30 September lalu, penikmat film Korea kembali dimanjakan dengan rilis film baru dari aktor kenamaan Hyun Bin yang berjudul “Confidential Assignment 2: International”. Dalam film ini, suami dari Son Ye-Jin tersebut memerankan tokoh Im Chul-ryung, seorang detektif Korea Utara yang ditugaskan ke Korea Selatan untuk memburu penjahat kelas kakap dari Korut yang bernama Jang Myung-joon (diperankan oleh Jin Sun-kyu).
Tak hanya menawarkan performa menawan dari aktor dan aktrisnya, karya Lee yang bertema kriminalitas ini juga sarat dengan isu-isu sosial politik antara 3 negara: Korea Utara, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Meski ditampilkan melalui dialog-dialog ringan dan terkadang penuh canda, namun inti pesan yang ingin disampaikan sutradara justru terpampang nyata. Bahkan misi besar perdamaian tersebut dapat ditampilkan secara rileks, termasuk melalui adegan romansa malu-malu kucing antara Chul-ryung dan Park Min-young (diperankan oleh Im Yoona).
Satu poin keunggulan lainnya adalah karakter perempuan yang diperankan Yoona tidak hanya menjadi cameo semata. Dalam penangkapan gembong narkoba misalnya, ia membantu geng polisi untuk mengalihkan perhatian dan selanjutnya turut membantu menghajar pengawal kepala penjahat kelas kakap tersebut. Hal ini membuktikan bahwa agensi perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan berbagai aspek film yang dikelola secara maksimal tadi, amatlah pantas jika “Confidential Assignment 2: International” didapuk sebagai film pembuka pada upacara pembukaan Korea Indonesia Film Festival yang diselenggarakan di CGV Grand Indonesia pada bulan sembilan kemarin. Bukan hanya membawa pesan bahwa kolaborasi internasional akan lebih efektif dalam memberantas kejahatan global, tapi juga memperlihatkan bahwa perempuan pun dapat berkontribusi dalam penuntasan kasus kriminalitas skala besar.
Terlebih, dalam sejumlah adegan Yoona bukan sekadar menjadi pemain cadangan semata. Ia menunjukkan peran penting dalam membantu aktor-aktor utama melawan penjahat kakap. Meski dalam film, ia memerankan beauty vlogger, namun karakter kuatnya yang lihai dan cerdik membuat para aktor lain menemukan titik cerah dalam penyelesaian kasus. Penampilan Yoona tadi seakan menjadi anti-tesis pemeran wanita dalam dunia perfilman Asia yang cenderung hanya pemanis semata.
Karakter Yoona sendiri dapat dikatakan sebagai pendobrak tradisi film-film Asia yang mempunyai kultur patriarki cukup kuat. Apalagi kultur perfilman Asia selama ini menempatkan perempuan sebagai pelengkap aktor laki-laki. Dalam film tentang perempuan pun, titik kebahagian perempuan selalu diidentikkan dengan keluarga dan pernikahan.
Jarang sekali ditampilkan perempuan berdaya dengan berbagai pilihan hidup yang ia pilih. Bahkan, dalam banyak genre horor, salah satu genre laris di Asia, perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang menakut-nakuti dan penuh rasa dendam. Tak ayal, mayoritas perempuan dalam film Asia hanya mengisi dua spektrum ekstrem: antara lemah tak punya kuasa atau seram dan menakutkan.
Urgensi Peran Perempuan dalam Dunia Sinema
Padahal, sinema-sinema seperti ini lah yang kerap menghiasi hiburan masyarakat. Efek dominonya kemudian adalah perspektif patriarki masih terekam kuat dalam benak komunitas kita. Sebab, masyarakat masih kerap merefleksikan apa yang mereka lihat dalam film dengan realita kehidupan yang mereka jalani.
Oleh sebab itu, karakter seperti Yoona perlu kian dikembangkan. Sebab, inilah cara yang tepat untuk melawan bias gender dalam dunia sinema. Seperti yang diungkapkan oleh April Seifert, peneliti sekaligus psikoterapis kognitif sosial, “The more strong women we see in films and other places, the more our brains will start to automatically associate ‘strength’ as a feminine trait, and as a result, the more women will be treated as strong, equal members of society.”
April menegaskan bahwa peran kuat tokoh perempuan dalam film ternyata berdampak besar ke otak. Ketika melihat semakin banyak perempuan yang berdaya di lingkungan sekitar kita, secara tidak sadar otak menangkap image positif tersebut dan mulai mempengaruhi cara berpikir ke depannya.
Sejalan dengan April, Kelly Faust McCann terapis keluarga yang fokus pada isu-isu perempuan juga mengamini hal yang sama. Ia menceritakan bahwa anak-anak kliennya yang terbiasa melihat role model perempuan, cenderung memiliki sudut pandang relasi gender positif dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dikelilingi dengan image perempuan berdaya. Temuan April dan Kelly tadi sekaligus mengkonfirmasi bahwa memberdayakan perempuan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satunya bisa melalui pemberdayaan sinema. Dengan kata lain, film yang diperlihatkan kepada anak-anak sekarang sebenarnya berkontribusi membentuk masa depan. Semakin luas representasi perempuan dalam sinema, semakin besar peluang kita untuk dapat memastikan pria dan wanita digambarkan secara setara.