Saya memberi nama brand Morisdiak, yang diambil dari bahasa Tetun (Timor) “moris” artinya hidup dan “diak” artinya baik, sehingga kurang lebih maknanya hidup baik. Ini jadi penyemangat dan tujuan, agar semua yang terlibat di dalamnya bisa mengarah ke sebuah kehidupan yang lebih baik.
Sekitar sepuluh tahun lalu Mila Mariana Wulandari, perempuan di belakang produk MorisDiak, yang kini beralih menjadi guru di Betun, Malaka, Nusa Tenggara Timur, mengalami tantangan yang cukup berat. Dia harus berhenti bekerja, karena mengurus kedua anak perempuannya yang balita, bersamaan dengan kondisi ibu kandungnya yang stroke.
Perempuan kelahiran Cilacap itu menyelesaikan pendidikan guru di Universitas Sanata Dharma, dan setelah lulus sempat mempunyai pengalaman tinggal dan mempelajari budaya NTT ketika bertugas di NGO Save the Children di Atambua.
Perjalanan ke Timur Indonesia itu bahkan membawanya ke jenjang pernikahan dengan warga setempat. Sayang, kenyataan tak berpihak kepada Mila untuk membangun keluarga dan menetap di timur Indonesia tersebut.
Tahun 2010, kedukaan datang beruntun. Ayahanda yang berpulang dan ibu terkena serangan stroke, Mila mau tak mau kembali ke tanah kelahiran. Setahun kemudian dengan kedua putrinya, barulah dia merantau ke Yogyakarta, terutama untuk perawatan sulungnya yang terkena serangan cmv (cytomegalovirus dan cerebral atrophy).
Kedua putri kecilnya ketika itu yang membawa perjalanannya kenal dan masuk dalam pendidikan di Sanggar Anak Alam Yogyakarta. Pengalaman bersentuhan dengan model pendidikan di pkbm (pusat kegiatan belajar mengajar) di tengah sawah itu juga yang akhirnya membawanya untuk berproses dengan seorang remaja berkebutuhan khusus bernama Arsa.
Momennya bisa sangat bertepatan dengan kondisi mental perempuan jelang 40 tahun itu yang terpuruk mengingat kedua putrinya yang masih duduk di sekolah dasar dan paud malah memutuskan ikut ayahnya pulang ke Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Awalnya dia merasa ragu-ragu apakah mampu mengampu Arsa. Karena tidak berlatar psikologi, dia juga bukan terapis. Kondisi individu autis pun hanya dia ketahui istilahnya saja. Namun, ketika berproses, perlahan-lahan Mila menjadi paham.
“Kadang tidak butuh banyak kata untuk memahami teman autis, tapi memang butuh kepekaan tersendiri untuk mengerti pola yang mereka sampaikan sekaligus mengenali kecerdasan yang mereka miliki. Mendampingi Arsa di kelas craft adalah voluntary work yang saya lakukan di Sanggar Anak Alam Jogja, karena menurut saya hidup itu perlu keseimbangan dan #sewingwitharsa memberikan energi positif dan terus memacu kreativitas saya dalam bermain craft.”
Pengalaman mendampingi siswa berkebutuhan khusus ini seolah mengobati keterpurukannya akan masalah hidup, dan tentu saja kerinduannya kepada anak-anak.
“Mendampingi Arsa tidak sekadar persoalan menyalurkan hobi atau waktu. Ini sekaligus terapi atau self healing yang sangat berarti untuk keberlanjutan MorisDiak, dan ternyata pertemuan kami saling memberikan energi dan mendorong satu sama lain dalam berkarya.”
Ketika salah satu proyek kolaborasi Arsa dengan MorisDiak mampu ditampilkan pada pameran Spekix Expo 2019 (pameran karya anak-anak spesial khususnya autis), Mila sangat senang sekali. “Tidak ada yang lebih membahagiakan, ketika melihat mereka yang berproses bersama kita, terus mengalami kemajuan dan terus bertumbuh.”
Hidup baik yang menjadi jargon produk MorisDiak yang ditunjukkannya saat berkolaborasi dengan Arsa, awalnya bukan sekadar keperluan akan pemasukan ekonomi keluarga. Mila mengakui, dia membutuhkan ruang untuk bisa mengekspresikan pemikiran, ide, terutama sebagai upaya menjaga kewarasan di tengah permasalahan hidup yang pelik saat itu.
Ditambah lagi ketika berjualan online, menjadi reseller pakaian batik, dll; seringkali muncul permintaan dari customer untuk custom design. Mila merasa tertantang dengan kondisi itu, apalagi pengetahuan, ketrampilan dan modalnya belum memadai.
Akhirnya dia mengawali dengan kerajinan yang dapat dikerjakan sendiri, dengan modal yang lebih terjangkau, dan bahan yang sudah dimilikinya (perca atau tenun). Barulah kemudian dia menyulam dan menjahit pouch, slingbag, totebag sendiri melalui jahit tangan.
Kolaboratif?
Ketika pelanggan mulai bertambah, Mila memutuskan untuk memakai tenun. Karena melihat kesamaan nilai yang ditangkapnya, yaitu pemberdayaan dan kerjasama lintas aktor, bahkan lintas budaya. Ibu dua putri ini merajut benang merah untuk produk/brand yang dibangunnya, dengan menggunakan kekhasan bahan-bahan kain tenun tangan karya mama-mama di NTT sekaligus juga melibatkan ibu-ibu rumah tangga di Yogyakarta sebagai pekerja produksinya.
Tantangan pun bertambah. Memiliki partner produksi yang sejalan ternyata bukan hal yang mudah, terutama ketika harus bertahan di tengah pemain craft yang berkapital besar. Ibu Tilah, salah satu rekan kerja Mila adalah penjahit rumahan di Yogya yang ikut membangun MorisDiak.
Keuntungannya berkolaborasi dengan ibu-ibu yang sejatinya ibu rumah tangga, adalah dengan produksi rumahan, keterbatasan modal dan tuntutan costum design dari konsumen bisa dipenuhi, setara dengan keleluasaan penjahit seperti Bu Tilah mengatur waktu kerja dan aktivitas sehari-hari sebagai ibu.
Mila percaya, mengembangkan craft bisa menjadi sarana bagi perempuan untuk mendukung diri sendiri dan menjadi mandiri. Baik pelestarian tenun Mama-mama pengrajin tenun di NTT, maupun pemberdayaan ibu Tilah-ibu Tilah lainnya di Yogyakarta.
Para penjahit rumahan ini, ada yang tulang punggung keluarga, ibu tunggal, termasuk siswi sekolah yang bekerja paruh waktu. Meski tak semuanya punya visi dan misi besar dalam dunia craft, tetapi kolaborasi yang awalnya pemberdayaan itu malah membangun sebuah support system. Yang mendukung budaya kebersamaan dan upaya resiliensi sebagai sesama perempuan, baik di Yogya maupun Timor sana.
“Jangan berdiri sendiri, beramai-ramai dan warna warni lebih seru,” tukas Mila di sebuah postingan produk MorisDiak. Bukankah warna warni jalinan benang tenun pun menggambarkan semangat kolaborasi tersebut?