HomeOpiniPerdamaian dalam Perbedaan

Perdamaian dalam Perbedaan

Cerita Perubahan Positif: Nyadran Perdamaian Lintas Generasi Tahun 2020 di Dusun Krecek-Gletuk, Desa Getas, Temanggung, Jawa Tengah

Kegiatan Nyadran Perdamaian merupakan salah satu program kegiatan Peace Leader Indonesia. Tujuan dari kegiatan Nyadran Perdamaian adalah untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan keharmonisan melalui silaturahmi antar sesama umat beragama yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dibentuknya konsep “Nyadran Perdamaian” oleh pihak AMAN Indonesia beserta jejaringnya. Nyadran sudah menjadi tradisi yang sangat kental bagi masyarakat Dusun Krecek-Gletuk, Desa Getas, Temanggung, Jawa Tengah.

Tradisi ini dijalankan oleh masyarakat dari latar belakang agama yang berbeda, karena mayoritas masyarakat di Dusun Krecek yang beragama Budha dan mayoritas masyarakat di Dusun Gletuk beragama Islam. Dari perbedaan latar belakang agama inilah mampu menciptakan kondisi kehidupan masyarakat yang guyub rukun dengan menjunjung rasa toleransi, kebersamaan, dan gotong royong. Pak Walmin yang merupakan salah seorang warga Dusun Krecek yang merupakan tokoh masyarakat yang aktif dalam kegiatan Nyadran mengungkapkan bahwa rasa kebersamaan dan gotong royong merupakan hal yang paling penting bagi masyarakat di Dusun Krecek dan Dusun Gletuk.

“Kami yang terpenting adalah rasa kebersamaan dan gotong royong itu, mungkin yang membuat kami ya walaupun berbeda-beda agama tetapi kami tetap bisa menjalin kerjasama, kegotongroyongan”.

Budaya Nyadran diselenggarakan oleh masyarakat di sebuah pemakaman, dengan melakukan ritual atau upacara dan melakukan pemanjatan doa bersama yang dipimpin oleh masing-masing kelompok pimpinan agama secara bergantian. Dalam kegiatan Nyadran, membutuhkan banyak persediaan makanan dan minuman. Hal ini dikarenakan setelah selesai melakukan upacara Nyadran, masyarakat biasanya berkumpul dan duduk berbaris sambil menyantap makanan yang telah disediakan. Sebelum puncak acara Nyadran, ibu-ibu sangat antusias menyiapkan segala kebutuhan Nyadran dengan memasak dan menyiapkan makanan yang cukup banyak dan beragam. Sedangkan, laki-laki sangat antusias membuat “tenong” yang merupakan alat atau tempat untuk membawa makanan.

Upacara Nyadran hanya diikuti oleh bapak-bapak dan anak muda. Sedangkan, perempuan tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan Nyadran. Ibu Kirmi yang merupakan ketua Sekolah Perempuan Catur Manunggal dari Dusun Krecek mengungkapkan bahwa alasan perempuan tidak mengikuti puncak acara Nyadran disebabkan karena kurangnya rasa percaya diri yang dialami oleh perempuan di Dusun Krecek dan Dusun Gletuk. Sebab itulah, sebelum tahun 2020 kegiatan Nyadran tidak melibatkan partisipasi perempuan selama proses upacara Nyadran yang dilakukan di pemakaman. 

“Perempuan itu kurang percaya diri gitu ya. Jadi, awalnya memang ada beberapa alasan mengapa tidak ikut Nyadran itu ya. Pertama, sudah masak gitu di rumah, capek gitu. Kemudian, kedua memang perempuan gak pada ikut gitu kan. Jadi kalo ikut ya hanya malu. Apalagi gak banyak gitu kan”.

Kegiatan Nyadran Perdamaian yang diselenggarakan pada tanggal 10-13 Maret 2020 berhasil menarik minat dan antusias dari banyak peserta yang ikut yang berasal dari wilayah yang berbeda, seperti ada yang dari Papua, Yogyakarta, Temanggung, Bekasi, Jakarta dan sebagainya. Ada beberapa kegiatan yang disediakan oleh panitia dalam pelaksanaan kegiatan Nyadran Perdamaian, seperti Kelas Perempuan Bertutur, Kelas Karawitan, Kelas Meditasi, Kelas Jaran Kepang, dan Kelas Sesaji.

