Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniMemaknai “Seeing is Believing”

Memaknai “Seeing is Believing”

Ada pepatah lama dalam sebuah bahasa Inggris, “Seeing is believing”. Memandang membuat kita percaya. Bahkan filsuf postmodern seperti Judith Butler yang merumitkan adagium sederhana itu. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai medan visual tidaklah netral terhadap persoalan ras; medan itu sendiri adalah formasi rasial, perlambang, yang hegemonik dan kuat.

Kalimat di atas seperti tamparan kepada saya, ketika mencoba untuk lebih mendalam untuk mengenal diri sendiri. Justru, semakin saya mencoba mendalami tentang diri, memandang diri sendiri lebih dalam, yang tercipta hanyalah sebuah kefanaan untuk terus mempertanyakan diri. Siapa aku sebenarnya? Siapa orang lain dan apa hubungannya dengan saya? Mengapa saya perlu kenal dengan orang yang, sama sekali saya tidak memiliki kepentingan apapun?

Dilematis di atas, mari kita tinggalkan. Sekarang, saya ingin bertanya, pernahkah kita berdiri di depan cermin? Adakah pertanyaan dalam diri tentang siapa diri kita sebenarnya? Mengapa saya tidak terlahir menjadi Kate Middleton yang menjadi sorotan dunia karena kecantikan dan keanggunannya menjadi bagian dari kerajaan Inggris? Atau, pernahkah kita membayangkan diri menjadi Maudy Ayunda yang dipuji oleh netizen se-Indonesia raya karena kepandaian dan menjadi luar biasanya sebagai seorang perempuan? tapi yang dihadapan cermin itu adalah diri kita sendiri.

Perempuan yang tidak memiliki segudang prestasi ataupun kebanggaan diri yang dipuji oleh semua orang. Atau bahkan, jangankan semua orang, orang tua kadang tidak memiliki celah untuk membanggakan diri menjadi sosok yang telah melahirkan kita. Tapi, ini tidak jadi soal. Saya tidak sedang ingin menggugat hak preogratif Tuhan sudah menciptakan saya menjadi perempuan biasa yang dilahirkan oleh orang tua biasa saja. Akan tetapi, ini persoalan bagaimana saya memaknai diri sendiri.

Dari sekiar miliar perempuan yang ada di dunia ini, kita adalah makhluk pemenang yang sudah berhasil menjadi manusia dan berhasil melewasi fase dalam kandungan ibu. Terlahir sebagai pemenang, berarti kita cukup tangguh untuk melakukan menghadapi dunia yang fana ini? Apakah ketangguhan sangat cukup untuk menjadi bekal hidup? Tentu tidak! kita akan mengalami berbagai rintangan hidup yang sangat menakutkan.

Mulai dari standart masyarakat tentang kehidupan, hingga ketenaran yang terus menghantui hingga menuntut kita sama dengan masyarakat. Pada hakikatnya, kita akan menyadari betapa pentingnya kebanggaan terhadap diri sendiri untuk membangun self-esteem, membangun semangat dan kepercayaan diri bahwa kita memiliki value yang jauh lebih besar dibandingkan dengan eksistensi itu sendiri.

Memberdayakan diri sebagai manusia seutuhnya adalah hal utama yang perlu kita lakukan. Sebab yang paling penting dalam kehidupan adalah bagaimana cara kita memperlakukan diri sendiri dengan sebaik-baik mungkin. Tidak sebatas pada perlakuan kita kepada diri sendiri, akan tetapi kita juga perlu paham tentang perlakuan kita terhadap orang lain. Saya masih ingat sebuah pepatah bahwa, seseorang yang kita kenal lewat dari anggapan orang lain akan berbeda ketika kita mengenalnya langsung.

Bahkan dalam mengenal langsung, akan berbeda ketika 3 jam bersamanya, atau kamu menginap di tempatnya. Barangkali pandanganmu akan berbeda 180 derajat dibandingkan dengan pertamakali bertemu atau mengenal dari cerita orang lain.  Namun, di antara miliaran orang yang kita jumpai di media sosial, mampukanh kita menerapkan hal itu satu persatu?

Melewati fase perkenalan, bertemu secara langsung serta akan melakukan cara yang sama untuk mengetahui orang lain. Tentu, itu adalah pekerjaan yang tidak mudah sepanjang hidup dan tidak akan pernah selesai.  Jika kita menyadari konsep di atas, maka sangat menjadi warning bagi kita agar tidak terlalu percaya tentang orang lain hanya dari sebuah cerita. Sebab hal ini dipengaruhi oleh siapa yang bercerita, bagian cerita seperti apa yang disampaikan, dll.

Kalau kita memahami betul tentang konsep hidup di atas, tidak mudah menyimpulkan hal buruk yang dimiliki oleh orang. Bahwasanya, tidak ada orang yang benar-benar baik 100% tanpa catat, saya meyakininya. Namun, dengan memandang lebih jauh tentang orang lain. Bahkan tentang diri sendiri, kita akan lebih melihat segala bentuk kebaikan dari sesuatu, untuk meningkatkan syukur dan memaknai sebuah kehidupan lebih bermakna.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments