Judul buku: Merusak Bumi dari Meja Makan
Penulis: M. Faizi
ISBN: 978-602- 0708-58-4
tbl/thn:140 hal;2020.
Membaca buku M. Faizi, seperti kembali pada ingatan kedaerahan yang dibawa oleh penulis. Sebagai penulis Madura, dan juga pengasuh Pondok Pesantren Annuqayyah, Sumenep, Madura, tulisannya selalu khas dengan menyinggung tradisi ataupun budaya Madura sebagai bumi tempat penulis lahir. Dalam buku ini, ada beberapa penggalan kalimat bahasa Madura yang disampaikan.
“Ma’ lako a buteran ba’an cong, jeria buterah nangis.”
“Kaemmah ma’ sobung, ma’ ta’ e keding?” “Iye tak e keding jeria, jeria aslina nangis”
“Arapa ma’ nangis?” (Kok makannya nasi jatuh-jatuh begitu. Itu nasinya nangis.” “Mana nangisnya, tak kedengaran.” “Iya, tak kedengaran, itu aslinya nangis.” “Mengapa kok nangis?” ) “Mbah tidak jawab, pokoknya nangis,” tulis M Faizi mengenang masa kecil kala si
mbah menegurnya ketika makan nasi berjatuhan dari piring.
Kalimat biasa dilontarkan oleh orang tua kita pada saat kecil, hari ini bisa dimaknai sangat luas. Sebab sebelum menjadi nasi, ada banyak proses yang dijalani, mulai dari usaha petani, mulai dari menanam padi, proses berbulan-bulan, menjadi gabah, kemudian beras, lalu bisa menjadi nasi. Buku ini ditulis dengan banyak sudut pandang dengan bentuk esai popular yang sangat mudah untuk dipahami.
Kekhawatiran penulis sebagai pengasuh pondok pesantren, dimana tempat tersebut adalah tempat para santri, yang menjadi salah satu tempat produsen sampah yang cukup besar, menjadikan tulisan ini sebagai salah satu refleksi bagi pembaca untuk melihat lebih dalam, arti bumi untuk kehidupan manusia. Pada tulisan ini, juga disajikan beberapa upaya yang dilakukan penulis di pesantren untuk meminimalisir agar produksi sampah tidak banyak di
pesantren.
Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, penulis juga seorang budayawan. Tidak heran, dalam tulisannya ini, ia menyoroti tentang tradisi Seddekah ser, atau sedekah rahasia yang dilakukan oleh masyarakat Madura di daerahnya. Tradisi ini diwujudkan dalam perilaku masyarakat yang meletakkan diam-diam makanan di jalanan umum atau di simpang empat. Makanan tersebut biasanya dibungkus besek atau di atas nampan (hal.84).
Dalam pelaksanakaan sedekah ser, perempuan Madura memiliki peran sentral untuk menyiapkan segala bentuk makanan yang akan diberikan kepada orang lain ataupun tetangga sekitar. Dengan tugas domestik yang cukup besar yang dilekatkan kepada para perempuan, kesadaran untuk mengurangi makanan yang terbungkus plastik, menjadi modal dasar yang harus dimiliki oleh perempuan untuk ikut andil dalam mengkampanyekan kehidupan tanpa plastik.
Artinya, dalam konteks ini, perempuan diartikan sebagai makhluk yang sangat dekat dengan alam. Perempuan sangat dekat sekali dengan alam yang terdiri dari air hingga
kebutuhan lingkungan yang bersih. Kisah kedekatan perempuan dengan alam, bisa dilihat dari kisah perempuan di Bukirna Faso, sebuah pedesaan di Afrika yang menderita kekeringan, para perempuan ibu rumah tangga berusaha keras mencari air, namun para suami mereka malas-malasan.