 Kelas perempuan bertutur yang dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2020 membuka ruang bagi para peserta Nyadran Perdamaian dan masyarakat setempat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut untuk saling bertukar informasi dan pengalaman tentang budaya perempuan yang terdapat di daerah masing-masing. Setiap peserta dari daerah yang berbeda sangat antusias menceritakan budaya dan kondisi perempuan di lingkungan mereka masing-masing. Misalnya, peserta Nyadran dari Brebes yang juga merupakan mahasiswa Universitas Negeri Semarang menceritakan bahwa di Brebes ada juga kegiatan Nyadran yang dilakukan di pemakaman dan Nyadran yang dilakukan dengan mengunjungi sanak saudara ketika perayaan hari raya Idul Fitri. Nyadran yang dilakukan di pemakaman hanya nyekar dan tidak ada kegiatan makan bersama dan juga tidak ada sesaji yang disediakan. Di Brebes juga terdapat keseniaan yang disebut Sintren. Sintren hanya bisa dilakukan oleh perempuan yang masih perawan.

 Atasilani yang merupakan salah satu peserta Nyadran Perdamaian dari Banyuwangi juga turut bercerita bahwa di Banyuwangi terdapat tradisi yang cukup banyak, ada Gandrung dan Seblang. Gandrung itu adalah sebuah tarian yang dulunya dijalankan oleh laki-laki, namun kini tarian ini dijalankan oleh perempuan. Sedangkan tarian Seblang hanya boleh dilakukan oleh perempuan yang belum memasuki siklus haid yang melambangkan kesucian dan keselamatan.

Kegiatan Nyadran Perdamaian pada tahun 2020 mampu menciptakan perubahan pada jumlah partisipasi perempuan dalam kegiatan puncak Nyadran. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan puncak Nyadran Perdamaian pada tahun 2020 membuat perempuan merasa lebih percaya diri karena bisa terlibat langsung dalam upacara ritual Nyadran. Selesai melakukan upacara ritual, perempuan bisa menjalin interaksi dengan para tamu, peserta, dan tetangga yang ikut dalam kegiatan Nyadran. Kegiatan Nyadran Perdamaian ini juga menghasilkan tanggapan positif dari perempuan-perempuan di Dusun Gletuk dan Dusun Krecek karena mereka bisa menjalin relasi dengan para peserta yang mengikuti Nyadran dan mendapatkan pengalaman unik karena dalam kegiatan Nyadran Perdamaian ini mendorong perempuan untuk bisa terlibat langsung dalam kegiatan puncak acara Nyadran di pemakaman.

“Masyarakat cukup antusias. Jadi, ibu-ibu banyak yang ikut kemarin Nyadran yang terakhir yang bisa dilaksanakan bersama itu, banyak setiap keluarga itu pasti ada perempuan yang ikut gitu ke sana. Jadi dan mereka merasakan wah jadi menyenangkan ikut gitu kan. Jadi, kemudian mereka juga mendapatkan pengalaman lebih apa yah berinteraksi gitu kan. Disana juga mereka kan menjalin interaksi gitu dengan tamu, dengan saudara, dengan tetangga gitu kan”.

Sesuai dengan kegiatan live in selama tiga hari yang dirancang oleh panitia, pada tanggal 11 Maret 2020 setiap peserta sangat antusias mengikuti kelas meditasi. Mey Lusi Wiwik Marhaeni yang merupakan salah satu peserta Nyadran dari Universitas Negeri Semarang menyebutkan bahwa kelas meditasi ini sangat menarik, meskipun susah untuk fokus pada objek dan ada banyak sekali mantra yang harus diingat dan dipelajari. Sedangkan, dalam kelas tarian jaran kepang, kelas karawitan dan kelas sesaji bertujuan untuk memperkenalkan kepada setiap peserta tentang tradisi/budaya masyarakat setempat yang harus dijaga dan dipelihara oleh generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. 

Kegiatan Nyadran perdamaian ini berhasil memberikan manfaat dan menciptakan perubahan positif bagi masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk, khususnya bagi perempuan dan ibu-ibu dalam meningkatkan rasa percaya diri mereka. Selain itu, kegiatan ini memberikan pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran bagi setiap peserta yang mengikuti Nyadran Perdamaian untuk selalu menerapkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan selalu menjunjung budaya dan rasa toleransi serta saling menghargai dalam sebuah perbedaan.

Dusun Krecek dan Dusun Gletuk telah mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada setiap peserta yang telah mengikuti Kegiatan Nyadran Perdamaian dan sebagai cerminan bagi anak-anak muda untuk tetap merawat tradisi dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Harapannya, kegiatan Nyadran Perdamain ini mampu mempromosikan nilai-nilai tersebut kepada khalayak umum, terutama anak-anak muda di Indonesia agar mampu menginspirasi mereka dan tetap merawat tradisi dan budaya di daerah masing-masing. 

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments