Menurut penuturan Ummi Annisa, atas dasar praduga dan dengan dalih keamanan, para tentara dan polisi juga tak segan membunuh masyarakat sipil yang dicurigai membantu pasukan GAM. Dan yang lebih parah lagi, para perempuan dijadikan tawanan dan harus mengalami pelecehan hingga kekerasan seksual. Para pelaku kekerasan seksual tersebut pada akhirnya memang menerima hukuman. Pada bulan July 2003, Pengadilan Militer Lhoksumawe Aceh Utara menjatuhkan vonis 2,5 hingga 3,5 tahun terhadap TNI yang melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Namun vonis tersebut jauh lebih ringan dibanding beban yang harus ditanggung oleh korban.
Ummi Anisa merasa bahwa hukuman yang diterima para pelaku tidak memikirkan dampak psikis, fisik, dan trauma yang timbul setelah perkosaan itu terjadi. 2,5 hingga 3,5 tahun, setelah para pelaku selesei menjalankan hukuamnnya, dampak dari perkosaan yang dilakukan belum selesei. Trauma yang dialami anak-anak dan perempuan baik yang mengalami perkosaan ataupun yang menjadi buah hati dari tindakan keji tersebut akan terus ada.
Hukuman yang ringan tersebut juga tidak akan menimbukan efek jera bagi pelakunya. Negara terkesan abai dan tidak memperhatikan dampak lain yang ditimbulkan. Bahkan tak sedikit pelaku yang masih bisa meneruskan jabatannya di mililer dan kepolisian. Mereka hanya dipindahtugaskan dan masih bisa menikmati fasilitas dari negara. Padahal anak hasil perkosaan yang dilakukan dibiarkan dan tidak dihidupi secara layak.
Dalam kasus seperti ini tetap perempuan korban perkosaan yang harus menerima konsekwesi atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Lantas seperti apa sebenarnya hukuman yang layak didapatkan oleh pelaku perkosaan maupun kekerasan seksual di wilayah konflik?
Pemerkosa dan pelaku kekerasan seksual saat konflik harus mendapat sanksi lebih berat
Berdasarkan Statuta Roma, perkosaan dan bentuk kekerasan lainnya di wilayah konflik merupakan bagian dari kejahatan perang. Oleh karena itu, kejahatan perang masuk dalam kategori pelanggaran berat (grave breach). Perkosaan adalah kejahatan terhadap kehormatan manusia, dan serangan terhadap martabat perempuan, bukan hanya sekedar kekerasan. Oleh karena itu, putusan pengadilan terhadap kejahatan perkosaan dan pelaku kekerasan seksual di wilayah konflik seyogyanya memperhatikan kerugian fisik, psikologis, psikis, terutama bagi korban dan juga dampak trauma yang dialami oleh masyarakat sipil lainnya.
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam UU No 26 tahun 2000. Aturan tersebut berisi tentang wewenang negara dalam mengadili kasus kejahatan genosida dan kemanusiaan. Tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang perkosaan dan kekerasan seksual di wilayah konflik. Perkosaan dan kekerasan seksual di wilayah konflik baru bisa diadili jika pengadilan memasukkan kejahatan tersebut sebagai bagian dari kejahatan kemanusiaan ataupun genosida dan unsur-unsur kejahatan terpenuhi. Unsur tersebut antara lain serangan yang meluas atau sistemik dan ditujukan terhadap masyarakat sipil.
Unsur-unsur kejahatan tersebut ditentukan oleh Komnas HAM. Komnas HAM diberi wewenang oleh pengadilan untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM berat dalam kasus perkosaan maupun kekerasan seksual di wilayah konflik. Maka dibentuklah tim penyelidik yang bersifat ad hoc dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Bagaimanapun, perkosaan dan kekerasan seksual di wilayah konflik adalah sebuah kejahatan sistemik yang memiliki pola berulang. Maka kuat dugaan, perkosaan dan kekerasan seksual di wilayah konflik masuk dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Ada banyak catatan yang harus diperhatikan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus perkosaan dan kekerasan seksual di wilayah konflik. Terutama saat mendengarkan kesaksian korban, para penyidik harus berada di pihak korban dan tidak menghakimi apalagi mencari pembenaran dengan menyalahkan sikap, pakaian, maupun atribut yang digunakan korban. Karena keberanian korban sebagaimana pengalaman Ummi Anisa saat mendampingi korban cukup jelas. Ada banyak ketakutan yang dialami oleh korban hingga sampai ke titik mereka berani mengungkapkan kejahatan yang dialaminya.
Jangan sampai, keberanian korban dalam memberikan kesaksian kepada tim penyelidik justru akan menampah traumatis dalam diri korban, dan melanggengkan kejahatan seksual pelaku di wilayah konflik di wilayah lainnya.