Saturday, October 12, 2024
spot_img
HomeCeritaKiswanti, Mbok Jamu Sekaligus Pahlawan Literasi

Kiswanti, Mbok Jamu Sekaligus Pahlawan Literasi

Siapa Kiswanti?

Bagi Kiswanti, buku adalah barang mewah. Bagaimana tidak, ia yang lahir dari keluarga sederhana sepertinya perlu beberapa minggu tidak makan jika ingin membeli buku pada waktu itu. Namun, kondisi ini tak membuat perempuan ulet tersebut menyerah.

Putri belia yang terus haus akan ilmu tersebut selalu mencari cara untuk dapat menimba ilmu dari buku-buku. Bahkan, ketika akhirnya kondisi perekonomian keluarga membuat Kiswanti putus sekolah, ia tak terlena. Ia tetap datang meski itu tandanya ia hanya bisa mengintip dari bilik kelas dan mendengarkan gurunya menjelaskan panjang lebar.

Melihat gerak-gerik Kiswanti, salah seorang guru kemudian mendekatinya. Alih-alih diusir, guru tersebut justru mempersilakan Kiswanti untuk tetap sekolah dan ia tak perlu membayar SPP. Gantinya, ia diminta untuk menjaga perpustakaan setiap hari. Bagi Kiswanti, menjaga perpustakaan bukanlah hukuman, apalagi menjadi beban. Ia justru menganggap hal itu sebagai surga dunia.

Dalam pikiran idealnya, ia dapat berjam-jam bergelayut dengan buku tanpa perlu membayar apa-apa. Terlebih pada waktu itu, untuk menjadi anggota perpustakaan, seorang murid diwajibkan untuk membayar 2.500 Rupiah, harga yang cukup sulit di kantong Keluarga Kiswanti. Sehingga, pekerjaan tambahan yang diberikan padanya justru disambut dengan gembira. Ia menjalaninya dengan penuh suka cita.

Namun, perjalanan sekolah Kiswanti tak semulus jalan tol. Ia kerap menjadi korban perundungan karena berasal dari keluarga kurang mampu. Beberapa kali rambutnya diberi getah nangka, belum lagi kalau mereka sudah mengikat rambut panjangnya ke kursi. Itu semua kadang membuat Kiswanti tak berdaya. Keusilan teman-temannya memang membuat Kiswanti geram. Tapi, ia memutuskan untuk tetap bertahan. Terlebih, ada banyak hal positif yang ia dapatkan.

Menggratiskan Buku untuk Anak Pembeli Jamu

Usai bertahan di sekolah dasar, awalnya Kiswanti ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sayang, lagi-lagi ia terkendala persoalan ekonomi. Alhasil, ia harus menerima keadaan dan memutuskan untuk bekerja. Waktu itu akhirnya memilih menjadi asisten rumah tangga dan pindah dari Yogyakarta ke ibukota Jakarta.

Karena masih cinta akan buku, uang hasil bekerja tak ia sia-siakan begitu saja. Bukan hanya untuk membantu orangtua, tetapi juga ia sisihkan untuk membeli buku baru. Hal yang dulu ia sulit wujudkan sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Kiswanti akhirnya memutuskan untuk mempunyai usaha sendiri. Ia pun tak lagi menetap di Jakarta, ia memilih pindah ke Parung, Bogor. Di sana ia berjualan jamu untuk menyambung hidup. Di tempat barunya, Kiswanti melihat banyak anak yang memiliki pengalaman seperti dirinya semasa kecil. Mereka berada dalam keluarga yang tak punya, dan tak pernah mengenyam pendidikan sebelumnya.

Pengasuhan dari kedua orangtua pun kurang maksimal. Tak heran, banyak dari mereka kerap berkata kasar dan kurang memperhatikan kesehatan diri. Melihat kondisi itu, Kiswanti sontak terenyuh. Ia seperti melihat dirinya di masa lampau yang tak punya banyak akses pada hak-hak dasar semasa kecil. Berharap bahwa mereka tak memiliki nasib seperti dirinya, ia kemudian bertekad untuk membagi sedikit ilmu melalui ‘perpustakaan’.

‘Perpustakaan’ yang dirintis oleh Kiswanti ini bukan berupa bangunan. Melainkan koleksi buku yang ia sengaja bawa keliling ketika berjualan jamu dengan sepeda. Dengan tekad bulat, Kiswanti pun menyampaikan tekad baiknya kepada RT/RW setempat. Gayung pun bersambut. Mereka tidak mempersalahkan itu, dan mempersilakan Kiswanti untuk menjajakan jamu disertai dengan bonus buku bacaan.

Selama berkeliling, Kiswanti tidak hanya berjualan jamu. Terkadang jika ia memiliki makanan lebih, ia bagikan kepada anak-anak kurang mampu. Sembari makan, ia akan membacakan cerita atau meminta anak-anak tersebut memilih buku bacaan yang mereka suka, “jamu-jamu, buku-buku. Yang mau sehat minum jamu, yang mau pintar baca buku. Jangan rugi membeli jamu saya karena uangnya untuk beli buku dan buku itu untuk anda,” demikian Kiswanti biasa menawarkan perpustakaan kelilingnya pada saat itu.

Karena kerap berjualan di wilayah Lebak Wangi, akhirnya perpustakaan keliling milik Kiswanti dinamai “Warabal” yang berasal dari singkatan “Warung Baca Anak Lebak Wangi”. Meski puas dengan caranya menggerakkan literasi, Kiswanti tetap berharap ia akan memiliki perpustakaan berbentuk gedung. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun berikutnya, ia terus menabung dan bahkan bersedia melaparkan diri untuk terus menambah koleksi bukunya.

Syukurlah, sekarang koleksi buku di Warabal telah mencapai sekitar enam ribu eksemplar. Sumber buku-buku tadi tidak hanya berasal dari koleksi pribadi Kiswanti, tapi juga donasi dari sejumlah pihak. Berita gembiranya, geliat Warabal tak berhenti di perpustakaan saja. Sejak tahun 2004, Warabal juga merambah ke kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendampingan belajar di akhir pekan, taman pendidikan Alquran (TPQ), majelis ta’lim untuk ibu-ibu, serta paguyuban unit bersama simpan pinjam. Semua tak lepas dari cita-cita Kiswanti untuk menebar kebaikan sebanyak-banyaknya lewat Warabal, dan menjadikannya sebagai titik kumpul kegiatan warga sekitar.

 

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments