Jika melihat dinamika konflik dari tahun ke tahun, salah satu dampak negatif dari situasi buruk tersebut bisa memunculkan beragam kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan. Tindakan yang dilakukan bahkan memiliki banyak metode, beberapa di antaranya adalah pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual dan pernikahan paksa. Perempuan dan anak perempuan terutama berpotensi besar menjadi sasaran penggunaan kekerasan seksual yang diterapkan sebagai taktik perang.
Yang miris, bila konflik sudah usai, lingkaran kekerasan ternyata tak akan putus begitu saja. Merujuk data dari PBB, kekerasan berbasis gender juga melonjak di masyarakat pasca-konflik, karena rusaknya supremasi hukum, tersedianya senjata ringan, hancurnya struktur sosial dan keluarga hingga “normalisasi” kekerasan berbasis gender sebagai tambahan unsur diskriminasi yang sudah ada sebelumnya. Gambaran kondisi ini tergambar nyata di beberapa wilayah, termasuk Afghanistan.
Di sana, fenomena pasca konflik bahkan mengarah pada perdagangan manusia berkedok perkawinan anak dan penjualan organ tubuh. Praktik merisaukan ini sulit dihentikan karena runtuhnya struktur politik, ekonomi dan sosial, tingkat kekerasan yang tinggi, hingga tindakan militerisme yang terus dipertahankan. Namun, di satu sisi kondisi tadi justru membuka peluang beberapa tokoh perempuan untuk tergerak membantu sesama mereka.
Kisah-kisah para pahlawan ini menyiratkan bahwa meski mayoritas dari mereka menjadi korban kekerasan, namun di saat yang sama perempuan bisa menampilkan wajah lain sebagai agen perdamaian. Tak hanya aktivis saja yang mendorong arah perubahan yang lebih baik, tapi di lapangan semua golongan perempuan bahu membahu untuk melakukan upaya perdamaian, rekonsiliasi, serta penyebaran toleransi dan pluralisme di masyarakat.
Dulu, waktu kekerasan Ambon atau Maluku secara umum meletus, sejumlah aktivis, praktisi, akademisi, atau tokoh agama perempuan juga terlibat aktif dalam aksi-aksi rekonsiliasi dan upaya mewujudkan perdamaian, baik dilakukan secara formal maupun informal. Bahkan dari mereka juga ada beberapa (Sr. Brigitta Renyaan atau Pdt. Etha Hendriks) yang ikut menandatangani Perjanjian Damai Malino II yang difasilitasi (dimediasi) oleh pemerintah.
Peran tokoh agama yang esensial dalam berbagai cara menekan dampak negatif konflik perlu kita apresiasi bersama. Sebab, teladan dan contoh baik tersebut akan menginspirasi jejaring kebaikan lainnya. Gerakan perempuan berbasis relijiusitas juga nampaknya sangat lekat dengan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai agama yang tujuan finalnya memberikan kedamaian universal dapat ditangkap warga dengan baik.
Selain di Maluku, usaha perdamaian melalui kelompok serta tokoh agama juga diinisiasi oleh Lian Gogali, di Poso (Sulawesi). Ia mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak korban kekerasan komunal Kristen-muslim. Ia mengorganisasi kaum perempuan di 80 desa di Poso yang terkena dampak kekerasan sektarian agar aktif membangun perdamaian dan toleransi melalui pendidikan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ruby Kholifah, Direktur AMAN (Asian Muslim Action Networks) Indonesia yang memprakarsai pendirian sekolah-sekolah perempuan di berbagai daerah dengan melibatkan atau menggerakkan komunitas ibu-ibu lintas iman sebagai pilar utamanya. Di tingkat global, pola yang sama juga diaplikasikan oleh para perempuan lokal di Liberia. Mereka menjembatani etnis dan perbedaan agama untuk mendorong terwujudnya situasi yang lebih damai usai perang saudara.
Ketika pertikaian mereda, sebagian dari mereka mendirikan Inisiatif Wanita Liberia (LWI) yang dikembangkan pada tahun 1994. Ruth Perry, seorang pendiri LWI, mengatakan pada saat organisasi didirikan, “cukup sudah (konflik ini). Kami lelah bersembunyi di semak-semak, makan rumput, dan mengubur mayat hampir setiap hari.” Mendengar orasi Ruth, banyak warga menyetujui apa yang ia sampaikan.
Namun ada juga yang awalnya enggan untuk bergabung karena segalanya berisiko dan tidak pasti. Apalagi, tidak semua dari mereka sudah berhasil mengatasi ketakutan dan trauma. Anggota lain, Mary Brownell, mengenang, “beberapa dari kami tidak yakin kami akan berhasil karena panglima perang pada saat itu melawan kami dengan senjata mereka dan kami tidak punya apa-apa. . . jadi saya hanya mengajak mereka semua untuk pasrah dan menguatkan diri dengan iman.”
Tindakan mereka pada saat itu sederhana saja: mereka meminta seluruh anggotanya untuk berdoa agar damai dapat segera terwujud, setiap malam pukul sepuluh di rumah masing-masing. Sangat sepele. Tapi, doa mereka nyatanya dikabulkan! Disatukan oleh pengalaman umum penderitaan dan kelelahan perang, wanita Liberia berkumpul untuk menekan faksi-faksi yang bertikai untuk berdamai, dan mengatur, mendemonstrasikan, dan menyumbang berbagai sumber daya untuk dapat menghadiri negosiasi damai di seluruh negeri.
Meskipun mereka sendiri tidak pernah duduk di meja perundingan, langkah awal mereka justru membantu membuka jalan bagi Jaringan Perdamaian Wanita Sungai Mano (MARWOPNET), sebuah gerakan regional dengan jejaring di seluruh Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. Kelompok perempuan akar rumput Liberia lainnya—Liberian Women in Peacebuilding Network (WIPNET)—mengumpulkan perempuan Muslim dan Kristen pada tahun 2003.
Seperti LWI, mereka diluncurkan karena frustrasi. Banyak dari mereka sudah lelah menjalani hari-hari dengan ketakutan dan kemungkinan mati di esok hari. Didasari alasan yang sama, mereka pun bergerak bersama dengan tujuan satu: perdamaian harus terus diupayakan.