Para ibu rumah tangga ini bergabung sedikit demi sedikit sampai akhirnya satu desa bergabung. Sambil bernyanyi mereka mulai menggali tanah makin lama makin lebar dan dalam. Pekerjaan itu dilakukan berbulan-bulan sambil bernyanyi dan bersendau gurau berharap pekerjaan mereka cepat selesai dan segera menjadi danau (kubangan)
tempat menampung air jika musim hujan tiba. Para laki-laki menganggap pekerjaan mereka akan sia-sia dan seperti “orang gila”, tetapi para ibu rumah tangga itu tak peduli.
Mereka terus menggali dan menggali sampai akhirnya terbentuk sebuah kubangan besar dan cukup dalam. Ketika mulai turun musim hujan meski belum cukup deras kubangan itu mulai ada airnya atau dapat menampung air hujan. Makin lama makin banyak air hujan yang tertampung dan mulailah para penduduk desa memanfaatkan air dari kubangan tersebut. Barulah para laki-laki sadar dan memperbaiki kubangan yang sudah cukup banyak dapat menampung air hujan disempurnakan.
Kedekatan perempuan dengan alam berdasarkan kisah di atas, semakin meneguhkan peran perempuan dalam menjaga bumi. Uniknya, meskipun penulis merupakan pengasuh pondok pesantren yang memiliki pengetahuan agama sangat baik, tulisan ini tidaklah berisi tentang kajian- kajian Islam tentang lingkungan hidup yang harus dimiliki oleh manusia sehingga terkesan menceramahi. Tulisan ini, pada setiap esai yang disajikan, berisi sebuah refleksi, telaah kita sebagai manusia, makhluk yang memanfaatkan bumi sebagai
tempat tinggal.
Seperti halnya dalam sebuah hajatan. Penulis membandingkan antara hajatan di masa silam dengan masa sekarang. Penggunaan tisu, air kemasan,ataupun roti kemasan, menjadi salah satu fakta yang cukup menarik dikaji oleh penulis. Penggunaan barang tersebut nyatanya berbeda dengan masa silam yang menggunakan lap/sapu tangan, gelas, ataupun roti buatan yang tidak dibungkus oleh plastik. Paparan itu adalah fenomena yang sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai manusia.
Perilaku yang sangat berbeda antara masa silam dan masa sekarang, membuat produksi sampah semakin besar. Buktinya, berdasarkan data dari The Economist Intelligence tercatat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah makanan (food loss and waste) terbesar di dunia, selain Arab Saudi dan Amerika Serikat. Hal sederhana yang kita lakukan, dan luput dari pandangan bahwa, makanan yang kita makan jangan sampai makanan berlebihan, membuang makanan, dll.
Buku ini sebenarnya adalah tamparan keras kepada pembaca, selaku manusia modern, untuk lebih jeli dan lebih peka melihat kebutuhan diri sendiri. Kalau kita memaknai Makan sebagai kebutuhan utama bagi manusia. bisakah kita makan dengan secukupnya tanpa berlebihan, sehingga kita tidak menciptakan sampah. Berapa banyak warung makan yang menyediakan refill makan bagi pelanggan, all you can eat yang membuat pelanggan mengambil makanan sebanyak mungkin, sehingga menciptakan sisa makanan yang cukup banyak.
Bagi penulis, makanan itu adalah sampah yang direncanakan. Kerakusan manusia yang dimiliki oleh masing-masing individu, menjadikan bumi sebagai tempat sampah paling besar. Kalau bumi itu rusak, yang merusak adalah kita sendiri. Wujud sederhana dari pelaku perusakan itu melalui meja makan, sampah makanan yang kita ciptakan sehari-hari.
Apabila banyak sampah plastik diproduksi, akan berpengaruh terhadap keberlangsungan alam. Maka dari itu, perempuan juga harus memiliki kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan ataupun menumpuk sampah, dll. Dengan demikian, perempuan memiliki peran cukup pokok dalam mengawal kehidupan untuk melindungi bumi dari sampah plastik mengacu kepada tanggung jawab sebagai makhluk yang tinggal di bumi.