Setahun terakhir, citra pondok pesantren sempat ternodai oleh tindakan buruk oknum tertentu dari bullying hingga kekerasan seksual. Sehingga ada semacam kekhawatiran orangtua untuk menitipkan anaknya ke pesantren. Meski dilanda badai informasi negatif, masyarakat yang jeli seharusnya tidak perlu takut dan justru persoalan yang ada harus dijadikan bahan masukan kepada pihak-pihak terkait. Seperti Kementerian Agama, yayasan pesantren dan orangtua untuk bahu-membahu memberikan input positif agar pesantren tetap menjadi salah satu opsi terbaik bagi generasi muda untuk meneruskan pendidikannya.
Terlebih dari catatan sejarah, pesantren memiliki peran strategis dalam membangun bangsa Indonesia. Bahkan ketika masa penjajahan, pesantren turut serta dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI dan bergerak bersama dengan segenap elemen negara dan masyarakat untuk meraih kemerdekaan. Dalam perkembangannya kini, pesantren bergerak lebih luas. Tidak terbatas pada pendidikan semata, tapi ikut bergerak dalam program-program lain seperti pengentasan kemiskinan dengan kolaborasi proyek ekonomi dan bisnisnya.
Dari aspek historis tersebut, merujuk pernyataan Kiai Cholil, “pesantren memegang peran strategis dalam banyak hal, seperti menjaga akhlak bangsa, (bahkan) pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan tapi juga menjalankan peran dakwah dan pemberdayaan umat.”
Dari apa yang disampaikan Ketua MUI bidang ukhuwah dan dakwah tadi, beberapa peristiwa negatif yang terjadi di pesantren harus menjadi bahan refleksi agar ke depannya pesantren jauh lebih mawas diri dan terus melakukan perbaikan. Langkah-langkah improvisasi dari pesantren juga didukung oleh Bu Nyai Masriyah Amva. Pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu ini tidak tinggal diam ketika melihat adanya budaya patriarki dan kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok.
Beliau menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk santri. Sehingga pihak pondok tidak bisa begitu saja menutup mata. Justru pondok pesantren perlu menguatkan strategi preventif agar kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik tidak terjadi kepada anak-anak yang dititipkan untuk menimba ilmu.
Salah satu strategi Nyai Amva dalam mencegah kekerasan seksual di lingkungan pondok adalah melakukan edukasi informal melalui karya tulisan, salah satunya lewat puisi. Sebab, pendidikan seksual masih dianggap tabu untuk diajarkan secara langsung. Sehingga pencegahan ‘lunak’nya diarahkan melalui cara-cara yang menarik minat para santri.
Tercatat, Nyai Amva banyak menulis puisi bertemakan cinta, termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan. Meski beliau sempat diprotes akan hal tersebut. Beberapa pihak mempertanyakan kenapa ia sebagai Ibu Nyai kok berbicara soal cinta? Beliau dengan tenang menjawab bahwa manusia itu hakikatnya memiliki cinta dalam hatinya.
Jika tidak punya cinta, justru ia tidak normal. Menyadari akan hal itu, Bu Nyai Amva berusaha menuliskan puisi cinta sebagai lentera bagi semua muridnya. Diharapkan puisi cinta yang ia tulis bisa menjadi panduan dan penenang hati. Sebab, puisi cinta yang ia tulis berpadu dengan cinta kepada Sang Maha Kuasa. Harapannya adalah puisi-puisi cinta yang dibuat kemudian mengarahkan pembacanya untuk kembali kepada Tuhan. Salah satu lirik puisi beliau yang menggugah antara lain:
“Sayang, dalam rinduku padamu aku tak akan sudi memanggil namamu. Aku lebih tertarik memanggil nama Tuhanku yang memilikimu. Dalam rinduku padamu, aku lebih tertarik mencari Tuhanku.”
Bait karyanya tadi tidak hanya indah dilantunkan tapi juga ketika dimaknai lebih dalam, memiliki esensi kuat bahwa cinta sejati seharusnya diberikan sebesar-besarnya kepada Sang Pencipta. Intisari puisi itu juga secara halus mengingatkan santri agar fokus pada pendidikan terlebih dahulu karena menuntut ilmu adalah bentuk cinta kepada Allah, sebelum memutuskan untuk melangkah ke tahapan kehidupan selanjutnya.
Dakwah Nyai Amva melalui karya tidak hanya sebatas menulis satu dua puisi. Beliau ternyata sudah banyak menyemai bibit cinta perdamaian dan kasih sayang melalui kumpulan puisinya, yakni ‘Ketika Aku Gila Cinta’ (2007), ‘Setumpuk Surat Cinta’ (2008), dan ‘Ingin Dimabuk Asmara’ (2009), dan sebagainya. Dari apa yang sudah dilakukan oleh Nyai Amva, kita bisa melihat bahwa pesantren memiliki peluang untuk mengembangkan mendobrak akar kekerasan. Bahkan pesantren menempati posisi strategis untuk mengembangkan nilai-nilai pluralisme dan kesetaraan gender di kalangan santri dan masyarakat sekitarnya.