sudah terdapat lima kasus terkait kebebasan beragama dan berkepercayaan. Dari lima kasus tersebut antara lain, penghentian penggunaan rumah ibadah, pembatasan perayaan hari raya Paskah, pelarangan ibadah natal di Gereja, penutupan rumah ibadah dan penghentian pembangunan Gua Maria Wahyu Ibuku.
Penghentian pembangunan Gua Maria Wahyu Ibuku yang paling membuatnya harus ekstra dalam mencurahkan tenaga dan pikirannya. Beberapa ujaran kebencian juga sempat memperkeruh konflik yang terjadi. Alotnya penyelesaian perkara dan tekanan dari berbagai pihak pernah membuatnya hampir putus asa. Namun, rasa prihatin yang mendalam atas masih awamnya masyarakat dalam beragama, membuatnya kembali bersemangat untuk menebar nilai-nilai toleransi dan kebebasan beragama kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan Gua Maria Wahyu Ibuku.
Masalah pembangunan Gua Maria berlanjut pada Mei 2016, di mana terdapat tiga Penggugat yang mengajukan gugatan kepada Bupati Gunung Kidul atas terbitnya IMB Gua Maria Wahyu Ibuku ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada saat persidangan, Penggugat yang mengajukan gugatannya kepada Lembaga Bantuan Hukum Baskara mengerahkan sejumlah Ormas untuk mengintervensi dan mengintimidasi panitia pembangunan Gua Maria. Akhirnya Agnes beserta tim mengajukan diri sebagai Tergugat dua intervensi.
Pada Juni 2016, Penggugat akhirnya mencabut gugatan atas IMB Gua Maria Wahyu Ibuku dengan alasan gugatan tersebut menimbulkan kondisi yang tidak kondusif di masyarakat. Para pihak dalam perkara tersebut akhirnya beritikad baik dengan menjadikan jalan damai sebagai penyelesaian perkara.
Kasus yang dihadapi menjadi tindakan intoleransi yang juga menjadi bagian dari pelanggaran akan jaminan HAM terkait kebebasan hak sipil. Payung hukum berupa UUD 1945 yang mengakui adanya non derogable right berupa: hak hidup, hak merdeka dalam hati dan pikiran, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui di hadapan hukum, menjadi landasan hukum yang pada akhirnya membuat Agnes dengan bantuan kawan-kawannya merespon kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di Gunung Kidul.
Tantangan yang dihadapi Agnes tidaklah mudah. Sebelumnya ia telah melakukan beberapa upaya perdamaian dengan mulai menghadap beberapa instansi pemerintahan secara prosedural, memediasi konflik, hingga mengadvokasi para korban yang tentunya begitu menguras waktu, tenaga dan pikiran. Perjalanan yang sangat payah dan tidak mudah tersebut juga sempat ia dokumentasikan menjadi sebuah buku.
Peran Perempuan dalam Advokasi dan Edukasi
Buku dengan judul “Mengurai Benang Kusut Intoleransi: Sebuah Studi atas Hasil Pendokumentasian Kasus Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta”, ditulis Agnes untuk menjelaskan rentetan peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan Beragama yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul DIY sejak 2011 hingga 2015 lalu.
Tujuannya tak lain ialah agar pendokumentasian ini bisa digunakan sebagai pembelajaran dan masukan bagi negara dalam meningkatkan dan memberikan jaminan, serta perlindungan terhadap korban kebebasan beragama dan berkepecayaan. Di saat yang bersamaan, ini menjadi upaya membangun komitmen negara dalam menjaga toleransi antar umat beragama, di samping itu agar kasus yang pernah terjadi tidak terulang lagi di masa depan.
Semangat untuk menjaga perdamaian dengan sikap toleran terhadap pluralitas yang ada ini lah yang membuatnya tidak pernah putus asa untuk terus vokal dalam membela hak-hak korban. Bagi Agnes, nilai-nilai tentang Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah hak dasar yang menjadi hak konstitusional dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi, terlebih negara juga telah meratifikasi Kovenan Internasional hak sipil politik dan dibentuknya Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2005. Sehingga, Negara harus menjamin dan menghormati, serta bertindak secara tepat untuk mencegah, melindungi korban dan memulihkan hak-hak korban.
Pada akhirnya tim advokasi Giriwening bentukan Agnes dan kawan-kawan memberikan pengaruh yang kuat dalam proses advokasi. Perjalanan panjang Agnes tersebut menjadi gambaran nyata bagaimana peran aktif perempuan dalam memperjuangkan hak, menanamkan nilai toleransi dan menjaga perdamaian.
Referensi:
Disampaikan pada acara Fellowship Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) CRCR Universitas Gadjah Mada, 26 Oktober 2023.
Agnes Dwi Rusjiyati, dkk. Mengurai Benang Kusut Intoleransi: Sebuah Studi atas Hasil Pendokumentasian Kasus Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016), 19-46.