Sunday, October 13, 2024
spot_img
HomeUlfa dan Komunitas Cadar Garis Lucu

Ulfa dan Komunitas Cadar Garis Lucu

Beberapa waktu lalu saya menonton “Susahnya Jadi Perempuan”, sebuah segmen acara dari jurnalis dan aktivis perempuan kondang, Najwa Shihab yang tayang di YouTube. Setelah menonton seri terbarunya yang menampilkan empat tokoh selebritas laki-laki populer di Indonesia, saya juga tertarik menonton seri pertamanya yang tayang tahun 2021 silam. Dari konten tersebut, saya menyadari bahwa cita-cita mewujudkan kesetaraan dan dunia yang ramah terhadap perempuan masih menjadi PR panjang bagi bangsa ini. Ideologi patriarki yang telah terlanjur mengakar kuat dalam masyarakat hari ini adalah salah satu ganjalan terbesar. Padahal untuk mencapai baldatun thoyyibatun ghofur, perdamaian yang paripurna dalam masyarakat, dibutuhkan kesetaraan dan keadilan bagi seluruh umat manusia.

Dalam kesempatan mengobrol dengan Ulfa, salah seorang pendiri komunitas Cadar Garis Lucu yang berbasis di Makassar, saya kembali melihat perjuangan perempuan yang berusaha menyemai benih-benih perdamaian di akar rumput. Menjadi perempuan Muslimah yang bercadar, artinya menjadi minoritas di tengah gemuknya jumlah penganut agama Islam di Indonesia. Ulfa, yang mengalami penolakan dan stigmatisasi bertubi-tubi, tetap gigih pada jalan perjuangan yang menjadi napas hidupnya.

Hambatan Terbesar: Orang Terdekat

Perempuan yang bernama lengkap Andi Ulfa Wulandari ini akrab disapa Ulfa, sebagian teman-teman masa kecilnya memanggilnya Wulan. Lahir pada 15 Juni 1998 di tanah Pari Kokas, Sulawesi Tenggara, Ulfa tumbuh dalam keluarga yang cukup perhatian pada pendalaman ilmu agama Islam. Kendati demikian, Ulfa bercerita keluarganya bukanlah keluarga yang terbiasa berdialog, khususnya mengenai perbedaan dan perdamaian. Ibu dan suaminya berasal dari kalangan Wahdah Islamiyah, sementara ayahnya tidak mengikuti organisasi masyarakat ataupun organisasi keagamaan tertentu. Keluarganya yang lain juga banyak yang tergabung dalam ormas-ormas tertentu. Ulfa mengaku kerap diajak mengikuti kegiatan dari beberapa ormas yang diikuti oleh anggota keluarganya, namun ia memilih untuk tidak mengikuti mereka.

Tumbuh dalam keluarga yang banyak tergabung dalam ormas-ormas tertentu membuatnya sadar bahwa justru kelompok-kelompok tersebutlah yang menjadi tembok tinggi penghalang silaturahmi antara dirinya dengan kerabatnya. Dari pengalaman itulah, Ulfa memutuskan memilih jalan berbeda, bahkan dari ayah, ibu dan suaminya. Misalnya, ia memakai cadar. Ia percaya interaksi dan dialog diperlukan dalam isu lintas agama. Sama halnya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tentu saja menyatu dengan pewujudan perdamaian.

Akibat jalan yang ia pilih itulah Ulfa harus menerima perlakuan diskriminatif bahkan dari suami dan ibu yang merupakan aktivis Wahdah Islamiyyah. Bagi suami, sama sekali tidak ada toleransi untuk orang-orang yang berbeda dengannya. Sehingga Ulfa kerap kali dicap sebagai perempuan sesat dan menyimpang. Ayah Ulfa pun menambah beban hambatan bagi upaya Ulfa mewujudkan toleransi dan pedamaian dalam perbedaan. “Kalau mau bercadar silakan di Makassar saja. Kalau pulang ke Sulawesi Tenggara jangan, karena itu tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat,” ucap sang Ayah.

