Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024.*
Fakta yang termuat pada liputan enam .com itu sesungguhnya adalah gambaran nyata bagaimana literasi digital dalam dunia siber. Yang seharusnya memberi banyak manfaat bagi masyarakat dunia, membuka ruang-ruang perjumpaan bagi upaya kemanusiaan dan perdamaian, ternyata memberi imbas buruk juga dalam hal kekerasan dan menimbulkan rasa tidak aman bagi penggunanya.
Dalam liputan Konde.co yang mewawancarai Nenden Sekar Arum selaku Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada 4 Juli 2024, dia menegaskan bahwa keamanan siber menjadi sangat penting, seiring dengan integrasi kehidupan banyak orang dengan aktivitas di internet. Banyak layanan pemerintah juga sangat mengandalkan sistem online.
Peretasan data yang terjadi akhir-akhir ini menjadi salah satu bentuk serangan siber paling mencemaskan. Bukan hanya karena raibnya data tersebut, melainkan data itu sangat mungkin diperjualbelikan kepada pihak lain. Dalam hal ini, perempuan dan kelompok rentan menjadi pihak yang paling terancam karena situasi masyarakat masih memegang paham patriarki.
“… dengan mendapatkan data perempuan misalnya nomor telepon, penyalahgunaannya bisa berhubungan dengan gender atau seksualitas. Apalagi data yang tersebar lebih spesifik seperti alamat atau kondisi lainnya seperti ragam gender atau riwayat penyakit. Perempuan lebih rentan. Perlu pemangku kebijakan atau menteri yang punya perspektif itu tadi termasuk perspektif gender sehingga nggak merugikan perempuan,” tutur Nenden dalam wawancaranya tersebut.
Lalu, bagaimana para pegiat isu perempuan menyikapi hal tersebut? Dahlia, bukan nama sebenarnya membuat janji untuk saling bercakap dengan saya melalui WhatsApp. Sehari-hari dia staf di sebuah perguruan tinggi negeri, sekaligus sebagai pegiat di komunitas perempuan.
“Kak, aku diserang orang-orang usai unggahanku tentang perlunya kewaspadaan akan kekerasan berbasis gender di sebuah lembaga melalui akun IG. Masalahnya yang DM nggak cuma satu. Mereka juga mengancam membeberkan segala identitas plus foto-foto selfieku di publik. Bahkan ada yang stalking siapa saja anggota keluargaku, di mana rumah kecilku; lalu menggunakan itu sebagai ancaman.”
Ketika saya bertanya bagaimana respons mitigasinya untuk kasus ini, Dahlia membalas chat saya dengan biasa saja. Tidak ada urgensi untuk meminta tolong atau membantu report apapun. Walau di awal berkisah tadi, tampak chatnya penuh typo, yang bertendensi dilakukan tergesa-gesa seperti khawatir diketahui orang.
“Ini bukan pertama kali dan bukan hal yang baru, sih. Semua bukti percakapan sudah tersimpan dalam file tangkapan layar, disertai link url -nya. Profile IG sudah kusetel privat. Beberapa yang terkait seperti story dan status juga disetel lebih privat, hanya teman dekat saja. Dan, tentu saja buat pengaduan juga ke lapor kbgo dan Safenet.”
Jujur, saya senang mendengarnya sebab dia tahu langkah mitigasi yang perlu diambil. Walau saya geram juga ketika melihat foto-foto tangkapan layar ancaman yang diterima Dahlia. Lain Dahlia, lain teman saya di kota sebelah, Mentari.
Perempuan muda berkerudung panjang ini kebetulan founder sebuah komunitas perempuan yang cukup aktif dan progresif menyuarakan kesetaraan, isu gender dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mentari punya mitigasi yang berbeda ketika mendapat serangan siber, yang sudah tak terhitung banyaknya diterima baik di akun pribadinya maupun akun komunitas. Asumsi saya, pengalaman memberikan kekuatan kepada Mentari untuk resiliensi sekaligus melakukan deteksi dini serangan siber secara mandiri.
“Saya belum pernah report untuk minta perlindungan, karena jujur juga nggak tahu caranya. Namun, saya lihat dulu. Kalau komen di postingan saya sudah menyerang personal, tidak akan saya balas, tidak saya notice. Istilahnya nggak saya kasi panggung orang tersebut,” kisahnya melalui voice note.
Mentari memberikan tipsnya lagi. Kalau komen-komen yang muncul sangat mengesalkan, dia memberi jeda dulu untuk beberapa hari. Dia juga akan melihat kemungkinan komen-komen untuk postingan itu apakah bisa diolah menjadi konten balasan, atau hanya distitch aja. Setelah mereda, dan dia sendiri sudah berjarak dengan emosinya dalam arti sudah tenang dan bisa berpikir jernih, dia baru memperhatikan lagi konten itu.
Kata Mentari dalam voice note lagi, upaya tersebut kadang malah bagus untuk engagement akunnya. Strategi lain dari Mentari adalah nge-block bila keterlaluan, dan kalau yang menyerang banyak orang, dia akan berganti nama akun. Entah sudah berapa kali dia berganti nama.
“Menyetel ke settingan private tidak terpikirkan olehku, karena jelas engagement ke semua akun yang kukelola akan berkurang dan tentu saja itu berarti menutup ruang dialog.”
Dia mengaku tidak kapok dengan berbagai serangan itu. Upaya resiliensi yang dilakukannya adalah dengan lebih memperkuat mental sambil memikirkan mitigasi (menghitung resiko) dari setiap apa yang mau dipos aja. Pengalaman Dahlia dan Mentari mengalami serangan, apapun bentuknya, dan upaya mereka untuk resiliens, telah menunjukkan bahwa posisi mereka dari sekadar korban yang rentan, perlahan berangsur menjadi pejuang yang malah bisa menginspirasi perempuan lain. Ketika ditanya apakah akan kapok bergerak di isu kemanusiaan dan perdamaian? Mentari segera membalas chat saya.
“Nggak. Karena masih punya keresahan akan hal yang terjadi di masyarakat yang perlu disuarakan.”
Setuju. Panjang umur perjuangan !
*https://www.liputan6.com/health/read/5642209/kasus-kekerasan-berbasis-gender-online-naik-4-kali-lipat-di-2024-korban-terbanyak-rentang-usia-18-25