Judul buku : Menjadi Feminis Muslim
Penulis : Aida Milasari, dkk
Editor : Nina Nurmila
Tebal : 248 halaman
Penerbit : Afkaruna
Kota Penerbit: Bandung
Tahun Terbit : 2022
Gambaran Umum Buku
Pada bulan Maret lalu, Afkaruna meluncurkan buku baru berjudul “Menjadi Feminis Muslim”. Buku yang memiliki tebal 248 halaman ini ditulis berjamaah oleh figur publik yang telah berpengalaman memperjuangkan, meneliti, hingga mendalami isu-isu gender. Tokoh-tokoh yang berkesempatan untuk menuangkan refleksinya yaitu: Aida Milasari, Ala’i Nadjib, Faqihuddin Abdul Kodir, Husein Muhammad, Maria Ulfa Ansor, Marzuki Wahid, Nina Nurmila, dan Ninik Rahayu.
Dalam buku yang bersampul putih ini, selain menampilkan kisah pergulatan mengenai Islam dan feminisme, pembaca juga disuguhkan quote-quote dari penulis yang mungkin relevan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti pandangan Faqihuddin Abdul Kodir mengenai opini bahwa Islam sebagai agama yang meminggirkan perempuan, “jika ada kebenaran agama yang menistakan perempuan, yang aku curigai adalah ijtihad dan tafsir ulama atas kebenaran tersebut. Hal itu bisa jadi lahir dari dimensi interpretasi yang menafikan perempuan, karena aku yakin bahwa tidak mungkin kebenaran agama menistakan manusia.”
Kelebihan lain dari buku yang diedit oleh Nina Nurmila tersebut adalah font tulisan dan desainnya yang rapi. Dengan pengaturan halaman yang sederhana namun memukau, konsep ini membuat pembaca akan betah berjam-jam membuka satu halaman ke halaman lainnya. Tak hanya itu, di akhir buku juga disediakan referensi dan indeks yang akan lebih memudahkan pembaca untuk menggali lebih lanjut jika berminat untuk melakukan riset lanjutan.
Refleksi Buku
Selain hal teknis tadi, terbitnya buku “Menjadi Feminis Muslim” bisa diibaratkan seperti menemukan oase di padang pasir. Sebab, bacaan tentang pengalaman personal tokoh-tokoh publik mengenai pergulatannya dalam mempelajari dan menginternalisasi nilai-nilai feminisme saya rasa masih sangat terbatas. Oleh karenanya, ketika Afkaruna memutuskan untuk menerbitkan catatan perjalanan sejumlah ulama mengenai pengembaraannya ketika bergelut dengan masalah-masalah gender, hal tersebut perlu diapresiasi tinggi.
Terlebih, isu feminisme dan nilai-nilai Islam kerap kali dianggap berseberangan dan tidak relevan antara satu sama lain. Sehingga membaca pengalaman pribadi 8 orang akademisi cum aktivis ini mampu menggugah perspektif pembaca untuk memikirkan ulang relasi antara dua hal tersebut. Yang menarik, semua kisah personal yang mereka bagi, sangatlah jauh dari kata menggurui. Membacanya membuat saya seperti diajak ngobrol kawan lama tentang seluk beluk kisahnya di masa lalu. Melankolis namun meneguhkan hati.
Apalagi semua penulis terlahir di Indonesia dengan budaya patriarki yang mengakar kuat, sehingga istilah gender dan feminisme sebenarnya bukan hal yang mereka pelajari semenjak kecil. Baru, ketika kuliah atau berjejaring dengan kolega yang memiliki pemahaman gender yang kuat, mereka baru merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa penulis mengakui bahwa perjalanan mereka meyakini similaritas Islam dan feminisme butuh waktu yang lama. Mereka ada yang sempat skeptis dan menolak mentah-mentah ketika mendengarkan istilah “feminisme” untuk pertama kali.
Mereka baru menyadari kompleksitas isu gender ketika dihadapkan semakin banyak problem relasi laki-laki dan perempuan yang kerap kali dihubungkan dengan sudut pandang agama. Dari sana, mereka semakin menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang mendiskriminasi perempuan, justru kebalikannya: Islam merupakan solusi dari diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan. Sayangnya, sebagian besar umat Islam memiliki perspektif keliru dalam menafsirkan agamanya sendiri. Sehingga kemudian hari bukan kebaikan yang timbul, justru keburukan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi.
Oleh sebab itu, dicetaknya buku “Menjadi Feminis Muslim” perlu dirayakan seluas-luasnya. Bagaimana tidak, selain membongkar dua pertanyaan krusial: “siapakah feminis muslim? Dan, mungkinkah seseorang menjadi Muslim sekaligus feminis?”, buku ini juga menghadirkan rujukan tokoh yang bisa menjadi panutan dalam beragama tanpa mendiskriminasi. Mereka bukan hanya mampu memberikan inspirasi lewat tulisan dalam menemukan jati diri lewat pergumulannya dalam isu-isu gender dan agama, tapi mereka juga mampu memperlihatkan tafsir agama alternatif yang ramah perempuan.