Judul buku : Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan
Penulis : Ester Lianawati
Tahun terbit : 2021
Penerbit : EA Group
Membaca tulisan Ester Lianawati, rasanya seperti diajak untuk berefleksi dan merenung lebih ke dalam untuk memaknai diri sebagai perempuan. Benar kenyatannya bahwa, budaya patriarki masih mengakar dalam masyarakat, bakan tanpa kita sadari ada dalam diri. Saya masih ingat betul ketika membaca buku Ester yang lain dengan judul, “Akhir Pejantanan Dunia”.
Buku yang terbit setelah buku bersampul ungu ini, menyajikan banyak sekali kegelisahan penulis terhadap kehidupan perempuan di tengah budaya patriarki. Ester menyinggung tentang perempuan yang juga menjadi aktor dari pelanggengan budaya patriarki. Namun hal itu bisa diubah dengan upaya yang dilakukan oleh perempuan sendiri untuk keluar dari lingkaran setan tersebut.
Berbeda dengan buku tersebut, pada buku ini Ester mencoba untuk mendobrak budaya patriarki yang masih mengakar dan melihat lebih dalam bagaimana menjadi sosok perempuan yang seutuhnya. Melalui buku ini, Ester membuka dengan permasalahan klasik yang kita temui tentang kehidupan perempuan yakni pembahasan otak dan determinasi biologis.
Ungkapan bahwa laki-laki adalah makhluk logis sedangkan perempuan mementingkan perasaan dibahas oleh Ester dengan kacamata yang berbeda. Menurutnya, ada banyak faktor yang memicu hal ini seperti sosio kultural, bagaimana seseorang dibesarkan hingga sosial ekonomi. Pada dasarnya, otak manusia bisa dikatakan gender-neutral. Ia juga merupakan organ dinamis yang akan terus berevolusi sepanjang hidup.
Mengibaratkan dengan serigala betina, rasanya kita seperti diajak untuk melihat serigala yang cukup bringas, liar ataupun sangat angkuh. Namun bukan itu sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Ester. Akan tetapi, mengutip yang disampaikan oleh Clarissa dalam buku tersebut.
”Ada kesamaan antara perempuan dengan serigala betina. Keduanya sama-sama memiliki indra yang tajam, intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, keberanian, kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi, serta kekuatan, dan daya tahan. Sayangnya, naluri dari serigala itu selama ini ditekan oleh nilai dan sistem yang ada di masyarakat. Sekian lama budaya patriarki berupaya menjinakkan perempuan. Perempuan hidup dalam ketakutan untuk bertindak dan mengambil keputusan (halaman 115).
Tidak heran dalam istilah “perempuan liar” identik dengan makna negatif yang seharusnya tidak boleh dimiliki oleh perempuan. Padahal menurut Ester, perempuan harus menjadi liar untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman dan berbagai pelajaran hidup yang sangat penting sehingga bisa mandiri, berdikari dan tidak bergantung kepada orang lain. namun, budaya patriarki tidak menghendaki perempuan memiliki sikap liar dalam dirinya.
Menjadi seorang perempuan rasanya harus berupaya keras supaya mampu menghadapi persoalan yang pelik. Segala keputusan yang diambil oleh perempuan, masih didikter oleh masyarakat. urusan kehidupan seperti menikah, pendidikan dan melakukan berbagai aktivitas publik, nyatanya masih harus diurus oleh masyarakat yang masih memiliki unsur patriarki yang sangat kental. Maka boro-boro menjalani hidup dengan tenang, perempuan akan terus dihantui oleh tekanan, dilema dalam setiap pilihan yang diambil.
Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak kemudian menjadikan perempuan sebagai sosok yang pasrah dan menerima segala nasib. Di dalam diri perempuan terdapat kekuasan luar biasa. Perempuan bisa menghadirkan sosok serigala betina dalam dirinya sehingga menjadi sosom perempuan yang kuat, berdaya dan bahagia dengan caranya sendiri. Pada bagian akhir, ia juga menyuguhkan tentang budaya patriarki yang melahirkan istilah “perempuan penyihir”.
Istilah ini disematkan kepada perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar normalitas masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa, masyarakat membentuk sosok perempuan dengan sedemikian rupa. Standar norma dan etika yang harus dimiliki oleh laki-laki sangat berbeda dengan perempuan. Jika perempuan tidak mampu memenuhi standar yang sudah disepakati oleh masyarakat, maka ia akan dianggap perempuan tidak baik.
Pada kenyatannya, kita bisa melihat bagaimana perempuan yang hidup tanpa menikah, memilih tidak punya anak, pasti akan dikucilkan oleh perempuan. Ketidakhadiran masyarakat bagi perempuan yang dianggap tidak memenuhi standart tersebut, menjadikan perempuan hidup dalam kebimbangan yang sangat besar. Didikte oleh masyarakat, adat dan budaya yang selalu memenjarakan perempuan.
Pada bagian akhir, penulis membahas tentang kekerasan yang dialami oleh perempuan. Kisah-kisah yang ditampilkan, semakin memperkaya sebuah masalah struktural yang dialami oleh perempuan. Buku ini kaya akan pengetahuan dan perspektif sehingga membuat pembaca merasakan sebuah atmosfer pengalaman membaca yang berefleksi ke dalam dirinya sebagai perempuan.