Ia juga menerima perlakuan kasar dari pamannya yang menarik cadarnya di depan masjid. Penolakan dan perlakuan tidak menyenangkan juga datang dari dosennya. Salah satu dosen Ulfa berujar seksis bahwa ia tidak setuju dengan cadar yang dikenakannya, karena tidak menampakkan wajah yang berseri-seri ketika berbicara. Ulfa yang pernah menempuh kuliah di Wahdah Islamiyah tahun 2015 hingga tahun 2017 juga telah terbiasa mendapat respon kurang baik dari komunitas Salafi. Banyak dari mereka tidak menyukai apa yang ia lakukan dan memberikan nasihat-nasihat yang sebenarnya tak ia butuhkan bahkan melalui posting media sosial. Bagi mereka, perempuan yang sudah mengenakan cadar tak seharusnya tampil di depan umum. Keputusan Ulfa menempuh pendidikan di perguruan tinggi mengambil jurusan Akidah dan Filsafat di kampus UIN Alauddin Makassar juga dianggap haram.

Mencari Jati Diri Hingga Menjadi A Woman Peacebuilder

Pilihannya untuk bercadar semakin mendorongnya ke tepi jurang masyarakat patriarkis. Pilihannya menempuh pendidikan sebagai upaya mendayagunakan akal budi seorang perempuan justru dianggap sebagai hal tabu lagi haram. Namun dengan segenap prinsip dan semangatnya, pelan tapi pasti Ulfa berharap mewujudkan perubahan dan perdamaian yang selama ini menjadi harapannya. Sedikit demi sedikit, Ulfa berusaha mengikis stigma tak adil yang mengungkung perempuan bercadar seperti dirinya.

Ulfa sangat terbuka berelasi dengan semua orang. Bergaul, tampil di acara-acara terbuka, bahkan menyanyi di depan umum tetap dilakukannya. Pribadinya yang cerah dan pantang menyerah memancarkan vibrasi positif yang turut dirasakan oleh orang-orang yang berinteraksi dengannya. Salah satu perubahan yang mungkin terlihat kecil adalah, kini ia justru akrab dengan sosok dosen yang awalnya tidak menyukai cadar yang ia kenakan. Perubahan kecil tersebut justru menjadi indikasi dirinya telah berhasil membuktikan bahwa kesamaan pakaian tidak menunjukkan kesamaan pemikiran. Cadar sebagai bagian dari pakaian Muslimah tidaklah eksklusif apalagi ekstremis seperti yang kerap dituduhkan masyarakat pada umumnya.

Perubahan juga terjadi dalam keluarganya. Kini, keluarga Ulfa sudah mulai lebih terbuka dan menerima cadar yang ia kenakan. Bahkan adik dan ibunya juga turut mengenakan cadar. Ulfa yang mengidolakan sosok Quraish Shihab serta beberapa tokoh lainnya percaya bahwa cadar ataupun elemen pakaiannya bukanlan indikator keimanan ataupun pikiran pemakainya.

Kini Ulfa telah menikah dan memiliki dua orang anak. Sebagai sosok yang tumbuh besar di tengah kontestasi ormas keagamaan dalam keluarga besarnya, Ulfa tak ingin hal tersebut juga dirasakan oleh anak-anaknya. Pengalaman menjadi korban fanatisme sang ibu membuatnya menjadi ibu yang berbeda dan berniat tidak akan memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Perlahan ia juga mengajarkan keberagaman dan cara beragama yang penuh damai kepada anak-anaknya. Kendati sang suami tak terlalu mendukung aktivitas organisasi dan gerak perjuangannya, ia tetap melangkah maju tanpa ragu karena ia percaya bahwa apa yang ia yakini dan perjuangannya kini akan berbuah manis di kemudian hari.

(Bersambung)

***

Kisah Andi Ulfa Wulandari selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.

Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.

Lutfi Maulida
Lutfi Maulida
Perempuan asal Magelang yang kini tinggal di Yogyakarta. Saat ini aktif di Komunitas Puan Menulis dan GUSDURian Jogja (Komunitas Santri Gus Dur). Ia juga redaktur di media keislaman Hidayatuna.com dan penulis lepas di berbagai media daring maupun cetak. Ia juga menekuni bidang desain dan manajemen sosial media di Citra Media Digital sebagai team leader departemen kreatif. Tertarik pada isu lintas agama dan budaya, lingkungan, perempuan dan kemanusiaan. Dapat disapa melalui Instagram @fivy_maulidah dan surel lutfimaulida012@gmail.com.
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments