“Pendidikan adalah hak setiap warga negara” demikianlah amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam pasal 31. Akan tetapi, amanat itu nampaknya seperti hanya kalimat di atas kertas. Melihat kondisi di lapangan, pendidikan di Indonesia serasa jauh dari cita-cita mulia tersebut.
Mari kita lihat wajah pendidikan kita saat ini. Mulai dari adanya ketimpangan akses pendidikan, kesenjangan mutu dan kualitas hingga pendekatan seragam yang jauh dari konteks. Jika ingin melihat realitas itu, serpihan pengalaman dikisahkan melalui film Sokola Rimba (2013) bisa jadi contoh.
Film Sokola Rimba besutan Riri Riza ini menjadi kisah nyata yang bukan saja sekedar tontonan, namun juga renungan akan pendidikan sejati. Sokola Rimba mengisahkan Butet Manurung (diperankan Prisia Nasution), pegiat perempuan yang peduli terhadap pendidikan suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi.
Butet telah bergelut menyusuri hutan belantara demi pendidikan bagi masyarakat yang dianggap belum literat lantaran belum bisa membaca dan menulis. Padahal, hal itu bukan semata-mata menjadi tolak ukur kemajuan mereka. Misalnya, selama ini mereka telah mengarungi kehidupan dengan mengandalkan kearifan ekologis.
Kisah perjuangan Butet Manurung bersama suku Anak Dalam di hutan Jambi bisa menjadi cerminan sistem pendidikan kita. Seperti dijelaskan di awal, pertama, ada ketimpangan akses yang tengah dihadapi. Dalam film, kita ditunjukkan bagaimana masyarakat adat setempat mudah menyerahkan tanah adat pada para perampas. Hal itu terjadi lantaran mereka memberikan cap jari sementara tidak tahu dan tidak memahami dokumen surat perjanjian.
Bukan kebodohan dan ketidaktahuan yang mereka derita, namun minim dan sulitnya akses terhadap pendidikan formal. Hal ini misalnya, budaya nomaden masyarakat setempat. Selain itu, pendidikan yang lebih kontekstual lebih dibutuhkan bagi Suku Anak Dalam. Artinya, di setiap wilayah memiliki karakter tersendiri sehingga model pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan. Hal itu bisa diakomodir melalui semacam kurikulum alternatif.
Misalnya, Suku Anak Dalam kesehariannya menjual damar, madu dan rotan. Mereka akan terbiasa dengan kegiatan transaksi keuangan. Namun ketika harga tak sesuai, mereka merasa dibohongi. Maka, dari contoh tersebut mereka memerlukan keterampilan dalam berhitung.
Pada kenyataan hingga hari ini, pendidikan kita serasa semakin kabur atau bahkan hilang arah. Terlebih kebijakan yang berganti seiring pemerintahan yang sedang berkuasa. Lagi-lagi kita bisa menengok melalui kebijakan yang tengah berjalan saat ini.
Era pemerintahan Presiden Prabowo menginisiasi program Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat. Jika Sekolah Unggulan Garuda ditujukan bagi siswa terpilih dengan “kualitas unggul” sementara itu Sekolah Rakyat ditujukan bagi anak-anak dari keluarga kategori miskin dan miskin ekstrim berdasarkan DTSEN. Sekilas, bukankah kita justru melihat ada kasta pendidikan ketimbang menghapuskan ketimpangan. Hal itu semakin memperjelas jika ada anggapan bahwa pendidikan sangat elitis. Institusi yang hanya bisa diakses oleh kaum tertentu, terutama yang mampu finansial.
Kembali pada pembahasan Sokola Rimba, film ini memberikan hikmah penting seperti pendidikan tak boleh sekedar seragam dan terpusat tanpa tahu kebutuhan peserta didik. Idealnya, pendidikan, dalam hal ini, materi belajar menyesuaikan dengan denyut kehidupan masyarakat setempat. Sebagai misal dalam kisah di film Sokola Rimba, Butet Manurung hadir tanpa membawa teori dan kurikulum kaku.
Butet justru mempelajari karakteristik, cara pandang dan hidup masyarakat dan anak-anak Rimba. Hal ini mudah dilakukan bagi Butet mengingat ia juga merupakan lulusan Antropologi. Baru setelah itu, ia bisa mengajar mereka.
Alhasil, perlahan pengetahuan dirasakan oleh Suku Anak Dalam. Mereka pun bisa berani dan melawan eksploitasi hutan. Dengan demikian, pendidikan mencapai tujuannya: yakni membangun kesadaran hingga menumbuhkan daya kritis pembelajar.
Film Sokola Rimba tidak hanya mencerminkan ketimpangan akses pendidikan oleh salah satu suku bangsa di Indonesia, namun juga memberi potret bagaimana pendidikan kita saat ini. Butet Manurung, sebagai tokoh utama dalam film sekaligus tokoh pejuang pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba.
Ini jelas menegaskan kiprah dan partisipasi perempuan dalam pembangunan SDM. Sudah semestinya, pendidikan hadir secara inklusif. Esensi pendidikan yang sejati yakni bertujuan membebaskan individu.
Artinya, pendidikan mampu membebaskan—atau belakangan diadopsi sebagai “Merdeka Belajar”. Pendidikan menjadi hak anak agar terbebas dari kebodohan dan ketidaktahuan. Kita sebagai orang tua dan berbagai pihak terkait harus meyakini bahwa anak-anak harus diberi ruang untuk tumbuh dan bermimpi tanpa melihat asal muasal. Setiap anak memperoleh keadilan yakni pendidikan berkualitas, baik mereka yang tinggal di hutan pedalaman atau hiruk pikuk kota. Karena sejatinya pendidikan adalah hak setiap anak.
Sumber Referensi:
Film Sokola Rimba (2013), Riri Riza, Miles Films
CNN Indonesia. (2025). Prabowo Ingin Bangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda, Apa Bedanya?
Detik.com. (2025). Perbedaan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda
Tirto.id. (2025). Mengkritisi Wacana Pembangunan SMA Unggulan dan Sekolah Rakyat
Sokola Institute. (2023). Laporan Capaian Sokola Rimba 20 Tahun
UNICEF Indonesia. (2023). Ending Child Marriage: Progress and Prospects
Apa itu Sekolah Rakyat. (2025). Diakses dari https://sekolahrakyat.kemensos.go.id/
Minimnya pendidikan bagi Suku Anak Dalam di Muaro Jambi. (2022). Diakses dari https://jambi.antaranews.com/berita/507345/minimnya-pendidikan-bagi-suku-anak-dalam-di-muaro-jambi